Skip to main content

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Bahasa dan masyarakat merupakan dua bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat erat kaitannya dengan bahasa, begitupun sebaliknya bahasa melekat pada masyarakat. Di dalam masyarakat ada interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, interaksi tersebut dapat berupa lisan maupun tulis. Pada umumnya bahasa yang alami adalah bahasa dalam bentuk lisan atau percakapan, karena di dalamnya terdapat maksud atau pesan yang ingin disampaikan secara spontan dan tanpa proses edit. Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia maka bahasa memilki peran penting dalam masyarakat.  Bahasa merupakan alat yang paling efektif dalam penyampaian pesan kepada orang lain atau mitra tutur. Di dalam percakapan menggunakan bahasa ini muncul pesan yang ingin disampaikan penutur kepada lawan tutur.
Di Indonesia, masyarakat bahasa sangat beragam. Karena dipengaruhi oleh wilayah Indonesia yang luas dan terdapat berbagai suku bangsa. Maka dari itu, bangsa Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa resmi negara sebagai alat untuk berkomunikasi antar suku bangsa. Namun, penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari tidak selamanya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, karena bahasa Indonesia pada umumnya merupakan bahasa kedua dalam masyarakat di Indonesia. Sedangkan bahasa pertamanya adalah bahasa daerah. Maka dalam percakapan atau dialog di masyarakat sering menggunakan dua bahasa secara sekaligus untuk mempermudah dalam menyampaikan pesan dari penutur kepada lawan tutur. Yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah secara bergantian maupun secara bersamaan menggunakan bahasa daerah atau bahasa Indonesia saja. Maka sering terjadi adanya percampuran antara bahasa daerah dan Indonesia. Dalam keadaan kedwibahasaan ini maka munculah istilah Alih Kode dan Campur Kode, yang akan dibahas lebih jauh dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah definisi dari alih kode dan campur kode ?
2.      Bagiamana wujud alih kode dan campur kode ?
3.      Apa saja jenis-jenis alih kode dan campur kode ?


PEMBAHASAN
ALIH KODE
1.      Pengertian Alih Kode
Dalam keadaan kedwibahasaan (bilingualisme), akan sering terdapat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa; hal itu tergantung pada keadaan atau keperluan bahasa itu. Umpamanya, sewaktu kita berbahasa A dengan si P datang si Q yang tidak dapat berbahasa A masuki situasi berbahasa itu, oleh karena kita ingin menerima Q dalam situasi berbahasa itu, maka kita beralih memakai Bahasa B yang dimengerti Q. Kejadian seperti itu disebut dengan alih kode. Konsep alih kode ini mencakup juga kejadian dimana kita beralih dari satu ragam fungsiolek (umpamanya ragam santai) ke ragam lain (umpamanua ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek yang lain, dan sebagainya.
Alih kode adalah proses berpindahnya seseorang dari satu kode ke kode lain, atau dari satu bahasa ke bahasa lain (Markhamah, 2000: 237). Lebih jelasnya, Rahardi (2001:21) menyatakan bahwa alih kode adalah pemakaian secara bergantian dua bahasa atau mungkin lebih. Alih kode dapat berupa alih kode gaya, ragam, maupun variasi-variasi bahasa yang lainnya (Wijana dan Rohmadi, 2010:179). Dengan kalimat lain, alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa saja, namun juga dapat berupa gaya, ragam, ataupun variasi yang ada dalam suatu bahasa.

2.      Penyebab peristiwa alih kode
Penyebab terjadinya alih kode menurut Pateda (1987) yakni karena adanya : selipan dari lawan bicara, pembicara teringat pada hal – hal yang perlu dirahasiakan, salah bicara (slip of the tongue), rangsangan lain yang menarik perhatian, dan hal – hal yang sudah direncanakan. Dengan demikian dapatlah diketahui penyebab terjadinya alih kode pada setiap peristiwa komunikasi. Jadi, seorang penutur, yang melakukan alih kode secara tidak sengaja akan menempatkan dirinya di dalam hierarki status sosialnya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak karena alih kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap orang lain terhadapnya.
Situasi berbahasa yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi alih kode ialah terdiri dari, siapa mitra bicaranya, tentang apa (topik), situasi (setting), tujuan, jalur (tulisan, lisan, telegram dsb). Seseorang dapat dikatakan menguasai suatu bahasa kalau dia dapat beralih kode sewajarnya. Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti yang dikemukakan Chaer (2004:108), yaitu :
a.        Penutur
Perilaku atau sikap penutur, yang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena tujuan tertentu. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat dari percakapan yang dilakukanya. Sebagai contoh, A adalah orang sumbawa. B adalah orang batak. Keduanya sedang terlibat percakapan. Mulanya si A berbicara menggunakan bahasa Indonesia sebagai pembuka. Kemudian ditanggapi oleh B dengan menggunakan bahasa Indonesia juga. Namun ketika si A ingin mengemukakan inti dari pembicaraannya maka ia kemudian beralih bahasa, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Batak. Ketika si A beralih menggunakan bahasa Batak yang merupakan bahasa asli B, maka B pun merespon A dengan baik. Maka disinilah letak keuntungan tersebut. A berbasa basi dengan menggunakan bahasa Indonesia, kemudian setelah ditanggapi oleh B dan ia merasa percakapan berjalan lancar, maka si A dengan sengaja mengalihkan ke bahasa batak. Hal ini disebabkan si A sudah ingin memulai pembicaraan yang lebih dalam kepada si B. Selain itu inti pembicaraan tersebut dapat tersampaikan dengan baik, karena mudah dimengerti oleh lawan bicara yaitu B. Peristiwa inilah yang menyebakan terjadinya peristiwa alih kode.

