BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran
merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak
hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga
mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak
terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai
kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia.
Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat
tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan
an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan
keinginan yang sesuai prinsip Islam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat
al-Mu’min ayat 80?
2.
Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat
al-Baqarah ayat 216?
3.
Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat
an-Nisa’ ayat 27?
C.
Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Memahami dan mampu mempraktikkannya tafsir dan kajian ekonomi dari
surat al-Mu’min ayat 80.
2.
Memahami dan mampu mempraktikkannya tafsir dan kajian ekonomi dari
surat al-Baqarah ayat 216.
3.
Memahami dan mampu mempraktikkannya tafsir dan kajian ekonomi dari
surat an-Nisa’ ayat 27.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kajian Ekonomi dalam al-Mu’min (al-Ghafir) ayat 80
وَلَكُمْ فِيهَا
مَنَافِعُ وَلِتَبْلُغُوا عَلَيْهَا حَاجَةً فِي صُدُورِكُمْ وَعَلَيْهَا وَعَلَى
الْفُلْكِ تُحْمَلُونَ
Artinya:
“Dan (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain pada binatang ternak itu untuk kamu
dan supaya kamu mencapai suatu keperluan yang tersimpan dalam hati dengan
mengendarainya. Dan kamu dapat diangkut dengan mengendarai binatang-binatang
itu dan dengan mengendarai bahtera.” (QS. Al-Mu’min 40:80)
1.
Tafsir ayat
Allah Ta’ala memberikan kenikmatan kepada
hamba-hamba-Nya dengan binatang ternak yang telah diciptakan untuk mereka,
berupa unta, sapi, dan kambing. Di antara binatang tersebut ada yang menjadi
kendaraan dan ada pula yang dimakan. Unta dapat menjadi kendaraan, dapat
dimakan, dapat diperah susunya dan dapat membawa berbagai beban barang dalam
perjalanan dan petualangan ke negeri-negeri yang jauh dan daerah-daerah yang
terpencar. Sapi dapat dimakan, dapat diminum susunya dan dapat digunakan untuk
mengolah tanah. Sedangkan kambing dapat dimakan, dapat diminum susunya.
Semuanya dapat diurai, bulu-bulunya untuk dijadikan alat rumah tangga, pakaian,
dan barang-barang.[1]
2.
Kajian Ekonomi dan Contoh Penerapannya
Allah Swt telah menghalalkan hak milik dalam batas-batas manusia
sebagai khalifah yang berfungsi sebagai penutur dan pengelola alam, agar dapat
dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia pada umumnya. Sebagian dari
tanda-tanda kekuasaanya adalah dihamparkannya tanah yang mati kemudian
diturunkannya hujan sehingga tumbuh berbagai macam tanaman untuk dapat
dimanfaatkan manusia. Selain itu Allah juga telah mewariskan bumi, rumah, harta
dan tanah yang tidak bertuan kepada manusia.[2]
Allah Swt merupakan pencipta dan pemilik seluruh alam, sedangkan
harta yang ada pada manusia merupakan titipan darinya. Bumi yang meliputi
segala sesuatu yang ada di dalam, di luar, ataupun di sekitarnya merupakan
sumber-sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia seperti pasir, tanah
pertanian, sungai, dan lain sebagainya. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut
dapat diberdayakan melalui kegiatan pertanian, peternakan, industri,
perdagangan, sarna transportasi maupun pertambangan.[3]
Sumber daya alam yang tersedia tersebut adalah guna memenuhi
kebutuhan manusia. Sementara itu, kebutuhan, dalam perspektif Islam, ditentukan
oleh konsep maslahah. Tujuan syariah adalah kesejahteraan umat manusia (maslahat
al-‘ibad). Oleh karenanya, semua barang dan jasa yang mempengaruhi maslahah
(kesejahteraan) dapat disebut kebutuhan umat manusia.
Teori ekonomi konvensional memerikan utility sebagai
kemampuan barang atau jasa dalam memenuhi keinginan manusia. ‘Kepuasan’ itu
ditentukan secara subjektif. Setiap individu harus menentukan kepuasannya menurut
kriterianya sendiri-sendiri. Setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan untuk
memperoleh atau menghasilkan sesuatu pasti didorong oleh utility barang
yang bersangkutan. Jika suatu barang dapat memenuhi keinginan, maka orang akan
mau melakukan upaya untuk menghasilkan, memperoleh, atau mengonsumsi barang
tersebut. Menurut Syatibi, maslahah adalah kemampuan suatu barang atau
jasa yang mempengaruhi unsur dasar dan tujuan hidup manusia di dunia. Syatibi
memerikan lima dasar kehidupan manusia di dunia, yakni hidup, harta, agama,
akal, dan keturunan. Semua barang dan jasa memiliki kemampuan untuk menopang
kelima unsur tersebut dikatakan memiliki maslahah bagi manusia, dan oleh
karenanya disebut kebutuhan.[4]
Islam telah meletakkan peraturan-peraturan pokok yang harus
dilaksanakan di dalam kehidupan, seperti di dalam masalah pengeluaran. Islam
mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih mengutamakan pembelian
kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Dalam hal ini terdapat
tiga jenis kebutuhan rumah tangga, yaitu:
a.
