Skip to main content

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi.
Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.   
Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ma’rifat?
2. Bagaimana dengan macam-macam Ma’rifat?
3. Apa saja tahapan-tahapan dalam tasawuf untuk mencapai ma’rifat?
C. Tujuan
1. Agar mengerti dan memahami apa yang dimaksud ma’rifat
2. Untuk mengetahui macam-macam ma’rifat
3. Agar kita tahu bahwa dalam mencapai ma’rifat ada tahapan-tahapan tersendiri


BAB II
PEMBAHASAN

A. Apa yang dimaksud dengan Ma’rifat
            A.1. Pengertian Ma’rifat
          Dari segi bahasa, Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui atau pengalaman. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
A.2. Pendapat Imam
                   a. Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan         pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعِ الْحَقِّ، وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
            Artinya:
            “Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
                 b. Imm Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
اْلْمَعْرِفَةُ يُوْجِبُ السّكِينَةَ فيِ الْقَلْبِ كَماَ اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السّكُوْنَ، فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
            Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa   yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan  (hatinya).” 
Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai  kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan    ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun   Al-Mishri yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
      a.    Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan  prilakunya, karena itu, sikap wara’          selalu ada pada dirinya.
       b.    Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang  bersifat nyata, kerena hal-hal          yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum  tentu benar.
      c.    Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal  itu bisa membawanya kepada            perbuatan yang haram.
B. Bagaimana dengan macam-macam Ma’rifat
                   Macam-macam Ma’rifat
Secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifat Ta’limiyat, dan kedua Ma’rifat Laduniah.
B.1. Macam-macam Ma’rifat
                 1.    Ma’rifat  Ta’limiyat
      Ma’rifat Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifat yang di  lontarkan oleh al-Ghazali25, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifat  ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa, “mulai  dari bawah hingga keatas”.
     Di sisi teori yang lain Ma’rifat ta’limiyat dapat disebut juga dengan  Ma’rifat orang salik Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam -Allah Azza wa jalla-.Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna, sebagaimana yang dilontarkan oleh M. Ali Chasan Umar bahwa asma al-husna adalah Nama-nama Allah yang terbaik dan yang  Agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99 (sembilan puluh sembilan) Nama. Karena itu, adannya alam semesta menujukan adanya nama-nama Tuhan, nama-nama Tuhan itu menujukan  sifat-sifat-Nya. Nama-nama Tuhan itu ada hubungannya dengan Dzat-Nya, Ilmu-Nya, kekerasan. Keagungan-Nya dan tiada batasnya. Sifat-sifat tersebut itu selalu berdiri sendiri dan bergantung pada Dzat-Nya sebab tidak mungkin kalau ada sifat tetapi tidak ada yang disifati. Adapun yang disifati  dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla. Nama-nama  itu disebutkan dalam Firman-Nya :
Artinya  :  “Serulah Allah atau Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu seru, Dia adalah adalah mempunyai nama-nama yang baik”. (Q.S. Al- Isra’: 110)
Ma’rifat ta’limiyat secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai   proses bagaimana cara mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya  salik      (muta’alim) memerlukan metode untuk meraih Ma’rifat baik metode yang    dilakukan secara khusus misalnya menjadi murid untuk melakukan  proses perjalanan ruhani (suluk) dalam tarekat sufi secara metodik, maupun metode yang dilakukan secara umum atau tarekat yang secara langsung             mengkaji dari sumber-sumber Tasawuf atau mengikuti jejak langkah yang   dilakukan oleh Rasulullah, Para sahabat, Tab’iin, Atba At-Tabi’in sampai       ulama sekarang yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits.