b.      Lawan Tutur
Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tuturnya. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena mungkin bahasa tersebut bukan bahasa pertamanya. Jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Sebagai contoh, Rani adalah seorang pramusaji disebuah restoran. Kemudian Ia kedatangan tamu asing yang berasal dari Jepang. Tamu tersebut ingin mempraktikkan bahasa Indonesia yang telah Ia pelajari. Pada awalnya percakapan berjalan lancar, namun ketika tamu tersebut menanyakan biaya makanya Ia tidak dapat mengerti karena Rani masih menjawab dengan menggunakan bahasa Indonesia. Melihat tamunya yang kebingungan tersebut, secara sengaja Rani beralih bahasa, dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang sampai tamu tersebut mengerti apa yang dikatakan Rani. Dari contoh di atas dapat dikatakan telah terjadi peristiwa peralihan bahasa atau disebut alih kode, yaitu bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. Oleh karena itu lawan tutur juga sangat mempengaruhi peristiwa alih kode.

c.       Hadirnya Penutur Ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Sebagai contoh, Tono dan Tini bersaudara. Mereka berdua adalah orang Sumbawa. Oleh karena itu, ketika berbicara, mereka menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari, yaitu bahasa Sumbawa. Pembicaraan berjalan aman dan lancar. Tiba-tiba datang Upik kawan Tini yang merupakan orang Lombok. Untuk sesaat Upik tidak mengerti apa yang mereka katakan. Kemudian Tini memahami hal tersebut dan langsung beralih ke bahasa yang dapat dimengerti oleh Upik, yaitu bahasa Indonesia. kemudian Ia bercerita tentang apa yang Ia bicarakan dengan Tono dengan menggunakan bahasa Indonesia. Inilah yang disebut peristiwa alih kode. Jadi, kehadiran orang ketiga merupakan faktor yang mempengaruhi peristiwa alih kode.

d.      Perubahan Situasi
Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya alih kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau sebaliknya.

e.       Topik Pembicaraan
Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Topik pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.

3.      Jenis-jenis alih kode
a.       Alih Kode Metaforis, yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik.
b.      Alih Kode Situasional, yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi dimana para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam suatu situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam alih kode ini tidak tejadi perubahan topik. Pergantian ini selalu bertepatan dengan perubahan dari suatu situasi eksternal (misalnya berbicara dengan anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga).
Selain alih kode metaforis dan situsional, Suwito dalam Chaer (2004:114) juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern.
a.       Alih Kode Intern,  yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Sumbawa, atau sebaliknya
b.      Alih Kode Ekstern, yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau sebaliknya.

4.      Contoh peristiwa alih kode :
Guru
:
Kok Anda bisa menjawab citraan? Pengertian diksi itu apa? Diksi?
Siswa
:
(peserta didik bertanya kepada teman di sebelahnya:
Diksi opo?
Guru
:
Diksi opo, lha yo opo? Aku takok awakmu kok!

Alih kode diwujudkan dalam bentuk kalimat ujaran Diksi opo, lha yo opo? Aku takok awakmu kok! „Diksi apa, lha iya apa? Saya bertanya padamu kok!‟. Guru beralih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa karena peserta didik belum mampu menjawab pertanyaan dan bertanya kepada temannya dengan menggunakan bahasa Jawa.
Berdasarkan konteksnya, alih kode pada data diatas menandakan bahwa guru kesal dengan salah satu peserta didik. Namun, tuturan di atas tidak lagi berfungsi emotif. Hal ini disebabkan oleh kalimat ujaran yang lebih mementingkan mitra tutur. Di samping itu, kalimat ujaran di atas juga bertujuan untuk mempertahankan tersambungnya pembicaraan dengan peserta didik. Dengan demikian, bahasa Jawa yang digunakan guru bahasa Indonesia berfungsi konatif sekaligus fatis. Adapun fungsi fatis dapat dibuktikan dengan penggunaan partikel fatis lha dan kok.


