BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia
adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan bantuan satu sama lain dalam
berbagai pekerjaan yang dapat mendatangkan manfaat bagi hidupnya. Agama
menganjurkan untuk tolong menolong dalam hal kebaikan. Islam merupakan agama
yang lengkap, yang membahas hubungan Allah SWT dengan makhluknya (hablumminallah) dan hubungan dengan
sesama manusia (hablumminannas).
Dalam ajaran Islam
hal sekecil apapun bahkan yang detail masuk kedalam kajian ilmu fiqh. Segala
sesuatu sudah di bahas oleh para ulama dalam ijtihadnya. Bahkan hubungan antar
sesama manusia, atau yang biasa disebut fiqh sosial. Perjanjian antara dua
orang atau lebih juga termasuk didalamnya. Misalnya yaitu wakalah, Shulh,
Kafalah, Dlaman dan Waris. Wakalah yaitu pemberian mandat, pendelegasian,
penyerahan pihak satu kepada pihak lain yang diberi amanah. Sedangkan Shulh
adalah memutus pertengkaran dan perselisihan, dan lain-lain.
Ketentuan syara’
yang berhubungan dengan hak dan kewajiban manusia harus dilaksanakan dengan
baik dan bertanggungjawab. Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa
makalah ini akan membahas mengenai Wakalah, Shulh, Kafalah, Dhaman, dan Waris.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud Wakalah?
2.
Apa yang dimaksud Shulh?
3.
Apa yang dimaksud Kafalah?
4.
Apa yang dimaksud Dlaman?
5.
Apa yang dimaksud Waris?
C. Tujuan
1.
Menjelasakan tentang Wakalah.
2.
Menjelaskan tentang Shulh.
3.
Menjelaskan tentang Kafalah.
4.
Menjelaskan tentang Dlaman.
5.
Menjelaskan tentang Waris.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Wakalah
1.
Pengertian Wakalah
Wakalah secara
etimologi yang berarti al-hifdh pemeliharaan, al-Tafwidh
penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Sedangkan secara terminologi wakalah
adalah pemberi kewenangan/ kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus
dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti pemberi
kuasa selama batas waktu yang ditentukan.[1]
Para ulama memberikan definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu:
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, seseorang menempati
diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan). Sedangkan Ulama
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa wakalah adalah seseorang
menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.
Hal kaitannya
dengan wakalah menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Buku
II. Bab I, pasal 20 ayat 19 bahwasannya wakalah adalah pemberian kuasa
kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu. Menurut KUHP mengenai wakalah
terdapat dalam Buku III, Bab VIII pasal 1792 dipasal tersebut diterangkan bahwa
pemberi kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada
orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang
memberikan kuasa.
Dalam wakalah
sebenarnya pemilik urusan (muwakil) itu dapat secara sah untuk
mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun karena satu dan lain hal urusan
itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya.
Oleh karena itu, jika seorang (muwakil) itu adalah orang yang tidak ahli
untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila, atau anak kecil maka tidak
sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah seperti seorang terdakwa
mewakilkan urusan kepada pengacaranya.[2]
2.
Dasar Hukum Wakalah
Islam
mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu
untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi dan membutuhkan orang lain
untuk menggantikan yang bertindak sebagai wakilnya. Dan Ijma para ulama telah
sepakat telah membolehkan wakalah, karena wakalah dipandang sebagai
bentuk tolong-menolong atas dasar kebaika dan takwa yang diperintahkan oleh
Allah SWT, dan Rasul-Nya. Firman Allah QS. Al-Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب.
“Dan
tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan janganlah
kamu tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih.
Dalam Hadis
dari Sulaiman bin Yasar, bahwa wakalah bukan hanya diperintahkan diperintahkan
oleh Nabi tetapi Nabi sendiri pernah melakukannya. Bahwa Nabi pernah mewakilkan
kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah.(HR.
Malik) dan Rasulullah juga pernah mewakilkan dalam membayar utang, mewakili
dalam mengurus untanya.(HR. Bukhari dan Abu Hurairah). Adanya wakalah juga
terdapa dalam KHES Pasal 20 angka 19 dan KUHPerdata pasal 1792.
3.
Rukun dan
Syarat Wakalah
Rukun
wakalah dalam KHES pasal 452 ialah:
a.