 Adapun Arifubillah Muhammad bin Ibrahiim mendefinisikan bahwa hakikat cara (suluk), ialah mengosongkan diri Dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat batin) dan     mengisinya dengan sifat-sifat terpuji/mahmudah (dengan taat lahir dan batin). Tujuan dari pada suluk, bukan sekedar untuk maksud mendapat  ni’mat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan           karunia Allah,  arau mendapatkan sorotan cahaya (nur), dan lain-lain,sehingga salik (muta’alim) dapat mengetahui suratan nasib. Tetapi suluk bertujuan untuk Allah semata. Dengan jalan suluk, maka semua pelajaran-   pelajaran yang dipelajari dalam Tasawuf/ Tarekat, dengan karunia-Nya salik sendiri akan mengalami keyakian dekat dengan Tuhan.
 Firman Allah :
فَاْسلُكِى سُبُلَ َرّبِكَ ذُللاًّ                       
            Artinya : “Maka tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah dimudahkan bagimu. Dalam menempuh jalan Tuhan (suluk) maka ahli-ahli Tasawuf/Tarekat merasa yakin akan sapai kepada Tuhan”.
  Kearah menempuh tujuan itu, salik (muta’alim) menempuh   bermacam-macam cara yang dapat membawa meraka yang pada akhirnya sampai pada hadirat Allah :al-Ghazali menyebutkan cara tersebut berupa  Penycian jiwa (tazkiyat an-nafs) artinya sesorang harus melakukan penyucian jiwa  terlebih dahulu. Perolehan Ma’rifat  yang merupakan hasil dari kegiatan penyucian jiwa, harus terlebih dahulu dengan metode            mujahadah dan riyadhah. Setelah mendaki stasiun demi stasiun menuju  Tuhan, salik (pelaku tazkiyat an-nafs) hampir dapat dipastikan bahwa telah    memperoleh jiwa yang bersih dari segala kejahatan dan dosa, yang  diakibatkan dari akhlak-akhlak tercela. Jiwa seperti ini akan bercahaya dengan segala sifat yang terpuji sehingga dapat menangkap gambar suatu informasi atau pengetahuan yang tertera di lauh al-Mahfudh, yang langsung  diberikan oleh Allah kepadanya dalam kondisi Ma’rifat
                        Adapun fase-fase yang harus ditempuh  kerah mencapai hakikat,     salik (muta’alim) dapat melakukan amal ibadat cara menuju kepada Tuhan    dengan menempuh empat fase :
       Fase 1. Disebut dengan murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan   melakukan amal ibadat yang dipardukan dan sunnat, sebagai mana yang  dilakukan Rosulullah Saw.
        Fase 2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah) dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah)    dari taat lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati). Setelah hati dan ruhani telah bersir dan diisi dengan amalan batin  (dzikir), maka pada fase ini salik didatangkan nur dari Tuhan yang dinamakan nur kesadaran.
        Fase 3. disebut murhalah riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong  diri. Maksud dari dari pada mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan  batin  untuk menambah kuatnya kekuasaan ruhani atas jasmani, guna    membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu  menjadi suci, Imam ghazali mengumpamakan seperti kaca cermin yang  dapat menangkap sesuatu apapun yang bersifat suci, sehgingga salih dapat   menerima informasi hakiki tentang Allah.
     Fase 4. disebut murhalah “fana kamil” yaitu jiwa salik telah mencapai pada martabat  menyaksikan langsung yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil haqqi). Pada fase keempat ini, sebagai puncak segala perjalanan, maka         didatangkan nur yang dinamakan “nur kehadiran”
              2.      Ma’rifat Laduniyah
        Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh  Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat  sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan Ma’rifat orang mahjdub. Ma’rifat orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada sisi   kesamaannya dengan Ma’rifat Laduniyah. Lebih jauh, kalangan sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh  Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara  (wasitaha), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat   untuk memeperoleh ilmu pengetahuan seperti talqin dari - sufi.

            Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari  ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Hal ini dinyatakan oleh Abu Yazid al Bistami bahwa “Tidaklah disebut sebagai alim (ma’rifat al-mahdjub) jika seseorang masih memeproleh ilmunya dari hapalan-hapalan   kitab, karena seseorang yang memperoleh ilmunya dari hberpengetahuan ketuhanan-. Dengan demikian Ma’rifat laduniyah juga       dapat disebut Ma’rifat orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani            yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-       Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci,       kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian             kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.