CAMPUR KODE
1.      Pengertian campur kode
Suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/atau kebiasaanya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian kita sebut campur kode. Di Indonesia, campur kode ini sering sekali terdapat dalam keadaan orang berbincang-bincang; yang dicampur ialah bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Jikalau yang berbincang-bincang itu orang “terpelajar”, kita dapat juga melihat campur kode bahasa Indonesia (atau bahasa daerah) dengan bahasa asing (Inggris atau Belanda).
Ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian, itu disebabkan karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai itu, sehingga perlu memakai atau uangkapan dari bahasa asing; dalam bahasa tulisan, hal ini kita nyatakan dengan cetak miring atau menggarisbawahi kata/ungkapan bahasa asing yang bersangkutan. Kadang-kadang terdapat juga campur kode ini bila pembicara ingin memamerkan “keterpelajaranya” atau “kedudukanya”.

2.      Wujud campur kode
a.       Penyelipan Partikel
Secara umum, partikel bahasa Jawa yang digunakan guru dan siswa termasuk ke dalam kategori fatis. Hal ini disebabkan oleh partikel yang digunakan bersifat komunikatif dan tidak selalu mendahului ujaran. Adapun campur kode berwujud penyisipan partikel dapat dilihat dalam data berikut.
Guru
:
Yang nomer tiga kok, nomer tiga belum tho?
Siswa
:
Mpun

Campur kode di dalam data diatas ditandai dengan penggunaan partikel tho. Penggunaan partikel tersebut tidak dapat dilepaskan dari penutur yang berlatar belakang budaya Jawa. Berdasarkan konteks tuturan, partikel tho muncul karena guru ingin menanyakan kepastian kepada peserta didik.
b.      Penyelipan Kata
Penggunaan kata sapaan yang dipengaruhi oleh bahasa Jawa pada tuturan yang berkode utama bahasa Indonesia merupakan peristiwa campur kode ke dalam (inner code – switching). Dalam penelitian ini, penggunaan kata ganti orang kedua bahasa Jawa lebih mendominasi dibandingkan dengan penggunaan kata ganti orang pertama dan orang ketiga. Berikut data yang berkenaan dengan peristiwa campur kode berupa penyisipan kata ganti.

Guru
:
Kalau Anda bisa menentukan jawabannya A, ini contoh apa nduk? Dis?
Siswa
Guru
:
:
Puisi
Ya puisi lama.

Berdasarkan data diatas, peristiwa campur kode berupa penyisipan kata ganti ditandai dengan penggunaan kata nduk. Kata ganti nduk merupakan kata ganti orang kedua yang ditujukan kepada peserta didik putri (siswi). Guru menggunakan kata ganti dari bahasa Jawa tersebut sebagai perwujudan kedekatan guru kepada peserta didiknya.

c.       Gabungan Partikel dan Kata

Guru
:
Wo lha iki berarti bahasa kias. Seperti yang saya sampaikan majas, gaya bahasa, peribahasa itu berbeda, ada perbedaan. Panjang tangan keras kepala itu termasuk ung?
Siswa
:
Ungkapan

Di dalam data diatas terdapat peristiwa campur kode berwujud gabungan partikel dan kata. Tuturan wo dan lha berstatus sebagai partikel, sedangkan iki „ini‟ berstatus sebagai kata penunjuk. Partikel wo dan lha bersifat individual. Dengan demikian, apabila partikel tersebut dihilangkan, maka tidak akan mengubah makna tuturan. Kata iki digunakan di depan kata benda yang menunjukkan suatu hal. Dengan demikian, kata iki berfungsi untuk menunjuk benda yang dekat dengan pembicara, yakni bahasa kias
d.      Penyelipan frase
Campur kode ini dilakukan dengan menyelipkan frase bahasa lain ke dalam bahasa tertentu yang sedang digunakan penutur. Menurut Kridalaksana (2008:66) frase adalah dua gabungan kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang. Adapun campur kode yang berwujud penyisipan frase dapat dilihat dalam penggalan percakapan berikut.