Kebutuhan Primer, yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang
diperkirakan dapat mewujudkan lima tujuan syarat (memelihara jiwa, akal, agama,
keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer, hidup manusia tidak akan
berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat
tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan, dan pernikahan.
b.
Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan manusia untuk memudahkan
kehidupan, jauh dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum
kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan ini pun masih berhubungan dengan lima
tujuan syariat.
c.
Kebutuhan pelengkap, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan
kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung
pada kebutuhan primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan
syariat.[5]
B.
Kajian Ekonomi dalam Surat al-Baqarah ayat 216
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَ هُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَ عَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا
وَ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَ عَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَ هُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَ
اللّٰهُ يَعْلَمُ وَ أَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah
sesuatu yang kamu tidak senangi. Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
baik bagi kamu, dan bisa jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk
bagi kamu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah:
127)
1.
Tafsir Ayat
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah
sesuatu yang kamu tidak senangi. Mereka
tidak senang berperang, bahkan peperangan tidak disukai manusia normal, karena
peperangan dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, terjadinya cedera, jatuhnya
korban harta benda, dan sebagainya, sedang semua manusia cenderung
memepertahankan hidup dan memelihara harta benda. Lebih-lebih para sahabat Nabi
SAW yang imannya telah bersemi dalam dada mereka sehingga membuahkan rahmat dan
kasih sayang. Allah mengetahui bahwa perang tidak mereka senangi, tetapi
berjuang menegakkan keadilan mengharuskannya. Peperangan bagaikan obat yang
pahit, ia tidak disenangi tetapi harus diminum demi memelihara kesehatan.
Demikian ayat ini dari satu sisi mengakui naluri manusia, tetapi
dari sisi lain mengingatkan keniscayaan hal tersebut jika kondisi
mengharuskannya. Misalnya, jika musuh telah masuk ke wilayah negara, maka
ketika itu menjadi wajib bagi setiap muslim untuk berperang membela tumpah
darahnya yang merupakan tempat menerapkan nilai-nilai Ilahi. Sekali lagim
peperangan memang tidak disenangi, tetapi bisa jadi kamu tidak menyenangi
sesuatu, padahal ia baik bagi kamu, antara lain seperti peperangan yang
diwajibkan itu, dan bisa jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk
bagi kamu, Allah mengetahui yang menjadi maslahat dan mudharat buat kamu, sedang
kamu tidak mengetahui secara pasti dan menyeluruh hal tersebut. karena itu,
laksanakan perintah-perintah-Nya, termasuk perintah berperang ini.
Kata (عَسَى) ‘asa yang diterjemahkan bisa
jadi dan yang mengandung makna ketidakpastian, tentu saja bukan dari sisi
pengetahuan Allah, karena tiada sesuatu yang tersembunyi atau tidak pasti
bagi-Nya. Ketidakpastian adalah dari sisi manusia dalam arti bila seseorang
menghadapi perintah Ilahi yang harus ia indahkan atau ketetapan-Nya yang tidak
dapat ia elakkan, sedang hal-hal tersebut tidak menyenangkannya, maka ketika
itu manusia hendaknya menanamkan rasa optimisme dalam dalam jiwanya dan berkata
bisa jadi di balik ketetapan yang tidak berkenan di hati itu ada sesuatu
yang baik. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang sedang menikmati kebahagiaan
hidup hendaknya pula tidak bergembira sampai pada batas lupa diri. Karena bisa
jadi di balik yang disenangi ada sesuatu yang tidak menyenangkan dan
sebaliknya. Ayat ini mengingatkan manusia agar berserah diri kepada Allah
sekaligus mendorongnya untuk hidup seimbang, tidak kehilangan optimisme ketika
ditimpa kesedihan dan sekaligus tidak larut dalam kegembiraan yang
menjadikannya lupa daratan ketika dianugerahi nikmat.[6]
2.
Kajian ekonomi dan contoh penerapannya
Dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan, setiap muslim harus selalu
memerhatikan aspek maslahah. Bagi para ahli ekonomi Islam, maslahah
merupakan konsep yang lebih objektif daripada utility. Berikut beberapa
keistimewaan maslahah adalah:
a.
Sekalipun maslahah itu subjekif dan pengertian bahwa
konsumen individual itu sendiri merupakan hakim yang terbaik untuk menilai
apakah barang atau jasa itu memiliki maslahah baginya, kriteria mengenai
apa yang menjadi maslahah itu sendiri tidaklah subjektif. Sebaliknya,
konsep utility itu hampa dan tergantung pada pikiran individual.
Utility sebuah mobil
Mercedes dapat dinilai berdasarkan kriteria yang berbeda-beda. Misalnya, karena
ia nyaman; atau bagus untuk dipamerkan; atau karena seseorang suka akan design-nya;
atau karena ia dihasilkan oleh negaranya atau negara yang ia sukai, dan
seterusnya. Dapat saja kriteria yang tak terhitung jumlahnya sebagai basis
untuk menilai apakah sesuatu itu memiliki utility. Tidak demikian halnya
dengan maslahah. Kriterianya untuk siapapun juga dan keputusan yang
harus dibuat berdasarkan kriteria tersebut bersifat tetap. Sifat maslahah
vis a vis utility itu memungkinkan ditingkatkannya prediktabilitas dan
validitas kebijakan ekonomi karena kriteria yang diperlukan untuk pembuatan
keputusan diketahui.
b.
Maslahah
individual akan konsisten dengan maslahah sosial, tidak seperti utility
individual yang sering kali bertentangan dengan utility sosial. Sekali
lagi hal itu disebabkan karena tiadanya kriteria bersama mengenai penentuan utility.
Promosi kelima kebutuhan dasar itu diinginkan tidak saja bagi kepentingan
individual melainkan juga bagi masyarakat. Sebaliknya, kepuasan individual atas
suatu keinginan tertentu mungkin saja tidak diinginkan oleh masyarakat. Alkohol
boleh jadi memilki utility bagi orang yang suka meminumnya, tetapi tidak
akan memiliki utility sosial.
c.
Konsep maslahah itu mendasari semua kegiatan ekonomi di
dalam masyarakat; ia merupakan tujuan dasar konsumsi, produksi dan pertukaran.
Tidak seperti teori konensional, di situ utility adalah tujuan konsumsi
sebagaimana laba adalah tujuan produksi. Demikian pula, maslahah tetap
merupakan tujuan baik suatu kegiatan ekonomi itu dilakukan pada aras individual
maupun pada aras negara.
Adalah tidak mungkin membandingkan utility yang didapatkan
oleh si A dari mengonsumsi sebuah barang (apel, misalnya) dengan utility
yang didapatkan oleh si B dari mengonsumsi barang yang sama dalm jumlah yang
sama. Dengan kata lain, berapa banyak kepuasan yang A atau B nikmati karena
mengonsumsi, tidak dapat diperikan secara objektif.sebalinya, dalam beberapa
kasus, perbandingan maslahah, mungkin dilakukan.adalah mungkin untuk
membandingkan aras maslahah yang berbeda. Misalnya, orang dapat
membandingkan situasi yang dialami oleh si A yang makan sebutir apel karena
ingin menyelamatkan nyawanya dan si B yang juga makan sebutir apel karena hanya
ingin meningkatkan kesehatannya. Dalam contoh ini, maslahah bagi A lebih
besar daripada bagi B.[7]
C.
Kajian Ekonomi dalam Surat an-Nisa’ Ayat 27
وَ
اللّٰهُ يُرِيْدُ أَنْ يَتُوْبَ عَلَيْكُمْ وَ يُرِيْدُ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ
الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيْلُوْا مَيْلًا عَظِيْمًا
Artinya:
“Dan Allah hendak menerima taubat kamu, sedang orang-orang yang
mengikuti hawa nafsu bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya. Allah
hendak meringankan kamu dan manusia diciptakan lemah.” (QS an-Nisa’: 27)
1.
Tafsir ayat
Kehendak, bila pelakunya adalah manusia, merupakan ketetapan hati untuk
melakukan sesuatu. Tetapi bila pelakunya adalah Allah, maka kehendak-Nya
dipahami dalam arti memberikan kepada sesuatu yang berpotensi untuk wujud,
salah satu bentuk wujud yang ditetapkan-Nya. Jika demikian, kehendak-Nya tidak
tertuju kepada yang mustahil wujud. Bukanlah yang mustahil wujud, wujudnya
mustahil? Kehendak-Nya hanya tertuju kepada apa yang diistilahkan oleh para
teolog dengan “mumkin”, yakni sesuatu yang berpotensi untuk wujud. Yang mumkin
hanya dapat wujud bila diwujudkan oleh yang wajib wujudnya, serta ia tidak
diwujudkan oleh yang wajib wujudnya itu, yakni Allah SWT.
Allah
menyatakan kehendak-Nya menerima taubat untuk menunjukkan betapa gembiranya
Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya, serta untuk menegaskan betapa banyak
yang ingin menjerumuskan kaum muslim. Ayat ini juga menunjukkan besarnya kasih
sayang Allah kepada mereka, Dan Allah hendak menerima taubat kamu, sedang
orang-orang yang bersungguh-sungguh mengikuti hawa nafsu, yakni orang-orang
yang telah bergelimang dalam nafsu dan terbawa oleh selera rendaj dan
kedurhakaan kepada Allah bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya dari
kebenaran.[8]
2.
Kajian ekonomi dan penerapannya
Islam banyak
memberi kebebasan individual kepada manusia dalam masalah konsumsi. Mereka
bebas membelanjakan harta untuk membeli barang-barang yang baik dan halal demi
memenuhi keinginan mereka dengan ketentuan tidak melanggar batas-batas
kesucian. Walaupun begitu, kebebasan yang dimaksud di sini terbatas pada
barang-barang yang baik dan suci saja. Batasan tersebut tidak memberi kebebasan
kepada kaum muslimin membelanjakan harta mereka atas barang-barang yang tidak
bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.[9]
Islam tidak
melarang kaum muslimin untuk menikmati barang-barang yang bersih dan halal tapi
juga tidak membolehkan kehidupan materialisme yang hanya berdasarkan hawa nafsu
belaka. Dengan kata lain, menjauhkan diri dari kesenangan duniawi merupakan
suatu tindak mengingkari nikmat dan hal itu sama seperti mencari kesenangan
hidup menurut hawa nafsu yang melampaui batas.[10] Berlebih-lebihan
dalam kepuasan pribadi atau dalam pengeluaran untuk hal-hal yang tidak perlu
serta dalam keinginan-keinginan disebut kemewahan. Biaya kemewahan biasanya
lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh seseorang dari hasil kesenangan
tersebut. Contohnya baju mahal, arak, barang-barang dari emas dan perak. Islam
telah melarang bermewah-mewahan karena hal tersebut bisa menumbuhkan
industri-industri yang tidak produktif dan tidak bermoral serta kejahatan dan
kekacauan dalam masyarakat yang yang akhirnya dapat menghancurkan kesatuan dan
intregitas dalam masyarakat.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dalam surat al-Mu’min menjelaskan bahwa Allah Ta’ala memberikan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya agar
memanfaatkan sumber daya alam yang telah disediakan tersebut.
2.
Dalam surat al-Baqarah menjelaskan bahwa sesuatu yang disukai oleh manusia itu tidak
selamanya baik terkadang sesuatu yang dianggap buruk itu baik untuk manusia
tersebut.
3.
Dalam surat an-Nisa’ menjelaskan bahwa kita
sebagai manusia tidak boleh terlalu mengikuti hawa nafsu karena semua keinginan
manusia itu tidak selalu bisa terpenuhi.
B.
Saran
1.
Diharapkan para pembaca lebih rutin dalam membaca Al-qur’an dan mengkaji
setiap maksud dan tujuan yang terdapat dalam Al-qur’an.
2.
Melalui makalah ini penulis berharap agar pembaca dapat lebih
memahami tentang tafsir ayat Al-Baqarah, An-Nisa’, dan Ghafir beserta
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ghofar
E. M., M. Abdul. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7. Jakarta: Pustaka
Imam Asy-Syafi’i. 2008.
Khan,
M. Fahim dan Suherman Rosyidi. Esai-esai Ekonomi Islam. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. 2014.
Mujahidin, Akhmad. Ekonomi
Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2014.
Rahman,
Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an Volume 1. Jakarta: Lentera Hati. 2000.
Shihab,
M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume
2. Jakarta: Lentera. 2000.
Syahatah,
Husein. Ekonomi Rumah Tangga Muslim. Jakarta: Gema Insani Press. 1998.
[1] M. Abdul
Ghoffar E. M., Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7 (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2008), 188.
[2] Akhmad
Mujahidin, Ekonomi Islam
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), 41.
[3] Ibid., 40.
[4] M. Fahim Khan
dan Suherman Rosyidi, Esai-esai Ekonomi Islam (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014), 36-37.
[5] Husein
Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim (Jakarta: Gema Insani
Press,1998),78-79.
[6] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 1 (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), 430.
[7] M. Fahim Khan,
38-39.
[8] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2 (Jakarta:
Lentera, 2000), 388-389.
[9] Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 20.
[10] Ibid., 19-20.
[11] Ibid., 41.
Comments
Post a Comment