Firman Allah dalam al-Qur’an :
اتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَاوَعَلَمْنَاهُ مِنْ لَدُنّاَعِلْمًا الكهف : 65
            Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari sisi kami, dan yang    telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi : 65).
Ma’rifat laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali  disebut dengan Ilmu ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan antara keduanya, menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan  duplikatnya. Hal ini mirip dengan teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam  ide itu lebih murni dari pada ilmu yang telah digelar di alam raya, namun  kedunya persis sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau  fotokopinya. Ilmu laduniyah, ‘alim Ar-Rabani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat dicapai oleh para sufi dalam keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh para ilmuwan  setapak demi setapak dengan susah payah. Oleh karena itu, para sufi tidak  tertelan belajar melalui pengkajian buku-buku atau penelitian secara radikal terhadap kenyataan alamiyah seperti halnya ilmuwan. Para sufi menginginkan jalan pintas untuk memperoleh sumber asli dari segala  ilmu  yang tersurat di lauh mahfudz. Penghayatan Kasf dan Zauq itu berada  dalam kondisi Ma’rifat, karena Ma’rifat memiliki hubungan yang erat dengan musyahadah dan mukasyafah. Ma’rifat itu sendiri merupakan ajaran Tasawuf, yang pada garis besarnya merupakan ajaran kesucian jiwa, yaitu semata-mata untuk memasukihadharah al-qudsiyah (hadirat kesucian) atau     hadharah Rububiyah (hadirat ketuhanan), akan tetapi dalam hal ini, Ma’rifat lebih signifikan karena keberadaan musyahadah dan mukasyafah bergantung pada Ma’rifat dan dengan Ma’rifat pula, ilmu laduni ikut  menyertainya.
            Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya sebagai berikut :
اَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَسْتَشْهَدَكَ فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الّظَوَهِرُوَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدِيـــَّــتِهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَاِئرِ
 Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut  kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati  menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.
       Maksud perkataan hikmah tersebut adalah “Tuhan menampakan keluhuran dan keagungan Dzat-Nya didalam hati seseorang, setelah itu Allah menunutut persaksian kepadamu mengenai  kebesaran dan keluhuran-Nya dengan melakukan dzikir dan Ibadah.  Ibadah yang dilakukan dengan   anggota lahir sebagai persaksian mengenai keagungan  dan keluhuran-Nya,dan dzikir yang dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari sifat-sifat ke- Esaan-Nya”.
C. Apa saja tahapan-tahapan dalam tasawuf untuk mencapai Ma’rifat
C.1. Tahapan-tahapan Ma’rifat
                        Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang       menekuni ajaran Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya         sebagai “As-Sa’aadah” menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil”             menurut Muhyddin bin ‘Arabiy.  Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at,             Tarekat, Hakikat dan Marifat.  Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat          dikemukakan penjabarannya sebagai berikut: 
1. Syariat
   Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar
       Al-Ma’ruf dengan mengatakan: “Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan oleh Allah, dan larangan,,yang telah dilarang oleh-Nya.”Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin Kurdiy  mengatakan: 
“Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al Qur’an dan Sunnah ataupun dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diterangkan dalam ilmu Tauhid,    Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf.” 
        Hukum-hukum yang dimaksud oleh Ulama Tauhid; meliputi  keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya,,Hari Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan       dinyatakan dalam perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat  dan mubah; dan  meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum haram dan makruh. Dan hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi   seluruh perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang  disebut “ibadah mahdhah” atau taqarrub (ibadah murni atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan sesama manusia dan makhluk lainnya, yang   disebut “ibadah ghairu mahdhah” atau “ammah” (ibadah umum). 
      Kemudian hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi sikap dan perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan najis serta maksiat yang nyata dengan istilah “At-Takhali”. Lalu berusaha melakukan kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan terpuji, dengan istilah “At-Thalli”. Bila syari’at diartikan secara sempit, sebagaimana dimaksudkan   dalam pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan yang tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh karena itu, penulis hanya mengemukakan perbuatan-  perbuatan lahir, misalnya perbuatan manusia yang merupakan fenomena      keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid. Fenomena keimanan itu terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. 
