Skip to main content

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80?
2.      Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Baqarah ayat 216?
3.      Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat an-Nisa’ ayat 27?
C.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Memahami dan mampu mempraktikkannya tafsir dan kajian ekonomi dari surat al-Mu’min ayat 80.
2.         Memahami dan mampu mempraktikkannya tafsir dan kajian ekonomi dari surat al-Baqarah ayat 216.
3.         Memahami dan mampu mempraktikkannya tafsir dan kajian ekonomi dari surat an-Nisa’ ayat 27.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kajian Ekonomi dalam al-Mu’min (al-Ghafir) ayat 80
وَلَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ وَلِتَبْلُغُوا عَلَيْهَا حَاجَةً فِي صُدُورِكُمْ وَعَلَيْهَا وَعَلَى الْفُلْكِ تُحْمَلُونَ
Artinya: “Dan (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain pada binatang ternak itu untuk kamu dan supaya kamu mencapai suatu keperluan yang tersimpan dalam hati dengan mengendarainya. Dan kamu dapat diangkut dengan mengendarai binatang-binatang itu dan dengan mengendarai bahtera.” (QS. Al-Mu’min 40:80)
1.      Tafsir ayat
Allah Ta’ala memberikan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya dengan binatang ternak yang telah diciptakan untuk mereka, berupa unta, sapi, dan kambing. Di antara binatang tersebut ada yang menjadi kendaraan dan ada pula yang dimakan. Unta dapat menjadi kendaraan, dapat dimakan, dapat diperah susunya dan dapat membawa berbagai beban barang dalam perjalanan dan petualangan ke negeri-negeri yang jauh dan daerah-daerah yang terpencar. Sapi dapat dimakan, dapat diminum susunya dan dapat digunakan untuk mengolah tanah. Sedangkan kambing dapat dimakan, dapat diminum susunya. Semuanya dapat diurai, bulu-bulunya untuk dijadikan alat rumah tangga, pakaian, dan barang-barang.[1]
2.      Kajian Ekonomi dan Contoh Penerapannya
Allah Swt telah menghalalkan hak milik dalam batas-batas manusia sebagai khalifah yang berfungsi sebagai penutur dan pengelola alam, agar dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia pada umumnya. Sebagian dari tanda-tanda kekuasaanya adalah dihamparkannya tanah yang mati kemudian diturunkannya hujan sehingga tumbuh berbagai macam tanaman untuk dapat dimanfaatkan manusia. Selain itu Allah juga telah mewariskan bumi, rumah, harta dan tanah yang tidak bertuan kepada manusia.[2]
Allah Swt merupakan pencipta dan pemilik seluruh alam, sedangkan harta yang ada pada manusia merupakan titipan darinya. Bumi yang meliputi segala sesuatu yang ada di dalam, di luar, ataupun di sekitarnya merupakan sumber-sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia seperti pasir, tanah pertanian, sungai, dan lain sebagainya. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut dapat diberdayakan melalui kegiatan pertanian, peternakan, industri, perdagangan, sarna transportasi maupun pertambangan.[3]
Sumber daya alam yang tersedia tersebut adalah guna memenuhi kebutuhan manusia. Sementara itu, kebutuhan, dalam perspektif Islam, ditentukan oleh konsep maslahah. Tujuan syariah adalah kesejahteraan umat manusia (maslahat al-‘ibad). Oleh karenanya, semua barang dan jasa yang mempengaruhi maslahah (kesejahteraan) dapat disebut kebutuhan umat manusia.
Teori ekonomi konvensional memerikan utility sebagai kemampuan barang atau jasa dalam memenuhi keinginan manusia. ‘Kepuasan’ itu ditentukan secara subjektif. Setiap individu harus menentukan kepuasannya menurut kriterianya sendiri-sendiri. Setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan untuk memperoleh atau menghasilkan sesuatu pasti didorong oleh utility barang yang bersangkutan. Jika suatu barang dapat memenuhi keinginan, maka orang akan mau melakukan upaya untuk menghasilkan, memperoleh, atau mengonsumsi barang tersebut. Menurut Syatibi, maslahah adalah kemampuan suatu barang atau jasa yang mempengaruhi unsur dasar dan tujuan hidup manusia di dunia. Syatibi memerikan lima dasar kehidupan manusia di dunia, yakni hidup, harta, agama, akal, dan keturunan. Semua barang dan jasa memiliki kemampuan untuk menopang kelima unsur tersebut dikatakan memiliki maslahah bagi manusia, dan oleh karenanya disebut kebutuhan.[4]
Islam telah meletakkan peraturan-peraturan pokok yang harus dilaksanakan di dalam kehidupan, seperti di dalam masalah pengeluaran. Islam mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih mengutamakan pembelian kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Dalam hal ini terdapat tiga jenis kebutuhan rumah tangga, yaitu:
a.       Kebutuhan Primer, yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang diperkirakan dapat mewujudkan lima tujuan syarat (memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer, hidup manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan, dan pernikahan.