Guru
:
Sebuah karya sastra itu pasti ada kelebihan dan kekurangannya, itu pasti. Kalau kita membaca sebuah novel, misalkan. Novel Siti Nurbaya, kelebihannya apa? Kekurangannya apa? O novel ini mudah dipahami oleh pembacanya, mudah dipahami isinya. Kekurangannya apa? Novel Siti Nurbaya itu menggunakan bahasa sehari-hari, mungkin bahasanya ada yang kita ora ngerti, tidak paham, tidak mengerti. Makanya anak-anak harus sering mem?
Siswa
:
baca

Berdasarkan data diatas, campur kode ke dalam ditandai dengan penggunaan frase ora ngerti „tidak tahu‟. Frase ora ngerti merupakan frase kerja dari bahasa Jawa yang memiliki makna ingkar. Penggunaan frase tersebut dimaksudkan untuk memberikan penekanan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari dua frase selanjutnya yang memiliki kesamaan arti.

e.       Penyelipan Klausa

Guru
:
Kalau nggak ada lanjutkan, yaitu ke uji kompetensi. Sudah kamu kerjakan?
Siswa
:
Belum!, Dѐrѐng!
Guru
:
Supaya lebih cepat, bѐn ndang rampung ki. Ayo dibaca langsung dijawab!

Di dalam data tersebut terdapat peristiwa campur kode ke dalam yang berwujud penyisipan klausa. Peristiwa tersebut ditandai dengan dimasukkannya tuturan bѐn ndang rampung ki „agar ini cepat selesai‟. Penggunaan bahasa Jawa pada cuplikan tuturan guru tersebut dimaksudkan untuk mempertegas tuturan guru sebelumnya. Berdasarkan konteks, fungsi subjek (S) dielipskan oleh penutur. Hal ini disebabkan wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks tuturan. Dengan demikian, klausa di atas dikategorikan sebagai klausa adjektival tidak lengkap.

3.      Jenis-Jenis Campur Kode
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu campur kode ke luar (outer code-mixing)dan campur kode ke dalam (inner code-mixing).

a.       Campur Kode Ke Luar (Outer Code-Mixing)
Yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing atau dapat dijelaskan bahasa asli yang bercampur dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia – bahasa Inggris – bahasa Jepang, dll.
b.      Campur Kode Ke Dalam (Inner Code-Mixing)
Yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Contohnya bahasa Indonesia-bahasa Sumbawa-bahasa Batak-Bahasa Minang (lebih ke dialek), dll.


Daftar Pustaka
Aprilia, Vika. 2010. Analisis Alih Kode dan Campur Kode dalam Lirik Lagu Baby Don’t Cry Oleh Namie Amuro. Sumatera : Universitas Sumatera Utara.
Cakrawati, Dias. 2011. Analysis of Code Switching and Code Mixing in The Teenlit Canting Cantiq by Dyan Nuranindya. Semarang : Universitas Diponegoro.
Chaer, Abdul., & Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Maulidini, Ratna. 2007. Campur Kode Sebagai Strategi Komunikasi Costumer Service. (Studi Kasus Nokia Care Center Bimasakti Semarang). Semarang : Universitas Diponegoro.
Matsuura, Kenji. 2005. Kamus Jepang-Indonesia. Jakarta : PT Gramedia
Nurlela, Ema. 2012. Campur Kode Pada Percakapan Costumer Service Agent TELKOMSEL. Bandung : Universitas Parahyangan
Shigetsugu, Sasaki. Kamus Kecil Indonesia-Jepang Mutakhir. Saitama : Rakudasha
Suciyatmi, Faridah. 2012. Alih Kode dan Campur Kode dalam Komik Detektif Conan Volume 34. Skripsi. Tidak diterbitkan. Malang : Universitas Brawijaya
Tri Yulianto, Anang. 2012. Code-switching Performed by The Trainer of PT. Sinergi Indonesia Malang. Skripsi. Tidak diterbitkan. Malang : Universitas Brawijaya
Daftar Pustaka dari Website
Analisis Isi(content analysis) dalam Penelitian Kualitatif. Diakses pada tanggal 29 September 2013 dari http://www.menulisproposalpenelitian. com/2011/01/analisis-isi-content-analysis-dalam.html
Kode, Alih Kode, dan Campur Kode. Diakses pada tanggal 10 Juli 2013 dari http://sastrapuisi.wordpress.com/2011/12/11/kode-alih-kode-dan-campur-kode-disusun-untuk-disajikan-dalam-diskusi-mata-kuliah-sosiolinguistik-dosen-pengampu-prof-fathurahman-dan-dr-ida-zulaida/
Mutmainnah, Yulia. 2008. Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik Pada Masyarakat Jawa di Kota Bontang Kalimantan Timur. Diakses pada tanggal 6 September 2013 dari http://eprints.undip.ac.id/34109/3/Bab_II_Literatur.pdf
Penelitian kualitatif. Diakses pada tanggal 29 September 2013 dari http://www.slideshare.net/Hennov/penelitian-kualitatif-14605311
Universitas Muhamadiyah Semarang (2012). Tanpa Judul. Diakses pada tanggal 6 September 2013 dari http://digilip.unimus.ac.id/files/disk1/ 103/jtptunimus-gdl-ardhimawar-5147-3-bab2.pdf





Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.    Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam. B.      Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1.       Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80? 2.       Bagaimana tafsir, kajian eko