2. Tarekat
        Tarekat adalah Suatu ilmu yang mengkaji kaitannya pengamalan zikir kepada Allah dengan praktek dalam beribadah setiap waktu yang telah ditentukan.[1]
        Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi  yaitu: amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan    latihan kejiwaan (kerohanian) baik yang dilakukan oleh seorang, maupun    secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”, meskipun kedua istilah ini ada segi perbedaannya. Latihan   kerohanian itu, sering juga disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan      Suluk adalah sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian     Tarekat dan Suluk tidak sama.
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang   dapat dibedakan dari dua segi:
   a) Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, disamping dapat diperoleh manusia yang             mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya karena anugrah  semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran   Tasawuf secara sungguh-sungguh.
    b)  Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau   bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang engatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis   mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-alasannya.
     Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj  mengatakan bahwa tingkatan maqam ada  tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh. Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan sebagai berikut:
 a) Tingkatan Taubat (At-Taubah);
 b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang syubhat (Al-Wara’);
 c) Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu);
 d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru);
 e) Tingkatan Sabar (Ash-Shabru);
 f)  Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul);dan
 g) Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat dikemukakan sebagai berikut;
            a) Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah);
            b)  Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu);
            c)  Tingkatan cinta (Al-Mahabbah);
            d)  Tingkatan takut (Al-Khauf);
            e)  Tingkatan harapan (Ar-Rajaa);
            f)   Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq);
            g)   Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah    (Al-Unsu);
            h)  Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan);
            i)   Tingkatan Perenungan  (Al-Musyaahadah);dan
            j)   Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).
3. Hakikat
Hakikat adalah : Kepastian yang benar dan kebenaran yang pasti     tentang Allah (Tauhid).[2]
(96). فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ (95). إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ
Artinya: “Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan   yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang        Maha besar.” (Q.S. Waaqi’ah : 95-96)
فَذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ ۖ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ ۖ فَأَنَّىٰ تُصْرَفُونَ
Artinya: “Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang Sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran).”(Q.S. yunus : 32)
    Perkataan hakikat dalam islam tasawuf ialah esensi atau pangkal dari  semua alam yang maujud baik yang ghoib ataupun yang syahadah. Adakalanya ilmu tasawuf dipanggil juga ilmu hakikat. Ini kerana hakikat           manusia itu yang sebenarnya adalah rohnya. Yang menjadikan manusia   itu hidup dan berfungsi adalah rohnya. Yang menjadikan mereka mukalaf     disebabkan adanya roh. Yang merasa senang dan susah adalah rohnya. Yang akan ditanya di Akhirat adalah rohnya. Hati atau roh itu tidak mati sewaktu   jasad manusia mati. Cuma ia berpindah ke alam Barzakh dan terus ke   Akhirat.
         Jadi hakikat manusia itu adalah roh. Roh itulah yang kekal. Sebab   itu ia dikatakan ilmu hakikat. Oleh yang demikian apabila kita mempelajari  sungguh-sungguh ilmu rohani ini hingga kita berjaya membersihkan hati,waktu itu yang hanya kita miliki adalah sifat-sifat mahmudah yaitu sifatsifat terpuji. Sifat-sifat mazmumah iaitu sifat-sifat terkeji sudah tidak adalagi. Maka jadilah kita orang yang bertaqwa yang akan diberi bantuan oleh     Allah SWT di dunia dan Akhirat. Kebersihan hati inilah yang akan menjadi            pandangan Allah. Maksudnya, bila hati bersih, sembahyangnya diterima     oleh Allah SWT. Bila hati bersih, puasanya diterima oleh Allah.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
            A.1. Pengertian Ma’rifat
                        Dari segi bahasa, Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui atau pengalaman. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
A.2. Pendapat Imam