b.      Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, jauh dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan ini pun masih berhubungan dengan lima tujuan syariat.
c.       Kebutuhan pelengkap, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada kebutuhan primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan syariat.[5]
B.     Kajian Ekonomi dalam Surat al-Baqarah ayat 216
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَ هُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَ عَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَ عَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَ هُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَ اللّٰهُ يَعْلَمُ وَ أَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu tidak senangi. Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagi kamu, dan bisa jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagi kamu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah: 127)
1.      Tafsir Ayat
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu tidak senangi. Mereka tidak senang berperang, bahkan peperangan tidak disukai manusia normal, karena peperangan dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, terjadinya cedera, jatuhnya korban harta benda, dan sebagainya, sedang semua manusia cenderung memepertahankan hidup dan memelihara harta benda. Lebih-lebih para sahabat Nabi SAW yang imannya telah bersemi dalam dada mereka sehingga membuahkan rahmat dan kasih sayang. Allah mengetahui bahwa perang tidak mereka senangi, tetapi berjuang menegakkan keadilan mengharuskannya. Peperangan bagaikan obat yang pahit, ia tidak disenangi tetapi harus diminum demi memelihara kesehatan.
Demikian ayat ini dari satu sisi mengakui naluri manusia, tetapi dari sisi lain mengingatkan keniscayaan hal tersebut jika kondisi mengharuskannya. Misalnya, jika musuh telah masuk ke wilayah negara, maka ketika itu menjadi wajib bagi setiap muslim untuk berperang membela tumpah darahnya yang merupakan tempat menerapkan nilai-nilai Ilahi. Sekali lagim peperangan memang tidak disenangi, tetapi bisa jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal ia baik bagi kamu, antara lain seperti peperangan yang diwajibkan itu, dan bisa jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagi kamu, Allah mengetahui yang menjadi maslahat dan mudharat buat kamu, sedang kamu tidak mengetahui secara pasti dan menyeluruh hal tersebut. karena itu, laksanakan perintah-perintah-Nya, termasuk perintah berperang ini.
Kata (عَسَى) ‘asa yang diterjemahkan bisa jadi dan yang mengandung makna ketidakpastian, tentu saja bukan dari sisi pengetahuan Allah, karena tiada sesuatu yang tersembunyi atau tidak pasti bagi-Nya. Ketidakpastian adalah dari sisi manusia dalam arti bila seseorang menghadapi perintah Ilahi yang harus ia indahkan atau ketetapan-Nya yang tidak dapat ia elakkan, sedang hal-hal tersebut tidak menyenangkannya, maka ketika itu manusia hendaknya menanamkan rasa optimisme dalam dalam jiwanya dan berkata bisa jadi di balik ketetapan yang tidak berkenan di hati itu ada sesuatu yang baik. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang sedang menikmati kebahagiaan hidup hendaknya pula tidak bergembira sampai pada batas lupa diri. Karena bisa jadi di balik yang disenangi ada sesuatu yang tidak menyenangkan dan sebaliknya. Ayat ini mengingatkan manusia agar berserah diri kepada Allah sekaligus mendorongnya untuk hidup seimbang, tidak kehilangan optimisme ketika ditimpa kesedihan dan sekaligus tidak larut dalam kegembiraan yang menjadikannya lupa daratan ketika dianugerahi nikmat.[6]
2.      Kajian ekonomi dan contoh penerapannya
Dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan, setiap muslim harus selalu memerhatikan aspek maslahah. Bagi para ahli ekonomi Islam, maslahah merupakan konsep yang lebih objektif daripada utility. Berikut beberapa keistimewaan maslahah  adalah:
a.       Sekalipun maslahah itu subjekif dan pengertian bahwa konsumen individual itu sendiri merupakan hakim yang terbaik untuk menilai apakah barang atau jasa itu memiliki maslahah baginya, kriteria mengenai apa yang menjadi maslahah itu sendiri tidaklah subjektif. Sebaliknya, konsep utility itu hampa dan tergantung pada pikiran individual.
