Skip to main content

WAKALAH, SHULH, KAFALAH, DLAMAN, DAN WARIS

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan bantuan satu sama lain dalam berbagai pekerjaan yang dapat mendatangkan manfaat bagi hidupnya. Agama menganjurkan untuk tolong menolong dalam hal kebaikan. Islam merupakan agama yang lengkap, yang membahas hubungan Allah SWT dengan makhluknya (hablumminallah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablumminannas).
Dalam ajaran Islam hal sekecil apapun bahkan yang detail masuk kedalam kajian ilmu fiqh. Segala sesuatu sudah di bahas oleh para ulama dalam ijtihadnya. Bahkan hubungan antar sesama manusia, atau yang biasa disebut fiqh sosial. Perjanjian antara dua orang atau lebih juga termasuk didalamnya. Misalnya yaitu wakalah, Shulh, Kafalah, Dlaman dan Waris. Wakalah yaitu pemberian mandat, pendelegasian, penyerahan pihak satu kepada pihak lain yang diberi amanah. Sedangkan Shulh adalah memutus pertengkaran dan perselisihan, dan lain-lain.
Ketentuan syara’ yang berhubungan dengan hak dan kewajiban manusia harus dilaksanakan dengan baik dan bertanggungjawab. Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa makalah ini akan membahas mengenai Wakalah, Shulh, Kafalah, Dhaman, dan Waris.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud Wakalah?
2.    Apa yang dimaksud Shulh?
3.    Apa yang dimaksud Kafalah?
4.    Apa yang dimaksud Dlaman?
5.    Apa yang dimaksud Waris?

C.  Tujuan
1.    Menjelasakan tentang Wakalah.
2.    Menjelaskan tentang Shulh.
3.    Menjelaskan tentang Kafalah.
4.    Menjelaskan tentang Dlaman.
5.    Menjelaskan tentang Waris.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Wakalah
1.      Pengertian Wakalah  
Wakalah secara etimologi yang berarti al-hifdh pemeliharaan, al-Tafwidh penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Sedangkan secara terminologi wakalah adalah pemberi kewenangan/ kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.[1] Para ulama memberikan definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu: Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan). Sedangkan Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa wakalah adalah seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.
Hal kaitannya dengan wakalah menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Buku II. Bab I, pasal 20 ayat 19 bahwasannya wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu. Menurut KUHP mengenai wakalah terdapat dalam Buku III, Bab VIII pasal 1792 dipasal tersebut diterangkan bahwa pemberi kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakil) itu dapat secara sah untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun karena satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang (muwakil) itu adalah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila, atau anak kecil maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah seperti seorang terdakwa mewakilkan urusan kepada pengacaranya.[2]
2.      Dasar Hukum Wakalah
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi dan membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak sebagai wakilnya. Dan Ijma para ulama telah sepakat telah membolehkan wakalah, karena wakalah dipandang sebagai bentuk tolong-menolong atas dasar kebaika dan takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Firman Allah QS. Al-Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب.        
“Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih.
Dalam Hadis dari Sulaiman bin Yasar, bahwa wakalah bukan hanya diperintahkan diperintahkan oleh Nabi tetapi Nabi sendiri pernah melakukannya. Bahwa Nabi pernah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah.(HR. Malik) dan Rasulullah juga pernah mewakilkan dalam membayar utang, mewakili dalam mengurus untanya.(HR. Bukhari dan Abu Hurairah). Adanya wakalah juga terdapa dalam KHES Pasal 20 angka 19 dan KUHPerdata pasal 1792.
3.      Rukun dan Syarat Wakalah
Rukun wakalah dalam KHES pasal 452 ialah:
a.    Wakil (orang yang mewakili)
b.    Muwakkil (orang yang mewakilkan)
c.    Muakkal fih (sesuatu yang diwakilkan)
d.    Shighat (lafadz ijab dan qabul)
Adapun syarat yang menjadi wakalah sebagai berikut:
a.    Wakil (orang yang mewakilkan) dalam ketentuan pasal 457 KHES bahwa orang yang menjadi penerima kuasa harus cakap bertindak hukum, maksudnya disini seseorang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum tidak berhak mengangkat penerima kuasa seperti seorang anak yang masih dalam pengampuan tetapi apabila anak yang masih dalam pengampuan itu boleh diangkat sebagai penerima kuasa asal dia menghasilkan perbuatan yang menguntungkan bagi pemberi kuasa, dan tidak merugikan tetapi dengan adanya seizin walinya.
b.   Muwakkil (orang yang mewakilkan) dalam ketentuan pasal 458 bahwa seseorang yang menerima kuasa harus sehat akal pikiran maksudnya tidak gila, orang yang berakal sehat dan tidak idiot serta ia cakap perbuatan hukum meski tidak perlu dewasa tapi dengan adanya izin dari walinya dan tidak berhak dan berkewajiban dalam transaksi karenanya itu dimiliki oleh pemberi kuasa.
c.    Muakkal fih (sesuatu yang diwakilkan) dalam ketentuan pasal 459 sesuatu yang diwakilkan itu bisa berupa seseorang dan/ atau badan usaha berhak menunjuk pihak lain sebagai penerima kuasanya untuk melaksanakan suatu tindakan yang dapat filakukannya sendiri, memenuhi kewajiban, dan/ atau yang mendapatkan suatu hak dalam hal transaksi yang merupakan menjadi hak dan tanggung jawabnya.
d.    Shighat (lafadz ijab dan qabul) dalam Fatwa No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dan wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.[3] Jadi akad pemberian kuasa bisa terjadi apabila adanya ijab dan qabul, sedangkan akad tersebut dikatakan batal itu jika si penerima kuasa menolak untuk menjadi penerima kuasa. (pasal 452 ayat 2 dan 4).
  4. Bentuk-bentuk Wakalah
Adapun bentuk-bentuknya dalam KHES pasal 456 dijelaskan bahwa transaksi pemberian kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan/ atau terbatas, ialah:
a.   Wakalah Muqayyadah (khusus), yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan. Maka melakukan perbuatan hukumnya secara terbatas (pasal 468 KHES)
b.   Wakalah Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil dalam pekerjaan. Maka seorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas. Maka melakukan perbuatan hukumnya secara mutlak (pasal 467 KHES)
5. Tujuan Adanya Wakalah
Pada hakikatnya wakalah merupakan pemberian dan pemeliharaan amanat. Oleh karena itu, baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang mewakili) yang telah bekerja sama/ kontrak, wajib bagi keduanya untuk menjalankan hak dan kewajibannya, saling percaya, dan menghilangkan sifat curiga dan beburuk sangka. Dan sisi lainnya wakalah terdapat pembagian tugas, karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan pekerjaannya dengan dirinya sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain, maka muncullah sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang yang sedang menganggur. Dengan demikian, si muwakkil akan terbantu dalam pekerjaanya, dan si wakil tidak kehilangan pekerjaanya.
6.  Berakhirnya Wakalah
Berhentinya akad wakalah ini bisa terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Salah satu pihak meninggal dunia.
b.    Telah berakhirnya atau telah sempurnanya aktivitas atau urusan yang diwakilkan.
c.    Jika muwakkil memberhentikan wakilnya, hal ini terjadi dalam kondisi apapun sekalipun tanpa adanya kesalahan dari wakil.
d.    Wakil memberhentikan dirinya sendiri.
e.    Perkara yang diwakilkan telah keluar dari kepemilikan atau wewenang muwakkil.
B.     Shulh
1.      Pengertian Sulh
Secara etimologi, sulh mengandung pengertian “memutus pertengkaran atau perselisihan”. Dalam pengertian terminologi, sulhdiartikan sebagai “suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan), antara duaorang yang berlawanan.”[4] Dalam terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih. Dalam perdamaian terdapat dua pihak, yang sebelumnya diantara mereka terjadi persengketaan. Kemudian, para pihak sepakat untuk saling melepaskan semua atau sebagian dari tuntutannya. Hal ini dimaksudkan agar persengketaan diantara mereka dapat diakhiri. Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syarit Islam diistilahkan dengan mushalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut mushalih ‘anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengakhiri pertingkaian atau pertengkaran dinamakan dengan mushalih ‘alaihi.
2.      Dasar Hukum Sulh
Hukum sulh perdamaian dalam syariat islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungankasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.
1.      QS. An-Nisa ayat 128
...وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ....-١٢٨-
“perdamaian itu lebih baik (dari pada perselisihan)”
2.      QS. Al-Hujurat ayat 9
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ -٩-
 “Dan apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah Mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Mengenai hukum sulh diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan  Imam Tirmizi yang artinya “perdamaian dibolehkan dikalangan  kaum muslimin, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.
Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di dalam islam. Orang-orang islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutar balikan hukum yang halal menjadi haramatau sebaliknya.
4.      Rukun dan Syarat Sulh
a.       Rukun Sulh
1.      Mushalih, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad sulhuuntuk mengakhiri pertengkaran, permusuhan, atau sengketa.
2.      Mushalih ‘anhu, yaitu persoalan yang diperselisihkan atau dipersengketakan.
3.      Mushalih alaihi /mushalih bih, yaitu hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal inidisebut juga dengan istilah badal al-shulh.
4.      Shigat yaitu ijab dan kabul yang masing-masing dilakukan oleh dua pihak yang berdamai. Seperti ucapan“aku bayar utangku kepadamu yang berjumlah lima puluh ribu (ucapan pihak pertama)”.Kemudian, pihak kedua menjawab“saya terima”.Ijab kabul dapat dilakukan dengan lafaz atau dengan apa saja yang menunjukkan adanya ijab kabul yang menimbulkan perdamaian. Mushalih disyariatkan orang yang tindakannya dinyatakan sah menurut hukum, karena sulhu adalah tindakan tabarru’(sumbangan) seperti seseorang menagih utang kepada orang lain, tetapi tidak  ada bukti utang piutang, maka keduanya berdamai agar utang itu dibayar sekalipun tidak ada tanda buktinya.[5]
b.      Syarat-syarat Sulh
1.    Syarat yang berhubungan dengan mushalih(orang yang berdamai) yaitu disyaratkan mereka adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah secara hukum. Jika tidak, seperti anak kecil dan orang gila maka tidak sah.[6] Selain cakap bertndak menurut hukum, juga harus mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melepas haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum dan mempunyai kekuasaan atau wewenang itu seperti:
a.       Wali, atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya.
b.      Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya.
c.       Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah pengawasannya.
2.      Syarat yang berhubungan dengan mushalih bih (objek perdamian)
a.       Berbentuk harta yang dapat dinilai, diserah-terimakan, dan berguna. Baik berwujud sepserti tanah maupun tidak berwujud sepserti hak intelektual.
b.      Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan pertikaian baru pada objek yang sama.
3.      Syarat yang berhubungan dengan mushalih ‘anhu yaitu sesuatu yang diperkirakan termasuk hak manusia yang boleh diiwadkan (diganti). Jikaberkaitan dengan hak-hak Allah maka tidak dapat bershulhu.
5.      Macam-Macam Sulh
a.    Perdamaian antara muslim dan kafir yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu (sekarang disebut dengan genjatan senjata) secara bebas atau dengan caramengganti kerugian yang diatur oleh undang-undang yang telah disepakati bersama.
b.    Perdamaian antara kepala negara dan pemberontak. Hal ini berkaitan dengan masalah keamanan negara yaitu dengan membuat perjanjian atau aturan mengenai peraturan mengenai keamanan dalam negara yang harus ditaati.
c.    Perdamaian antara suami istri yaitu membuat perjanjian dan aturan tentang pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakalaterjadi perselisihan.
d.   Perdamaian dalam muamalah yaitu yang berkaitan dengan masalah yang terkait dengan perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalah seperti utang-piutang.
C.    Kafalah
1.    Pengertian dan dasar hukum kafalah
Kafalah termasuk jenis daman, tetapi lebih khusus pada tanggungan badan. Jadi, kafalah adalah orang yang diperbolehkan bertindak berfungsi menunaikan hak pengadilan. Kafalah adalah sinonim dari dhamman, yaitu jaminan atau tanggungan seseorang ,kepada pihak lain yang memerlukannya. Tetapi ada bedanya dengan dhamman, kalau dhamman adalah tanggungan harta, maka kafalah adalah tanggungan badan yang terkenal dengan tanggungan muka. Contoh kafalah misalnya menghadirkan seseorang yang sedang dalam perkara kemuka pengadilan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan jika diperlukan.
Dasar hukum kafalah QS Yusuf: 66
Artinya: Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". tatkala mereka memberikan janji mereka, Maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)".
Menurut mazhab Hanafi, rukun kafalah adalah ijab dan kabul. Sedangkan menurut para ulama lainnya rukun dan syarat kafalah adalah sebagai berikut:
a.    Dhamin atau Kafil adalah orang yang menjamin. Syarat orang yang menjamin adalah balig dan berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya, dan dilakukan dengan kehendak sendiri.
b.    Madhmun lah yaitu orang yang berpiutang. Syaratnya yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin.
c.    Madhmun anhu yaitu orang yang berutang.
d.   Madhmun bih yaitu utang. Syaratnya dapat diketahui dan tetap keadaannya.
e.    Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.[7]
2.    Macam-macam kafalah
a.    Kafalah dengan jiwa yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada apa yang ia janjikan tanggungan.
b.  Kafalah dengan harta yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh penjamin dengan pembayaran berupa harta.
3.    Pelaksanaan kafalah
Kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk, yaitu:
a.    Munjaz adalah tanggungan yang ditunaikan seketika.
b.    Mu’allaq yaitu menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu. Seperti orang berkata.”jika kamu mengutangkan pada anakku maka aku yang akan membayarnya”.
c.    Mu’aqqat yaitu tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu. Seperti ucapan seseorang “apabila ditagih pada bulan Ramadhan maka aku yang menanggung pembayaran utangmu.[8]
D.    Dlaman
1.      Pengertian Dhamman
Dhamman adalah suatu ikrar atau lafadz yang disampaikan berupa perkataan atau perbuatan untuk menjamin pelunasan hutang seseorang. Dengan demikian, kewajiban membayar hutang atau tanggungan itu berpindah dari orang yang berhutang kepada orang yang menjamin pelunasan hutangnya.[9]
2.       Dasar Hukum Dhaman
Dhamman hukumnya boleh dan sah dalam arti diperbolehkan oleh syariat Islam, selama tidak menyangkut kewajiban yang berkaitan dengan hak-hak Allah. Firman Allah Swt. :
 “Penyeru-penyeru itu berkata :”Kami kehilangan piala raja dan barang siapa
yang dapat mengembalikan akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan akan menjamin terhadapnya”(QS.Yusuf:72)
Sabda Rasulullah saw. :

Penghutang hendaklah mengembalikan pinjamannya dan penjamin hendaklah
membayar”(HR.Abu Dawud dan Tirmidzi).
 Sabda Rasulullah saw. :
 “Sesungguhnya ada jenazah yang dibawa ke hadapan Nabi saw. lalu para sahabat berkata:”Ya Rasulullah kami mohon jenazah ini dishalatkan!”, Tanya Nabi: “Adakah harta pusaka yang ditinggalkan?”, Jawab sahabat:”Tidak”, lalu Nabi Tanya lagi:”Apakah ia punya hutang?”, jawab sahabat:”Punya, ada tiga dinar”, kemudian Nabi bersabda:” Shalatkan temanmu itu!”, lantas Abu Qatadah ra. berkata:”Ya Rasulullah, Shalatkanlah ia dan saya yang menjamin hutangnya!”.Kemudian Nabi saw. menshalatkannya” (HR.Bukhari)
3.      Syarat dan Rukun Dhaman
Rukun Dhamman antara lain :
a. Penjamin.
b. Orang yang dijamin hutangnya
c. Penagih yang mendapat jaminan
Adapun syarat dhaman antara lain :
a. Syarat penjamin
1) Dewasa (baligh)
2) Berakal (tidak gila atau waras)
3) Atas kemauan sendiri (tidak terpaksa)
4) Orang yang diperbolehkan membelanjakan harta.
5) Mengetahui jumlah atau kadar hutang yang dijamin.
b. Syarat orang yang dijamin, yaitu orang yang berdasarkan hukum diperbolehkan untuk membelanjakan harta.
c. Syarat orang yang menagih hutang, dia diketahui keberadaannya oleh orang yang menjamin.
d. Syarat harta yang dijamin antara lain:
1) Diketahui jumlahnya
2) Diketahui ukurannya
3) Diketahui kadarnya
4) Diketahui keadaannya
5) Diketahui waktu jatuh tempo pembayaran.
e. Syarat lafadz (ikrar) yaitu dapat dimengerti yang menunjukkan adanya jaminan serta pemindahan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban pelunasan hutang dan jaminan ini tidak dibatasi oleh sesuatu, baik waktu atau keadaan tertentu.
4. Hikmah Dhaman
Hikmah dhaman sebagai berikut:
a. Munculnya rasa aman dari peminjam (penghutang).
b. Munculnya rasa lega dan tenang dari pemberi hutang
c. Terbentuknya sikap tolong menolong dan persaudaraan
d. Menjamin akan mendapat pahala dari Allah Swt.
E.     Waris
1.      Pengertian Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab Al-miirats, adalah bentuk masdar dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiratsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.[10] Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.[11]
2.      Dasar Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam mengatur hal ihwal harta peninggalan (warisan) yang ditinggalkan oleh si mayit, yaitu mengatur peralihan harta peninggalan dari mayit (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli waris). Adapun dasar-dasar hukum yang mengatur tentang kewarisan Islam adalah sebagai berikut: 
a.       QS. An-nisa (4): 11
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيماً
Allah Mensyariatkan (Mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah (lihat Q.S. 4 an-Nisā‘: 34)
b.      QS. An-nisa (4): 12
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَو امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.

3.  Rukun Dan Syarat Waris

Adapun rukun dan syarat waris ada 3 yaitu:
1.      Al-Muwaris (pewaris)
Orang yang meninggal dunia dengan mewariskan hartanya. Syaratnya adalah al-muwaris benar-benar telah meninggal secara hakiki, secara yuridis (hukmy) atau secara takdiry berdasarkan perkiraan. Mati hakiki artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui  dan dinyatakan  bahwa seseorang telah meninggal dunia. Mati hukmy adalah seseorang yang secara yuridis melalui keputusan hakim dinyatakan  telah meninggal dunia, ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Melalui keputusan hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal. Sebagai keputusan hakim mempunyai kekuatan  hukum yang mengikat.
Mati taqdiry yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya karena ia ikut ke medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, dan melahirkan dugaan kuat ia telah meninggal, maka dapat dikatakan bahwa ia telah meninggal dunia.[12] Menurut Amir Syarifuddin, al-mawaris adalah orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang dapat beralih kepada keluarga yang masih hidup. Matinya muwaris harus terpenuhi karena merupakan syarat seseorang dapat dikatakan muwaris. Hal ini untuk memenuhi kewarisan akibat kematian. Maka berdasarkan asas ijbari, pewaris menjelang kematiannya tidak berhak menentukan kepada siapa harta itu beralih, karena semua ditentukan secara pasti oleh Allah, walaupun pewaris memiliki satu per tiga untuk mewasiatkan hartanya.24
2.      Al-Waris (Ahli Waris)
Orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba sahayanya. Syaratnya, ahli waris dalam keadaan hidup pada saat al-muwaris meninggal. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-h}aml). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau secara lainnya, baginya berhak mendapatkan warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai paling sedikit dan paling lama usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan. Ada syarat lain yang harus terpenuhi, yaitu bahwa antara almuwarris dan al-waris tidak ada halangan untuk mewarisi.[13] Menurut Sayid Sabiq, ahli waris adalah orang yang berhak menguasai dan menerima harta waris karena mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi yang dihubungkan dengan pewaris.[14]
3.      Tirkah
Harta atau hak yang berpindah dari pewaris kepada ahli waris. Harta tersebut dapat dikatakan tirkah apabila harta peninggalan si mayit telah dikurangi biaya perawatan, hutang dan wasiat yang dibenarkan oleh syara’ untuk diwarisi oleh ahli waris, atau istilah waris disebut maurus.[15] Dari pengertian di atas terdapat perbedaan antara harta waris dengan harta peninggalan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan si mayit (harta pewaris secara keseluruhan), sedangkan harta waris (tirkah) adalah harta peninggalan secara syara’ berhak dimiliki ahli waris dan terbatas dari hak orang lain di dalamnya.[16]
4.        Sebab-Sebab Kewarisan
Hal hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga macam:
1.      Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran.[17]
2.      Karena hubungan pernikahan
Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah yang sah dan terjadi antara suami istri sekalipun belum terjadi persetubuhan. Adapun suami istri yang melakukan pernikahan tidak sah tidak menyebabkan adanya hak waris. Pernikahan yang sah menurut syari’at Islam merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama ikatan pernikahan itu masih terjadi. Masing-masing pihak adalah teman hidup dan pembantu bagi yang lain dalam memikul beban hidup bersama. Oleh karena itu Allah memberikan sebagian tertentu sebagai imbalan pengorbanan dari jerih payahnya, bila salah satu dari keduanya meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka.  Atas dasar itulah, hak suami maupun istri tidak dapat terhijab sama sekali oleh ahli waris siapapun. Mereka hanya dapat terhijab (dukurangi bagiannya) oleh anak turun mereka atau oleh ahli waris yang lain.[18]
3.      Karena wala’
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak mendapatkan warisan. Wala’ yang dapat dikategorikan sebagai kerabat secara hukum, disebut juga dengan istilah wala’ul itqi, dan wala’un nikmah. Hal ini karena pemberian kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan dari statusnya sebagai hamba sahaya.[19]
5.        Sebab-Sebab Penghalang Kewarisan
Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan yang menjadikan tertutupnya peluang seseorang untuk mendapatkan warisan.[20]Adapun hal-hal yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan yaitu:
1.      Budak
2.      Pembunuhan
3.      Perbedaan agama
6.        Ahli Waris Dan Bagiannya
Adapun ahli waris dari seorang pewaris yang telah meninggal dunia adalah sebagai berikut:
1.      Pihak laki-laki :[21]
a.         Anak laki-laki.
b.        Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki, dan terus kebawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki.
c.         Bapak.
d.        Kakek dari pihak bapak, dan terus keatas pertalian yang belum putus dari pihak bapak.
e.         Saudara laki-laki seibu sebapak.
f.         Saudara laki-laki sebapak.
g.        Saudara laki-laki seibu.
h.        Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
i.          Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak.
j.          Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.
k.        Saudara laki-laki bapak yang sebapak.
l.          Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
m.      Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak.
n.        Suami  
o.        Anak laki-laki yang memerdekakannya (mayat)
Jika ke-15 orang diatas itu masih ada, maka yang mendapat harta waris dari mereka itu ada 3 orang saja, yaitu: Bapak, anak laki-laki, dan suami.
2.      Pihak perempuan:[22]
a.       Anak perempuan.
b.      Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah, asal pertaliannya dengan yang meninggal itu masih terus laki-laki.
c.       Ibu
d.      Ibu dari bapak
e.       Ibu dari ibu terus keatas pihak ibu sebelum anak laki-laki.
f.       Saudara perempuan yang seibu sebapak.
g.      Saudara perempuan yang sebapak
h.      Saudara perempuan yang seibu
i.        Istri
j.        Perempuan yang memerdekakan si mayit.
Jika ke-10 orang yang diatas itu masih ada, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu: istri, anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, saudara perempuan yang seibu sebapak. Sekiranya 25 orang tersebut diatas, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan itu masih ada, maka yang pasti mendapat harta waris hanya salah seorang dari dua suami istri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
7.        Jumlah Bagian Ahli Waris (Furudul Muqadarah)
1.      Yang mendapat bagian setengah[23]
a.    Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama saudaranya.
b.    Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada perempuan.
c.    Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila saudara perempuan seibu sebapak tidak ada dan ia hanya sendiri saja.
d.   Suami, apabila istrinya yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak dan tidak adapula anak dari anak laki-laki, baik laki maupun perempuan.
2.    Yang mendapat bagian seperempat
a.       Suami, apabila istrinya meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, atau meninggalkan anakdari anak lakilaki atau perempuan.
b.      Istri, baik hanya satu orang atau berbilang, jika suami tidak meninggalkan anak (baik anak laki-laki maupun perempuan) dan tidak pula anak dari anak laki-laki (baik laki-laki maupun perempuan). Maka apabila istri itu berbilang, seperti empat itu dibagi rata antara mereka.
3.    Yang mendapat bagian seperdelapan
Yaitu istri, baik satu atau berbilang. Mendapat pusaka dari suaminya seperdelapan dari harta apabila suaminya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
4.    Yang mendapatkan bagian dua pertiga
a.       Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada anak laki-laki. Berarti apabila anak perempuan berbilang, sedangkan anak laki-laki tidak ada, maka mereka mendapatkan dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh bapak mereka.
b.      Dua orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila anak perempuan tidak ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang berbilang itu, maka mereka mendapat pusaka dari kakek mereka sebanyak dua pertiga dari harta dari harta.
c.       Saudara perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang (dua atau
lebih).
d.      Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.
5.    Yang mendapatkan bagian sepertiga
a.       Ibu, apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara, baik laki-laki maupun perempuan, baik seibu sebapak ataupun sebapak saja, atau seibu saja.
b.      Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
6.    Yang mendapatkan bagian seperenam
a.       Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki, atau beserta dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki atau saudara perempuan, seibu sebapak, sebapak saja atau seibu saja.
b.      Bapak si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki.
c.       Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibu tidak ada.
d.      Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, (anak perempuan dari anak laki-laki). Mereka mendapat seperenam dari harta, baik sendiri ataupun berbilang, apabila bersama-sama seorang anak perempuan. Tetapi apabila anak perempuan berbilang, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat pusaka.
e.       Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak lakilaki, sedangkan bapak tidak ada.
f.       Untuk seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
g.        Saudara perempuan yang sebapak saja, baik sendiri ataupun berbilang, apabila beserta saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara seibu sebapak berbilang (dua atau lebih), maka saudara sebapak tidak mendapat pusaka (dengan alasan berdasarkan ijma’ ulama).

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Wakalah adalah pemberi kewenangan/ kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.
2.      Shulh adalah perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih
3.      Kafalah adalah jaminan atau tanggungan seseorang ,kepada pihak lain yang memerlukannya. Tetapi ada bedanya dengan dhamman, kalau dhamman adalah tanggungan harta, maka kafalah adalah tanggungan badan yang terkenal dengan tanggungan muka.
4.      Dlaman adalah suatu ikrar atau lafadz yang disampaikan berupa perkataan atau perbuatan untuk menjamin pelunasan hutang seseorang.
5.      Waris adalah hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ru’fah, dkk. Tt. Fiqih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Abidin, Ibnu. 1966. Hasyiyatu Radd Al-Mukhtar. Mesir: Mustafa Al-Babiy Al-Hakabiy.
Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Ash-Shabuni, M. Ali. 1996. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Ghazaly, Abdul rahman. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Hasanuddin, dkk. Tt. Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kementrian Agama Republik Indonesia. 2014.  Buku Siswa Fikih MA Kelas X. Jakarta: Kementrian Agama.
Kulsum, Umi. 2007. Risalah Fiqih Wanita. Surabaya: Cahaya Mulia.
Lathif, Azharuddin. 2005. Fiqh Muamalat. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Rizal, Qosim M. 2008. Pengamalan Fikih.  Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Rofiq, Ahmad. 1995. Fiqh Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo.
Rofiq, Ahmad. 2000. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sabiq, Sayid. 2004. Fiqh Al-Sunnah Jilid 4. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Umam, Dian Khairul. 2000. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.







[1] Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hal 171
[2] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 187.
[3] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 356.

[4] Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tt), 193.
[5]  Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fiqih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, tt), 231.
[6] Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat........, 197.
[7] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2002), 191.
[8] Qosim, M. Rizal, Pengamalan Fikih ( Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008), 143-153
[9] Kementrian Agama Republik Indonesia, Buku Siswa Fikih MA Kelas X (Jakarta: Kementrian Agama,2014), 140.
[10] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 12.
[11] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. IV, 2000), 355.
[12] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo,1995), 22-23.
[13] Ibid., 23.
[14] Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah Jilid 4,(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004), 426.
[15] Ibid., 4.
[16] Ibnu Abidin, Hasyiyatu Radd Al-Mukhtar, (Mesir: Mustafa Al-Babiy Al-Hakabiy, 1966), 35.
[17] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 17.
[18] Ibid., 20.
[19] Ibid., 24.
[20] Ibid., 30.
[21] Umi Kulsum, Risalah Fiqih Wanita, (Surabaya: Cahaya Mulia, 2007), 343.
[22] Ibid., 344.
[23] Ibid., 347-350. 

Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.    Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam. B.      Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1.       Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80? 2.       Bagaimana tafsir, kajian eko