                   a. Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan         pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعِ الْحَقِّ، وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
            Artinya:
            “Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
            A.3. Macam-macam Ma’rifat
                 1.    Ma’rifat  Ta’limiyat
      Ma’rifat Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifat yang di   lontarkan oleh al-Ghazali25, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata          ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang  yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifat   ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa, “mulai     dari bawah hingga keatas”.
                  2.      Ma’rifat Laduniyah
  Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari  atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama- nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan Ma’rifat orang mahjdub
A.4. Tahapan-tahapan Ma’rifat
            1. Syariat
                        Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar
            Al-Ma’ruf dengan mengatakan: “Syari’at adalah suruhan yang telah            diperintahkan oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.”         Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin AL             Kurdiy  mengatakan: “Syari’at adalah hukum-hukum yang telah      diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang telah ditetapkan oleh Ulama      (melalui) sumber nash Al Qur’an dan Sunnah ataupun dengan (cara)             istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diterangkan dalam ilmu Tauhid,    Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf.”
            2. Tarekat
          Tarekat adalah Suatu ilmu yang mengkaji kaitannya pengamalan      zikir kepada Allah dengan praktek dalam beribadah setiap waktu yang telah   ditentukan.Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi;  yaitu:
         amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan    latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun    secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk   mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan  “Al-Akhwaal”, meskipun kedua istilah ini ada segi perbedaannya. Latihan      kerohanian itu, sering juga disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan  Suluk adalah sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi   kalau dilihat dari sisi organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian  Tarekat dan Suluk tidak sama.
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang      dapat dibedakan dari dua segi:
            a)  Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh   dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh.Sedangkan ahwaal, disamping dapat diperoleh manusia yang         mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya karena anugrah        semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran           Tasawuf secara sungguh-sungguh.
            b)        Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau   bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang  mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis   mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-alasannya.
 3. Hakikat
       Hakikat adalah : Kepastian yang benar dan kebenaran yang pasti tentang Allah (Tauhid). (Q.S. Waaqi’ah : 95-96) dan (Q.S. yunus : 32)
           Jadi hakikat manusia itu adalah roh. Roh itulah yang kekal. Sebab   itu ia dikatakan ilmu hakikat. Oleh yang demikian apabila kita mempelajari sungguh-sungguh ilmu rohani ini hingga kita berjaya membersihkan hati, waktu itu yang hanya kita miliki adalah sifat-sifat mahmudah yaitu sifat-sifat terpuji. Sifat-sifat mazmumah iaitu sifat-sifat terkeji sudah tidak ada lagi. Maka jadilah kita orang yang bertaqwa yang akan diberi bantuan oleh     Allah SWT di dunia dan Akhirat. Kebersihan hati inilah yang akan menjadi            pandangan Allah. Maksudnya, bila hati bersih, sembahyangnya diterima oleh Allah SWT. Bila hati bersih, puasanya diterima oleh Allah.
B. Saran
        Makalah ini tentu masih jauh dari nilai yang lebih baik, karena dibuat hanya sebatas pengetahuan penulis itu pun dengan referensi yang masih minim. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.


DAFTAR PUSTAKA

Mahrus, 2009. Buku Aqidah, Jakarta
Jamaluddin, Kafie. 2003. Tasawuf Kontemporer. Jakarta: Repubika
Hasyim, Muhammad. 2002.  Dialog antara Tasawuf dan      Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
As, Asmaran. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Fadhlalla Hairi, Syaikh. 2000. Jenjang-Jenjang Sufisme. Yogyakarta: Pustaka         Pelajar



[1] Mahrus, M.Ag, Buku Aqidah, hal 43, Jakarta 2009
[2] Jamaluddin Kafie. Tasawuf Kontemporer.(Jakarta: Repubika, 2003)., hal 113

Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam. B.      Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1.       Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80? 2.       Bagaimana tafsir, kajian eko