Utility sebuah mobil Mercedes dapat dinilai berdasarkan kriteria yang berbeda-beda. Misalnya, karena ia nyaman; atau bagus untuk dipamerkan; atau karena seseorang suka akan design-nya; atau karena ia dihasilkan oleh negaranya atau negara yang ia sukai, dan seterusnya. Dapat saja kriteria yang tak terhitung jumlahnya sebagai basis untuk menilai apakah sesuatu itu memiliki utility. Tidak demikian halnya dengan maslahah. Kriterianya untuk siapapun juga dan keputusan yang harus dibuat berdasarkan kriteria tersebut bersifat tetap. Sifat maslahah vis a vis utility itu memungkinkan ditingkatkannya prediktabilitas dan validitas kebijakan ekonomi karena kriteria yang diperlukan untuk pembuatan keputusan diketahui.
b.      Maslahah individual akan konsisten dengan maslahah sosial, tidak seperti utility individual yang sering kali bertentangan dengan utility sosial. Sekali lagi hal itu disebabkan karena tiadanya kriteria bersama mengenai penentuan utility. Promosi kelima kebutuhan dasar itu diinginkan tidak saja bagi kepentingan individual melainkan juga bagi masyarakat. Sebaliknya, kepuasan individual atas suatu keinginan tertentu mungkin saja tidak diinginkan oleh masyarakat. Alkohol boleh jadi memilki utility bagi orang yang suka meminumnya, tetapi tidak akan memiliki utility sosial.
c.       Konsep maslahah itu mendasari semua kegiatan ekonomi di dalam masyarakat; ia merupakan tujuan dasar konsumsi, produksi dan pertukaran. Tidak seperti teori konensional, di situ utility adalah tujuan konsumsi sebagaimana laba adalah tujuan produksi. Demikian pula, maslahah tetap merupakan tujuan baik suatu kegiatan ekonomi itu dilakukan pada aras individual maupun pada aras negara.
Adalah tidak mungkin membandingkan utility yang didapatkan oleh si A dari mengonsumsi sebuah barang (apel, misalnya) dengan utility yang didapatkan oleh si B dari mengonsumsi barang yang sama dalm jumlah yang sama. Dengan kata lain, berapa banyak kepuasan yang A atau B nikmati karena mengonsumsi, tidak dapat diperikan secara objektif.sebalinya, dalam beberapa kasus, perbandingan maslahah, mungkin dilakukan.adalah mungkin untuk membandingkan aras maslahah yang berbeda. Misalnya, orang dapat membandingkan situasi yang dialami oleh si A yang makan sebutir apel karena ingin menyelamatkan nyawanya dan si B yang juga makan sebutir apel karena hanya ingin meningkatkan kesehatannya. Dalam contoh ini, maslahah bagi A lebih besar daripada bagi B.[7]
C.    Kajian Ekonomi dalam Surat an-Nisa’ Ayat 27
وَ اللّٰهُ يُرِيْدُ أَنْ يَتُوْبَ عَلَيْكُمْ وَ يُرِيْدُ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيْلُوْا مَيْلًا عَظِيْمًا
Artinya:
“Dan Allah hendak menerima taubat kamu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya. Allah hendak meringankan kamu dan manusia diciptakan lemah.” (QS an-Nisa’: 27)
1.      Tafsir ayat
Kehendak, bila pelakunya adalah manusia, merupakan ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Tetapi bila pelakunya adalah Allah, maka kehendak-Nya dipahami dalam arti memberikan kepada sesuatu yang berpotensi untuk wujud, salah satu bentuk wujud yang ditetapkan-Nya. Jika demikian, kehendak-Nya tidak tertuju kepada yang mustahil wujud. Bukanlah yang mustahil wujud, wujudnya mustahil? Kehendak-Nya hanya tertuju kepada apa yang diistilahkan oleh para teolog dengan “mumkin”, yakni sesuatu yang berpotensi untuk wujud. Yang mumkin hanya dapat wujud bila diwujudkan oleh yang wajib wujudnya, serta ia tidak diwujudkan oleh yang wajib wujudnya itu, yakni Allah SWT.