Wakil (orang yang mewakili)
b.
Muwakkil (orang yang mewakilkan)
c.
Muakkal fih (sesuatu yang diwakilkan)
d.
Shighat (lafadz ijab dan qabul)
Adapun syarat
yang menjadi wakalah sebagai berikut:
a.
Wakil (orang yang mewakilkan) dalam ketentuan pasal 457 KHES
bahwa orang yang menjadi penerima kuasa harus cakap bertindak hukum, maksudnya
disini seseorang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum tidak berhak
mengangkat penerima kuasa seperti seorang anak yang masih dalam pengampuan
tetapi apabila anak yang masih dalam pengampuan itu boleh diangkat sebagai
penerima kuasa asal dia menghasilkan perbuatan yang menguntungkan bagi pemberi
kuasa, dan tidak merugikan tetapi dengan adanya seizin walinya.
b. Muwakkil (orang yang
mewakilkan) dalam ketentuan pasal 458 bahwa seseorang yang menerima kuasa harus
sehat akal pikiran maksudnya tidak gila, orang yang berakal sehat dan tidak
idiot serta ia cakap perbuatan hukum meski tidak perlu dewasa tapi dengan
adanya izin dari walinya dan tidak berhak dan berkewajiban dalam transaksi
karenanya itu dimiliki oleh pemberi kuasa.
c.
Muakkal fih (sesuatu yang diwakilkan) dalam ketentuan pasal 459
sesuatu yang diwakilkan itu bisa berupa seseorang dan/ atau badan usaha berhak
menunjuk pihak lain sebagai penerima kuasanya untuk melaksanakan suatu tindakan
yang dapat filakukannya sendiri, memenuhi kewajiban, dan/ atau yang mendapatkan
suatu hak dalam hal transaksi yang merupakan menjadi hak dan tanggung jawabnya.
d.
Shighat (lafadz ijab dan qabul) dalam Fatwa No.
10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, bahwa pernyataan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad), dan wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak
boleh dibatalkan secara sepihak.[3]
Jadi akad pemberian kuasa bisa terjadi apabila adanya ijab dan qabul, sedangkan
akad tersebut dikatakan batal itu jika si penerima kuasa menolak untuk menjadi
penerima kuasa. (pasal 452 ayat 2 dan 4).
4. Bentuk-bentuk Wakalah
Adapun
bentuk-bentuknya dalam KHES pasal 456 dijelaskan bahwa transaksi pemberian
kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan/ atau terbatas, ialah:
a. Wakalah
Muqayyadah (khusus), yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan
tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang
ditentukan. Maka melakukan perbuatan hukumnya secara terbatas (pasal 468 KHES)
b. Wakalah
Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai
wakil dalam pekerjaan. Maka seorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara
luas. Maka melakukan perbuatan hukumnya secara mutlak (pasal 467 KHES)
5. Tujuan Adanya Wakalah
Pada hakikatnya
wakalah merupakan pemberian dan pemeliharaan amanat. Oleh karena itu,
baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang
mewakili) yang telah bekerja sama/ kontrak, wajib bagi keduanya untuk
menjalankan hak dan kewajibannya, saling percaya, dan menghilangkan sifat
curiga dan beburuk sangka. Dan sisi lainnya wakalah terdapat pembagian
tugas, karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan
pekerjaannya dengan dirinya sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain, maka
muncullah sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang yang
sedang menganggur. Dengan demikian, si muwakkil akan terbantu dalam
pekerjaanya, dan si wakil tidak kehilangan pekerjaanya.
6. Berakhirnya Wakalah
Berhentinya
akad wakalah ini bisa terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah
sebagai berikut:
a.
Salah satu
pihak meninggal dunia.
b.
Telah
berakhirnya atau telah sempurnanya aktivitas atau urusan yang diwakilkan.
c.
Jika muwakkil
memberhentikan wakilnya, hal ini terjadi dalam kondisi apapun sekalipun tanpa
adanya kesalahan dari wakil.
d.
Wakil
memberhentikan dirinya sendiri.
e.
Perkara yang
diwakilkan telah keluar dari kepemilikan atau wewenang muwakkil.
B.
Shulh
1. Pengertian Sulh
Secara etimologi, sulh
mengandung pengertian “memutus pertengkaran atau perselisihan”. Dalam
pengertian terminologi, sulhdiartikan sebagai
“suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan),
antara duaorang yang berlawanan.”[4]
Dalam terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk
menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan
antara orang-orang yang berselisih. Dalam perdamaian terdapat dua pihak, yang
sebelumnya diantara mereka terjadi persengketaan. Kemudian, para pihak sepakat
untuk saling melepaskan semua atau sebagian dari tuntutannya. Hal ini
dimaksudkan agar persengketaan diantara mereka dapat diakhiri. Masing-masing
pihak yang mengadakan perdamaian dalam syarit Islam diistilahkan dengan mushalih,
sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut mushalih ‘anhu, dan
perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk
mengakhiri pertingkaian atau pertengkaran dinamakan dengan mushalih ‘alaihi.
2. Dasar Hukum Sulh
Hukum sulh perdamaian
dalam syariat islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan
terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungankasih sayang) sekaligus permusuhan
di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.
1.
QS. An-Nisa ayat 128
...وَالصُّلْحُ
خَيْرٌ ....-١٢٨-
“perdamaian
itu lebih baik (dari pada perselisihan)”
2. QS.
Al-Hujurat ayat 9
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا
عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ -٩-
“Dan
apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang
lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah
Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil.
Sungguh, Allah Mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Mengenai hukum sulh diungkapkan juga dalam berbagai
hadits nabi, salah satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya “perdamaian
dibolehkan dikalangan kaum muslimin,
kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang haram. Dan
orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada
syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.
Pesan terpenting yang dapat dicermati
dari hadits di atas bahwa perdamaian
merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan
perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah
tegas di dalam islam. Orang-orang islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti
mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah
kepada pemutar balikan hukum yang halal menjadi haramatau sebaliknya.
4. Rukun dan Syarat Sulh
a. Rukun
Sulh
1. Mushalih,
yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad sulhuuntuk mengakhiri
pertengkaran, permusuhan, atau sengketa.
2. Mushalih
‘anhu, yaitu persoalan yang diperselisihkan atau dipersengketakan.
3. Mushalih
alaihi /mushalih bih, yaitu hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal inidisebut juga dengan
istilah badal al-shulh.
4. Shigat
yaitu ijab dan kabul yang masing-masing dilakukan oleh dua pihak yang berdamai.
Seperti ucapan“aku bayar utangku kepadamu yang berjumlah lima puluh ribu
(ucapan pihak pertama)”.Kemudian, pihak kedua menjawab“saya terima”.Ijab kabul
dapat dilakukan dengan lafaz atau dengan apa saja yang menunjukkan adanya ijab
kabul yang menimbulkan perdamaian. Mushalih disyariatkan orang yang tindakannya
dinyatakan sah menurut hukum, karena sulhu adalah tindakan tabarru’(sumbangan)
seperti seseorang menagih utang kepada orang lain, tetapi tidak ada bukti utang piutang, maka keduanya
berdamai agar utang itu dibayar sekalipun tidak ada tanda buktinya.[5]
b. Syarat-syarat
Sulh
1. Syarat
yang berhubungan dengan mushalih(orang yang berdamai) yaitu disyaratkan mereka
adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah secara hukum. Jika tidak, seperti
anak kecil dan orang gila maka tidak sah.[6]
Selain cakap bertndak menurut hukum, juga harus mempunyai kekuasaan atau
kewenangan untuk melepas haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian
tersebut.
Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum dan
mempunyai kekuasaan atau wewenang itu seperti:
a. Wali,
atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya.
b. Pengampu,
atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya.
c. Nazir
(pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah pengawasannya.
2. Syarat
yang berhubungan dengan mushalih
bih (objek perdamian)
a. Berbentuk
harta yang dapat dinilai, diserah-terimakan, dan berguna. Baik berwujud
sepserti tanah maupun tidak berwujud sepserti hak intelektual.
b. Dapat
diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan,
yang pada akhirnya dapat menimbulkan pertikaian baru pada objek yang sama.
3. Syarat
yang berhubungan dengan mushalih ‘anhu yaitu sesuatu yang diperkirakan termasuk
hak manusia yang boleh diiwadkan (diganti). Jikaberkaitan dengan hak-hak Allah
maka tidak dapat bershulhu.
5. Macam-Macam Sulh
a. Perdamaian
antara muslim dan kafir yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam
masa tertentu (sekarang disebut dengan genjatan senjata) secara bebas atau
dengan caramengganti kerugian yang diatur oleh undang-undang yang telah
disepakati bersama.
b. Perdamaian
antara kepala negara dan pemberontak. Hal ini berkaitan dengan masalah keamanan
negara yaitu dengan membuat perjanjian atau aturan mengenai peraturan mengenai
keamanan dalam negara yang harus ditaati.
c. Perdamaian
antara suami istri yaitu membuat perjanjian dan aturan tentang pembagian
nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya
manakalaterjadi perselisihan.
d. Perdamaian
dalam muamalah yaitu yang berkaitan dengan masalah yang terkait dengan
perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalah seperti utang-piutang.
C. Kafalah
1. Pengertian
dan dasar hukum kafalah
Kafalah
termasuk jenis daman, tetapi lebih khusus pada tanggungan badan. Jadi, kafalah
adalah orang yang diperbolehkan bertindak berfungsi menunaikan hak pengadilan. Kafalah
adalah sinonim dari dhamman, yaitu jaminan atau tanggungan seseorang ,kepada
pihak lain yang memerlukannya. Tetapi ada bedanya dengan dhamman, kalau dhamman
adalah tanggungan harta, maka kafalah adalah tanggungan badan yang terkenal
dengan tanggungan muka. Contoh kafalah misalnya menghadirkan seseorang yang
sedang dalam perkara kemuka pengadilan pada waktu dan tempat yang telah
ditentukan jika diperlukan.
Dasar hukum
kafalah QS Yusuf: 66
Artinya: Ya'qub
berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama
kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa
kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung
musuh". tatkala mereka memberikan janji mereka, Maka Ya'qub berkata: "Allah
adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)".
Menurut
mazhab Hanafi, rukun kafalah adalah ijab dan kabul. Sedangkan menurut para
ulama lainnya rukun dan syarat kafalah adalah sebagai berikut:
a.
Dhamin atau Kafil adalah orang yang
menjamin. Syarat orang yang menjamin adalah balig dan berakal, tidak dicegah
membelanjakan hartanya, dan dilakukan dengan kehendak sendiri.
b.
Madhmun lah yaitu orang yang
berpiutang. Syaratnya yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin.
c.
Madhmun anhu yaitu orang yang
berutang.
d.
Madhmun bih yaitu utang. Syaratnya
dapat diketahui dan tetap keadaannya.
e.
Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz
itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti
sementara.[7]
2. Macam-macam kafalah
a.
Kafalah
dengan jiwa yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin untuk menghadirkan orang
yang ia tanggung kepada apa yang ia janjikan tanggungan.
b. Kafalah
dengan harta yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh penjamin dengan
pembayaran berupa harta.
3. Pelaksanaan kafalah
Kafalah
dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk, yaitu:
a.
Munjaz adalah tanggungan yang
ditunaikan seketika.
b.
Mu’allaq yaitu menjamin sesuatu
dengan dikaitkan pada sesuatu. Seperti orang berkata.”jika kamu mengutangkan
pada anakku maka aku yang akan membayarnya”.
c.
Mu’aqqat yaitu tanggungan yang harus
dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu. Seperti ucapan seseorang “apabila
ditagih pada bulan Ramadhan maka aku yang menanggung pembayaran utangmu.[8]
D. Dlaman
1.
Pengertian Dhamman
Dhamman
adalah suatu ikrar atau lafadz yang disampaikan
berupa perkataan atau perbuatan untuk menjamin pelunasan hutang seseorang.
Dengan demikian, kewajiban membayar hutang atau tanggungan itu berpindah dari
orang yang berhutang kepada orang yang menjamin pelunasan hutangnya.[9]
2.
Dasar Hukum Dhaman
Dhamman
hukumnya boleh dan sah dalam arti diperbolehkan oleh
syariat Islam, selama tidak menyangkut kewajiban yang berkaitan dengan
hak-hak Allah. Firman Allah Swt. :
“Penyeru-penyeru itu berkata :”Kami kehilangan
piala raja dan barang siapa
yang dapat mengembalikan
akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan akan menjamin
terhadapnya”(QS.Yusuf:72)
Sabda
Rasulullah saw. :
“Penghutang
hendaklah mengembalikan pinjamannya dan penjamin hendaklah
membayar”(HR.Abu
Dawud dan Tirmidzi).
Sabda Rasulullah saw. :
“Sesungguhnya ada jenazah yang dibawa ke hadapan Nabi saw. lalu
para sahabat berkata:”Ya Rasulullah kami mohon jenazah ini
dishalatkan!”, Tanya Nabi:
“Adakah harta pusaka yang ditinggalkan?”, Jawab sahabat:”Tidak”, lalu Nabi Tanya lagi:”Apakah ia punya hutang?”, jawab
sahabat:”Punya, ada
tiga dinar”, kemudian Nabi bersabda:” Shalatkan temanmu itu!”, lantas Abu Qatadah ra. berkata:”Ya Rasulullah,
Shalatkanlah ia dan saya yang
menjamin hutangnya!”.Kemudian Nabi saw. menshalatkannya” (HR.Bukhari)
3.
Syarat dan Rukun Dhaman
Rukun
Dhamman antara lain :
a.
Penjamin.
b.
Orang yang dijamin hutangnya
c.
Penagih yang mendapat jaminan
Adapun
syarat dhaman antara lain :
a.
Syarat penjamin
1)
Dewasa (baligh)
2)
Berakal (tidak gila atau waras)
3)
Atas kemauan sendiri (tidak terpaksa)
4)
Orang yang diperbolehkan membelanjakan harta.
5)
Mengetahui jumlah atau kadar hutang yang dijamin.
b.
Syarat orang yang dijamin, yaitu orang yang berdasarkan hukum diperbolehkan
untuk membelanjakan harta.
c.
Syarat orang yang menagih hutang, dia diketahui keberadaannya oleh orang yang menjamin.
d.
Syarat harta yang dijamin antara lain:
1)
Diketahui jumlahnya
2)
Diketahui ukurannya
3)
Diketahui kadarnya
4)
Diketahui keadaannya
5)
Diketahui waktu jatuh tempo pembayaran.
e.
Syarat lafadz (ikrar) yaitu dapat dimengerti yang menunjukkan adanya jaminan
serta pemindahan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban pelunasan hutang dan
jaminan ini tidak dibatasi oleh sesuatu, baik waktu atau keadaan tertentu.
4.
Hikmah Dhaman
Hikmah
dhaman sebagai berikut:
a. Munculnya rasa aman dari peminjam (penghutang).
b. Munculnya rasa lega dan tenang dari pemberi hutang
c. Terbentuknya sikap tolong menolong dan persaudaraan
d. Menjamin akan mendapat pahala dari Allah Swt.
E. Waris
1.
Pengertian Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab Al-miirats, adalah bentuk masdar
dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiratsan.
Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.[10] Sedangkan secara terminologi hukum,
kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta
warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima
dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.[11]
2.
Dasar Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam mengatur hal ihwal harta peninggalan (warisan) yang ditinggalkan oleh si mayit,
yaitu mengatur peralihan harta peninggalan dari mayit (pewaris) kepada yang
masih hidup (ahli waris). Adapun
dasar-dasar hukum yang mengatur tentang kewarisan Islam adalah sebagai
berikut:
a.
QS.
An-nisa (4): 11
يُوصِيكُمُ
اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ
نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً
فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ
تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ
كَانَ عَلِيما حَكِيماً
Allah
Mensyariatkan (Mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk)
anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari
dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia
(anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia
(yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Bagian
laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih
berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah (lihat Q.S. 4 an-Nisā‘: 34)
b.
QS.
An-nisa (4): 12
وَلَكُمْ
نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ
لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ
بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ
وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن
بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ
كَلاَلَةً أَو امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا
السُّدُسُ فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ مِن
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ
اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Dan bagianmu
(suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah
(dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang
kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau
seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah
(dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan
tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha
Mengetahui, Maha Penyantun.
3. Rukun Dan Syarat Waris
Adapun rukun dan syarat waris ada 3 yaitu:
1.
Al-Muwaris (pewaris)
Orang yang meninggal dunia dengan
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah al-muwaris
benar-benar telah meninggal secara hakiki, secara yuridis (hukmy) atau secara takdiry
berdasarkan perkiraan. Mati hakiki artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Mati hukmy adalah seseorang yang secara
yuridis melalui keputusan hakim dinyatakan
telah meninggal dunia, ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang
yang dinyatakan hilang tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Melalui
keputusan hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal.
Sebagai keputusan hakim mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat.
Mati taqdiry yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
Misalnya karena ia ikut ke medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriyah
mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, dan
melahirkan dugaan kuat ia telah meninggal, maka dapat dikatakan bahwa ia telah
meninggal dunia.[12] Menurut Amir Syarifuddin, al-mawaris
adalah orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang dapat
beralih kepada keluarga yang masih hidup. Matinya muwaris harus terpenuhi
karena merupakan syarat seseorang dapat dikatakan muwaris. Hal ini untuk
memenuhi kewarisan akibat kematian. Maka berdasarkan asas ijbari, pewaris menjelang kematiannya tidak berhak menentukan
kepada siapa harta itu beralih, karena semua ditentukan secara pasti oleh
Allah, walaupun pewaris memiliki satu per tiga untuk mewasiatkan hartanya.24
2.
Al-Waris
(Ahli
Waris)
Orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena
hubungan darah, hubungan sebab perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba
sahayanya. Syaratnya, ahli waris dalam keadaan hidup pada saat al-muwaris meninggal. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih
dalam kandungan (al-h}aml). Meskipun
masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi)
atau secara lainnya, baginya berhak mendapatkan warisan. Untuk itu perlu
diketahui batasan yang tegas mengenai paling sedikit dan paling lama usia
kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan
dinasabkan. Ada syarat lain yang harus terpenuhi, yaitu bahwa antara almuwarris dan al-waris tidak ada halangan untuk mewarisi.[13] Menurut Sayid Sabiq, ahli waris adalah orang yang berhak menguasai
dan menerima harta waris karena mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi yang
dihubungkan dengan pewaris.[14]
3.
Tirkah
Harta atau hak yang berpindah dari pewaris kepada ahli waris. Harta
tersebut dapat dikatakan tirkah apabila
harta peninggalan si mayit telah dikurangi biaya perawatan, hutang dan wasiat
yang dibenarkan oleh syara’ untuk diwarisi oleh ahli waris, atau istilah waris
disebut maurus.[15] Dari pengertian di atas terdapat perbedaan antara harta waris
dengan harta peninggalan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah semua yang
ditinggalkan si mayit (harta pewaris secara keseluruhan), sedangkan harta waris
(tirkah) adalah harta peninggalan
secara syara’ berhak dimiliki ahli waris dan terbatas dari hak orang lain di
dalamnya.[16]
4.
Sebab-Sebab Kewarisan
Hal hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga
macam:
1. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang
mewarisi dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran.[17]
2. Karena hubungan pernikahan
Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah
yang sah dan terjadi antara suami istri sekalipun belum terjadi persetubuhan.
Adapun suami istri yang melakukan pernikahan tidak sah tidak menyebabkan adanya
hak waris. Pernikahan yang sah menurut syari’at Islam merupakan ikatan untuk
mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama ikatan
pernikahan itu masih terjadi. Masing-masing pihak adalah teman hidup dan
pembantu bagi yang lain dalam memikul beban hidup bersama. Oleh karena itu
Allah memberikan sebagian tertentu sebagai imbalan pengorbanan dari jerih
payahnya, bila salah satu dari keduanya meninggal dunia dan meninggalkan harta
pusaka. Atas
dasar itulah, hak suami maupun istri tidak dapat terhijab sama sekali oleh ahli
waris siapapun. Mereka hanya dapat terhijab (dukurangi bagiannya) oleh anak
turun mereka atau oleh ahli waris yang lain.[18]
3. Karena wala’
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah
memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang
dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak mendapatkan
warisan. Wala’
yang dapat dikategorikan sebagai kerabat secara hukum, disebut juga dengan
istilah wala’ul itqi, dan wala’un nikmah. Hal ini karena pemberian kenikmatan
kepada seseorang yang telah dibebaskan dari statusnya sebagai hamba sahaya.[19]
5.
Sebab-Sebab Penghalang Kewarisan
Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan yang menjadikan
tertutupnya peluang seseorang untuk mendapatkan warisan.[20]Adapun hal-hal yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan
warisan yaitu:
1.
Budak
2.
Pembunuhan
3.
Perbedaan
agama
6.
Ahli Waris Dan Bagiannya
Adapun ahli waris dari seorang pewaris yang telah meninggal dunia
adalah sebagai berikut:
1.
Pihak
laki-laki :[21]
a.
Anak
laki-laki.
b.
Anak
laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki, dan terus
kebawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki.
c.
Bapak.
d.
Kakek
dari pihak bapak, dan terus keatas pertalian yang belum putus dari pihak bapak.
e.
Saudara
laki-laki seibu sebapak.
f.
Saudara
laki-laki sebapak.
g.
Saudara
laki-laki seibu.
h.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
i.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak.
j.
Saudara
laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.
k.
Saudara
laki-laki bapak yang sebapak.
l.
Anak
laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
m.
Anak
laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak.
n.
Suami
o.
Anak
laki-laki yang memerdekakannya (mayat)
Jika ke-15 orang diatas itu masih ada, maka yang mendapat harta
waris dari mereka itu ada 3 orang saja, yaitu: Bapak, anak laki-laki, dan
suami.
2.
Pihak
perempuan:[22]
a.
Anak
perempuan.
b.
Anak
perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah, asal pertaliannya dengan
yang meninggal itu masih terus laki-laki.
c.
Ibu
d.
Ibu
dari bapak
e.
Ibu
dari ibu terus keatas pihak ibu sebelum anak laki-laki.
f.
Saudara
perempuan yang seibu sebapak.
g.
Saudara
perempuan yang sebapak
h.
Saudara
perempuan yang seibu
i.
Istri
j.
Perempuan
yang memerdekakan si mayit.
Jika ke-10 orang yang diatas itu masih ada, maka yang dapat
mewarisi dari mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu: istri, anak perempuan, anak
perempuan dari anak laki-laki, ibu, saudara perempuan yang seibu sebapak.
Sekiranya 25 orang tersebut diatas, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak
perempuan itu masih ada, maka yang pasti mendapat harta waris hanya salah
seorang dari dua suami istri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
7.
Jumlah Bagian Ahli Waris (Furudul
Muqadarah)
1. Yang mendapat bagian setengah[23]
a. Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama saudaranya.
b. Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada perempuan.
c. Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila
saudara perempuan seibu sebapak tidak ada dan ia hanya sendiri saja.
d. Suami, apabila istrinya yang meninggal dunia tidak meninggalkan
anak dan tidak adapula anak dari anak laki-laki, baik laki maupun perempuan.
2. Yang mendapat bagian seperempat
a.
Suami,
apabila istrinya meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki
maupun perempuan, atau meninggalkan anakdari anak lakilaki atau perempuan.
b.
Istri,
baik hanya satu orang atau berbilang, jika suami tidak meninggalkan anak (baik
anak laki-laki maupun perempuan) dan tidak pula anak dari anak laki-laki (baik
laki-laki maupun perempuan). Maka apabila istri itu berbilang, seperti empat
itu dibagi rata antara mereka.
3. Yang mendapat bagian seperdelapan
Yaitu istri, baik satu atau berbilang. Mendapat pusaka dari
suaminya seperdelapan dari harta apabila suaminya yang meninggal dunia itu
meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, atau anak dari anak
laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
4. Yang mendapatkan bagian dua pertiga
a.
Dua
orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada anak
laki-laki. Berarti apabila anak perempuan berbilang, sedangkan anak laki-laki
tidak ada, maka mereka mendapatkan dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh bapak mereka.
b.
Dua
orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila anak perempuan
tidak ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang berbilang itu, maka
mereka mendapat pusaka dari kakek mereka sebanyak dua pertiga dari harta dari
harta.
c.
Saudara
perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang (dua atau
lebih).
d.
Saudara
perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.
5. Yang mendapatkan bagian sepertiga
a.
Ibu,
apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu (anak dari anak
laki-laki), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara, baik laki-laki
maupun perempuan, baik seibu sebapak ataupun sebapak saja, atau seibu saja.
b.
Dua
orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun
perempuan.
6. Yang mendapatkan bagian seperenam
a.
Ibu,
apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki, atau beserta dua
saudara atau lebih, baik saudara laki-laki atau saudara perempuan, seibu sebapak,
sebapak saja atau seibu saja.
b.
Bapak
si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki.
c.
Nenek
(ibu dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibu tidak ada.
d.
Cucu
perempuan dari pihak anak laki-laki, (anak perempuan dari anak laki-laki).
Mereka mendapat seperenam dari harta, baik sendiri ataupun berbilang, apabila
bersama-sama seorang anak perempuan. Tetapi apabila anak perempuan berbilang,
maka cucu perempuan tadi tidak mendapat pusaka.
e.
Kakek
(bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak lakilaki,
sedangkan bapak tidak ada.
f.
Untuk
seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
g.
Saudara
perempuan yang sebapak saja, baik sendiri ataupun berbilang, apabila beserta
saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara seibu sebapak
berbilang (dua atau lebih), maka saudara sebapak tidak mendapat pusaka (dengan
alasan berdasarkan ijma’ ulama).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Wakalah adalah pemberi kewenangan/ kuasa kepada pihak
lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i
menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.
2.
Shulh adalah perjanjian
untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai
kesepakatan antara orang-orang yang berselisih
3.
Kafalah adalah jaminan atau tanggungan
seseorang ,kepada pihak lain yang memerlukannya. Tetapi ada bedanya dengan
dhamman, kalau dhamman adalah tanggungan harta, maka kafalah adalah tanggungan
badan yang terkenal dengan tanggungan muka.
4.
Dlaman adalah suatu ikrar atau lafadz yang disampaikan berupa perkataan atau
perbuatan untuk menjamin pelunasan hutang seseorang.
5.
Waris adalah hukum
yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris
yang berhak menerimanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ru’fah, dkk. Tt. Fiqih
Muamalah. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Abidin, Ibnu. 1966. Hasyiyatu
Radd Al-Mukhtar. Mesir: Mustafa Al-Babiy Al-Hakabiy.
Ali, Zainuddin.
2008. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Ash-Shabuni, M. Ali. 1996. Pembagian
Waris Menurut Islam. Jakarta:
Gema Insani Press.
Ghazaly, Abdul rahman. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Hasanuddin,
dkk. Tt. Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Kementrian Agama Republik Indonesia. 2014. Buku Siswa Fikih
MA Kelas X. Jakarta: Kementrian
Agama.
Kulsum, Umi. 2007. Risalah
Fiqih Wanita. Surabaya:
Cahaya Mulia.
Lathif, Azharuddin. 2005. Fiqh Muamalat. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Rizal, Qosim M. 2008. Pengamalan Fikih. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Rofiq, Ahmad. 1995. Fiqh
Mawaris. Jakarta:
Raja Grafindo.
Rofiq, Ahmad. 2000. Hukum
Islam Di Indonesia. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Sabiq, Sayid. 2004. Fiqh
Al-Sunnah Jilid 4. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Umam, Dian Khairul. 2000. Fiqih
Mawaris. Bandung:
Pustaka Setia.
[1] Azharuddin
Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hal 171
[2] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2010), 187.
[3] Zainuddin Ali, Hukum
Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 356.
[4] Isnawati Rais dan
Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS (Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tt), 193.
[5] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fiqih
Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, tt), 231.
[6] Abdul Rahman Ghazaly,
dkk, Fiqh Muamalat........, 197.
[7] Hendi Suhendi, Fiqih
Muamalah (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2002), 191.
[8] Qosim, M. Rizal, Pengamalan
Fikih ( Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008), 143-153
[9] Kementrian Agama
Republik Indonesia, Buku Siswa Fikih MA Kelas X (Jakarta: Kementrian
Agama,2014), 140.
[10]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris
Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 12.
[11]
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. IV, 2000), 355.
[12]
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta:
Raja Grafindo,1995), 22-23.
[13] Ibid.,
23.
[14]
Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah Jilid 4,(Jakarta:
Pena Pundi Aksara, 2004), 426.
[15] Ibid., 4.
[16] Ibnu
Abidin, Hasyiyatu Radd Al-Mukhtar, (Mesir:
Mustafa Al-Babiy Al-Hakabiy, 1966), 35.
[17] Dian
Khairul Umam, Fiqih Mawaris,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), 17.
[18] Ibid., 20.
[19] Ibid., 24.
[20] Ibid., 30.
[21] Umi
Kulsum, Risalah Fiqih Wanita,
(Surabaya: Cahaya Mulia, 2007), 343.
[22] Ibid., 344.
[23] Ibid., 347-350.
Comments
Post a Comment