BAB I
A.
Latar
Belakang
Syariat Islam tidak mentaklifkan
kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang
boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak
bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau
kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan
berdasarkan kaedah ini (masyaqqah tajlibu al-taisir) ialah masyaqqah yang
melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya,
bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan amal yang berguna.
Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi
pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian
hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.
Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah
tahap yang selanjutnya yaitu membahas tentang cabang-cabang dari kaidah pokok masyaqqah
tajlibu al-taisir. Hal tersebutlah yang menjadikan latar belakang bagi
penulis untuk menyusun makalah ini dan sebagai tugas dari mata kuliah Qawa’id
al-Fiqhiyah.
B.
Rumusan
Masalah
Apa saja cabang-cabang dari kaidah masyaqqah tajlibu al-taisir dan bagaimana
implementasi dari kaidah tersebut ?
C.
Tujuan Masalah
Untuk mengetahui cabang-cabang dari kaidah masyaqqah tajlibu al-taisir serta
mengetahui terapan dalam kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kaidah
Secara
bahasa, Al-masyaqqat berarti Al-ta’b (kelelahan, kepenatan, dan
keletihan). Sedangkan menurut termonologi kata Al- taysir adalah Al-subulat
(gampang, mudah, dan ringan).
Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga adalah :
اِنَّ اْلَاحْكَامَ الَّتِى يَنْشَاْ عَنْ تَطْبِيْقِهَا حَرَج عَلَى
المُكَلَفِ وَمُشَقَّةُ فِي نَفْسِهِ اَوْ مَالِهِ فَالشَّرِيْعَةُ تُخَفِّفُهُمَا
بِمَا يَقَعُ تَحْتَ قُدْرَةِ المُكَلَّفِ دُوْنُ عَسْرٍ اَوْ حَرَجٍ
“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya
terdapat kesulitan, maka syariat meringankannya beban tersebut berada dibawah
kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan”.
Dalam kaidah ini ditegaskan, bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami oleh
seseorang dalam melakukan ritual ibadah maupun sosial akan menarik adanya
keringanan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Jika seorang
muslim dalam melakukan ibadah menemui suatu kendala, maka pada titik inilah
Islam memberikan toleransi dengan keringanan serta kemudahan.[1]
B.
Macam-macam
Kaidah cabang al-masyaqqah tajlibu al-taisir
Adapun qa’idah-qa’idah cabang dari al-masyaqqah adalah:
1. ادا ضاق الأمر اتسع
“Apabila
suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas.”
Qa’idah ini sesungguhnya yang sangat merupakan
cabang dan qa’idah “al-masyaqqat tajlib al-taisir”, sebab al-masyaqqah itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh
berduka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian jauh. Sakit dan
bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu
kebolehan berbuka, akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali maka, hokum
wajib melakukan shaum itu kembali pula. Oleh karena itu muncul pula qa’idah kedua:
ادا اتسع ضاق “Apabila suatu perkara, menjadi meluas maka hukumnya menyempit.” Qa’idah
ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena iu
qa’idah ini digabungkan menjadi satu, yaitu:
ادا ضاق
الأمر اتسع وادا
اتسع ضاق
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya
meluas, dan apabila suatu perkara meluas maka hukkumnya menyempit”.
Qa’idah
ini juga menunjukkan fleksibelitas hokum Islam yang bisa diterapkan secara
tepat pada setiap keadaan. Semakna dengan qa’idah di atas adalah qa’idah كل ما
تجاوز عن حده
انعكس الى ضده “ Setiap
yang melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada yang sebaliknya.” Atau qa’idah: ما جاز لعدر
بطل بزواله“Apa yang
diperbolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak boleh lagi) dengan
hilangnya halangan tadi.
Contoh
penerapannya seperti wanita yang sedang enstruasi dilarang shalat dan puasa.
Larangan tersebut menjadi hilang bile menstruasinya berhenti. Kewajiban
melaksanakan shalat fardhu dan puasa Ramadhan kembali lagi dan ia boleh lagi
melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.
2. ادا
تعدر الاصل يصار الى البدل
“Apabila
yang asli sukar dikerjakamaka berpindah kepada penggantinya.”
Contohnya: tayamum sebagai pengganti wudhu. Atau Seseorang yang
meminjam harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta
tersebut sudah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada
pemiliknya, maka dia wajib menggantinya dengan harga demikian juga dengan
halnya dengan orang yang meminjam suatu benda kemudian benda itu hilang
(misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun
cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran.
Dalam fiqh Siasah, kaidah di atas banyak diterapkan terutama dalam hal yang
berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan misalnya, ada istilah PJMT (Pejabat
yang Melaksanakan Tugas) karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka
diganti oleh petugas yang lain sebagai penggantinya.[2]
3. ما
لا يمكن التحرز منه معفو عنه
“Apa
yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan.”
Contohnya:
pada waktu sedang berpuasa, seorang yang berkumur-kumur tidak akan mungkin
terhindar dari rasa air di mulut, atau masih ada sisa-sisa darah pada pakaian
yang sulit dibersihkan dengan cucian.
4. الر خصة لا تناط
با لمعا صى
“
Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Qa’idah ini digunakan untuk menjaga
keringanan-keringanan di dalam hokum tidak disalahgunakan untuk melakukan
maksiat (kejahatan atau dosa). Seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan
maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang
barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan
keringanan-keringan di dalam hukum Islam. Misalnya, perjalanan seseorang dengan
maksud membegal, merampat harta orang lain, membunuh, mengancam atau
mengintimidasi, memerangi kaum muslimin dan melakukan tindakan sewenang-wenang
terhadap mereka.
Atau
perjalanan seorang istri yang minggat dari rumah karena nusyuz dari suaminya, atau kepergian seseorang yang dikejar-kejar
hutang dan harus melunasinya karena sudah jatuh tempo dan maksud menghindari
dari orang yang memberi hutang, padahal ia sanggup untuk melunasinya. Atau
kepergan seseorang untuk menikmati hiburan yang diharamkan dan maksud-maksus
lainnya yang termasuk kategori tindakan maksiat.
Mengenai ketentuan hukum keringanan
(rukhshah) dalam perjalanan jenis ini, para ahli hukum Islam terbelah ke dalam
dua kelompok besar.
Pendapat
pertama, pendapat mayoritas ahli hokum Islam yang terdiri ari kalangan
ulama madzhab Maliki, madzhab Syafi’I, dan ulama-ulama madzhab Hambali. Mereka
berpendapat bahwa perjalanan seorang pelaku maksiat tidak dapat dijadikan
faktor untuk menerapkan hokum dispentatif, sebab pemberlakuan hukkum
dispentatif bertuuan untuk meringankan beban perjalanan dan orang yang
bertujuan maksiat idak masuk dalam kategori ini. Pendapat ini juga menjadi
pendapat yang umum di kalangan mayoritas sahabat dan tabi’in. rukhshah adalah
anugerah dari Allah, sehingga ia tidak mungkin diperoleh dengan cara maksiat.
Pendapat
kedua, pendapat Imam Abu Hanifah )madzhab Hanafi),
Al-Muzani dari madzhab Ayafi’I, Al-Auza’I, dan Ats-Tsauri. Mereka berpendapat
memperbolehkan ketetapan hokum dispentatif berupa rukhsah safar dalam
perjalanan maksiat.
Mereka
menggunakan dalil QS. Al-Baqarah ayat 184 :
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ
تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
artinnya “barang siapa diantara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” Lafadz
perjalanan (safar) ini tidak memberikan batasan (mitlak) sehingga mencakup
perjalanan dalam ketaatan maupun perjalanan untuk maksiat.[3]
5. إذا تعذرت الحقيقة يصار إلى المجاز
“Apabila suatu kata sulit diartikan
dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti
kiasannya”
Contoh :
Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya kepada anak Haji Ishaq”.
Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq sudah lama meninggal, yang
ada adalah hanyalah cucunya bernama Sarifudin. Maka dalam hal ini, kata anak
harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab,
tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.
6.
إذا
تعذر إعمال الكلام يهمل
“Apabila sulit mengamalkan suatu
perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”
Contohnya: apabila seseorang menuntut warisan
dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah
diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang
meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya, maka perkataan orang tersebut
ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.[4]
7.
يغتفرفي
الدوام ما لا يغتفر في الإبتداء
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan
perbuatan dan tidak bisa dimaafkan padapermulaannya”
Contohnya
: Mahasiswa yang menyewa kost atau barak maka diharuskan membayar uang muka oleh pemilik kost atau barak.
Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin melanjutkan
sewaan berikutnya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
8.
يغتفر في
الإبتداء ما لا يغتفر في الدوام
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada
kelanjutannya”
Dhabith ini
terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang melakukan perbuatan hukum karena
tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang. Contohnya: pria dan wanita
melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa diantara
keduanya dilarang melangsungkan akad nikah baik karena se-nasab, mushaharah (persemendaan),
maupun karena persusuan. Selang beberapa tahun, baru diketahui bahwa antara
pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau hubungan persemendaan, atau
persusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan. Maka pernikahan tersebut harus
dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri.
Contoh lain Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak
tahu bahwa judi, berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka
orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia mengetahui
bahwa judi, berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia harus
menghentikan perbuatan haram tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesukaran menurut
istilah adalah jika ditemukan kesukaran dalam sesuatu, maka ia menjadi penyebab
syar’I yang dibenarkan untuk mempermudah, meringankan dan menghapus kesukaran
dari subjek hukum pada saat melaksanakan aturan-aturan hukum dan segi apapun.
Dan dari kaidah
pokok terdapat juga kaidah cabang dari al-masyaqqatu tajlibu at-taysir : a.
Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas
b. Apabila yang asli sukar dikerjakamaka berpindah kepada penggantinya c. Apa
yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan
d.Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan e. Apabila suatu kata
sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah
artinya kepada arti kiasannya,
f. Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan, g. Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa
dimaafkan padapermulaannya, h. Dimaafkan pada permulaan tapi
tidak dimaafkan pada kelanjutannya.
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ المشقه تجلب التيسير menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang
bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau sukar tetapi
ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang
dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut
berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional
pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djazuli, A, Kaidah-kaidah Fikih
(Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta:
Kencana, 2007.
2. Mubarok Jaih, Kaidah Fiqih, Jakarta : Rajawali Pers, cetakan
pertama, 2002.
3. Andiko, Toha “Ilmu Qowa’id
Fiqhiyah” (Yogyakarta: Teras, 2011)
[2] A.Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang
Praktis, 64
Comments
Post a Comment