Allah menyatakan kehendak-Nya menerima taubat untuk menunjukkan betapa gembiranya Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya, serta untuk menegaskan betapa banyak yang ingin menjerumuskan kaum muslim. Ayat ini juga menunjukkan besarnya kasih sayang Allah kepada mereka, Dan Allah hendak menerima taubat kamu, sedang orang-orang yang bersungguh-sungguh mengikuti hawa nafsu, yakni orang-orang yang telah bergelimang dalam nafsu dan terbawa oleh selera rendaj dan kedurhakaan kepada Allah bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya dari kebenaran.[8]
2.      Kajian ekonomi dan penerapannya
Islam banyak memberi kebebasan individual kepada manusia dalam masalah konsumsi. Mereka bebas membelanjakan harta untuk membeli barang-barang yang baik dan halal demi memenuhi keinginan mereka dengan ketentuan tidak melanggar batas-batas kesucian. Walaupun begitu, kebebasan yang dimaksud di sini terbatas pada barang-barang yang baik dan suci saja. Batasan tersebut tidak memberi kebebasan kepada kaum muslimin membelanjakan harta mereka atas barang-barang yang tidak bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.[9]
Islam tidak melarang kaum muslimin untuk menikmati barang-barang yang bersih dan halal tapi juga tidak membolehkan kehidupan materialisme yang hanya berdasarkan hawa nafsu belaka. Dengan kata lain, menjauhkan diri dari kesenangan duniawi merupakan suatu tindak mengingkari nikmat dan hal itu sama seperti mencari kesenangan hidup menurut hawa nafsu yang melampaui batas.[10] Berlebih-lebihan dalam kepuasan pribadi atau dalam pengeluaran untuk hal-hal yang tidak perlu serta dalam keinginan-keinginan disebut kemewahan. Biaya kemewahan biasanya lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh seseorang dari hasil kesenangan tersebut. Contohnya baju mahal, arak, barang-barang dari emas dan perak. Islam telah melarang bermewah-mewahan karena hal tersebut bisa menumbuhkan industri-industri yang tidak produktif dan tidak bermoral serta kejahatan dan kekacauan dalam masyarakat yang yang akhirnya dapat menghancurkan kesatuan dan intregitas dalam masyarakat.[11]


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Dalam surat al-Mu’min menjelaskan bahwa Allah Ta’ala memberikan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya agar memanfaatkan sumber daya alam yang telah disediakan tersebut.
2.      Dalam surat al-Baqarah menjelaskan bahwa  sesuatu yang disukai oleh manusia itu tidak selamanya baik terkadang sesuatu yang dianggap buruk itu baik untuk manusia tersebut.
3.      Dalam surat an-Nisa’ menjelaskan bahwa kita sebagai manusia tidak boleh terlalu mengikuti hawa nafsu karena semua keinginan manusia itu tidak selalu bisa terpenuhi.
B.  Saran
1.      Diharapkan para pembaca lebih rutin dalam membaca Al-qur’an dan mengkaji setiap maksud dan tujuan yang terdapat dalam Al-qur’an.
2.      Melalui makalah ini penulis berharap agar pembaca dapat lebih memahami tentang tafsir ayat Al-Baqarah, An-Nisa’, dan Ghafir beserta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA
Ghofar E. M., M. Abdul. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2008.
Khan, M. Fahim dan Suherman Rosyidi. Esai-esai Ekonomi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2014.
Mujahidin, Akhmad.  Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2014.
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 1. Jakarta: Lentera Hati. 2000.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2. Jakarta: Lentera. 2000.
Syahatah, Husein. Ekonomi Rumah Tangga Muslim. Jakarta: Gema Insani Press. 1998.





[1] M. Abdul Ghoffar E. M., Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7 (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), 188.
[2] Akhmad Mujahidin,  Ekonomi Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), 41.
[3] Ibid., 40.
[4] M. Fahim Khan dan Suherman Rosyidi, Esai-esai Ekonomi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 36-37.
[5] Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim (Jakarta: Gema Insani Press,1998),78-79.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 430.
[7] M. Fahim Khan, 38-39.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2 (Jakarta: Lentera, 2000), 388-389.
[9] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 20.
[10] Ibid., 19-20.
[11] Ibid., 41.

Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.    Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat