- Definisi Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah
اَلْعَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan
hukum”
Yang dimaksud dengan kaidah ini
bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum
ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan
pijakan hukum. Oleh karena itu, sebelum mengurai kaidah ini, perlu diketahui
terlebih dahulu tentang adat.
Secara bahasa, al-'adah diambil dari
kata al-'awud ( العود ) atau
al-mu'awadah ( المؤدة) yang
artinya berulang ( التكرار ).
Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa
diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan
satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما
يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri,
perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang
sehat”.[1]
Dalam pengertian dan subtansi yang
sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara
harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal
manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
االعرف هو ما
تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan
mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut
menjadi biasa dan berlaku umum"
Dari dua definisi di atas, ada unsur
berulang-ulang dilakukan dan dalam al-‘urf ada unsur (al-ma’ruf) dikenal
sebagai sesuatau yang baik. Kata-kata al-‘urf ada hubungannya dengan tata nilai
di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan
masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan diucapkan. Hal ini erat
kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar” dalam
Al-Qur’an. Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf ini
didefinisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara
umum (al-‘adah ‘al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.
Dengan demikian al-'adah atau al-urf
yang dapat dikatagorikan muhakkamah adalah budaya atau tradisi atau kebiasaan
dari sesuatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang memiliki 3 (tiga)
ciri, yaitu :
1.
Dianggap baik melakukan atau
meninggalkannya oleh manusia secara umum;
2.
Dilakukan atau ditinggalkannya
secara terus-menerus dan berulang-ulang; dan
3.
Tidak bertentangan dengan Al-Qur'an
dan As-Sunnah
Bagaimanakah mengenai adat kebiasaan
dalam bermu’amalah dan dalam munakahah? semua kebiasaan bermanfaaat dan tidak
bertentangan dengan syara’ dalam mu’amalah seperti jual beli, sewa menyewa,
kerjasamanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan
dasar hukum, sehingga seandainya terjadi perselisihan pendapat diantara mereka, maka penyelesaiannnya harus
dikembalikan pada adat kebiasaan atau ‘urf yang berlaku. Demikianlah pula dalam munakahah seperti tentang benyaknya mahar, atau
nafakah, juga harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku. Sedangkan
adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash-nash syara’ atau bertentangan dengan
jiwanya seperti kebiasaaan suap menyuap, disajikannya minuman keras dan sarana
perjudian dalam pesta-pesta atau dalam pesta-pesta atau dalam persepsi, tentu
tidak boleh dianggap/ dijadikan dasar hukum.[2]
- Alasan Al-‘adat dapat dijadikan dalil
a.
Surat an-Nisa ayat 19 :
" Dan pergaulilah mereka dengan cara yang patut
(menurut kebiasaan yang sudah diketahui)".
b.
Hadist nabi yang berbunyi:
ما رأه المسلم حسنا فهو عند
الله حسن
“Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka
hal itu pula baik di sisi Allah”
Hadist tersebut juga berkaitan
dengan firman Allah dalam surah Al-Hajj ayat 78 yang berbunyi:
ما جعل عليكم في الد ين من
حرجت
“Dan Allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama”
1.
Selain itu, Imam al-Sarkhasyi dalam
kitab Al-Masbuth juga mengemukakan:
الثا بت بالعرف كالثا بث بالناس
“Sesungguhnya yang ditetapkan ‘urf, seperti yang
ditetapkan dalil nash”
Dari hadist dan firman di atas,
dapat diambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang dianggap baik dan diterima
dalam suatu masyarakat, maka hal tersebut juga akan baik menurut Allah karena
apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka akan menimbulkan kesulitan dalam masyarakat
tersebut. Selain itu, segala yang telah ditetapkan dalam adat sama halnya
dengan yang telah ditetapkan oleh dalil dalam nash yang masalah yang tidak
terdapat nash dalam penyelesaiannya. hal tersebut berjalan sesuai dengan aturan
hidup manusia dan kebutuhannya.
2.
H.R.
Ahmad, Bazar, Thabrani dari Ibnu Mas'ud
مَا رَءَاهُ
اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ
سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang
Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh
orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk"
(HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud). [3]
- Syarat-syarat Al-‘Adah Dijadikan Sebagai Sumber Hukum
Adapun syarat-syarat al-‘adah dapat
dijadikan sebagai sumber hukum adalah :
1.
Adat itu harus tidak bertentangan
dengan al-qur’an dan al-hadis.
2.
Adat itu harus bersifat umum, yakni
dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri/tempat
itu.
3.
Adat itu harus sudah ada ketika
terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada adat itu.
4.
Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak
terkait yang berlainan dengan kehendak adat tersebut.
Sedangkan sebab dari al-‘adah yang
tidak bisa digunakan sebagai landasan hukum adalah:
1.
Al-‘adah itu bertentangan dengan
nash baik al-qur’an maupun hadis, seperti: puasa terus-terusan atau puasa empat
puluh hari atau tujuh hari siang malam; kebiasaan judi; menyabung ayam; dan
sebagainya.
2.
Al-‘adah tersebut menyebabkan kemafsadatan
atau menghilangkan kemaslahatan, seperti: memboroskan harta; hura-hura dalam
acara perayaan; memaksakan dalam menjual; dan lain sebagainya.
3.
Al-‘adah dilakukan oleh beberapa
orang saja atau dengan kata lain tidak berlaku umum.
Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa ibadah mahdhah tidak dilakukan kecuali yang telah
disyari’atkan oleh allah dan al-‘adah tidak diharamkan kecuali yang telah
diharamkan oleh allah.[4]
Adapun
menurut para ulama, antara lain Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah (w.751 H) bahwa
tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan
tempat. Maksud dari ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang dibentuk
berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan berubah bilamana adat
istiadat itu berubah.
Adapun Prof. Dr. H. Rachmat Syafe'i,
MA., lebih rinci menjelaskan bahwa suatu
1.
'adat atau urf bisa diterima jika
memenuhi syarat-syarat berikut :
2.
Tidak bertentangan dengan syari'at;
3.
Tidak menyebabkan kemafsadatan dan
tidak menghilangkan kemashlahatan;
4.
Telah berlaku pada umumnya orang
muslim;
5.
Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
6.
Urf tersebut sudah
memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
7.
Tidak bertentangan dengan yang
diungkapkan dengan jelas.[5]
- Contoh Kasuistik Terkait (Kehidupan Keseharian atau Peribadatan)
1.
Contoh ‘adah yang hanya
dilakukan sekali saja
a.
Kasus pemberian
bingkisan kepada calon hakim Agung sebelum ia terangkat menjadi seorang hakim
Agung di Mahkamah Agung.
Pemberian yang dilakukan sekali ini, sudah bisa dikategorikan sebagai ‘adah
(budaya), jika pada akhirnya saat orang tersebut kembali memberikan parsel
kepada hakim saat melakukan putusan hukum yang berkaitan dengannya, sehingga
pemberian parsel itu, tidak bisa dikategorikan sebagai al-risywah (suap),
sebab sudah ada satu kali pemberian bingkisan yang sudah dianggap ‘adah
(budaya) sebelum hakim menggunakan otoritasnya sebagai penegak hukum.
b.
Kasus perkiraan masa
menstruasi dan masa suci.
Dalam menaggapi kasus ini, Imam al-Nwawi berpendapat bahwa darah yang
keluar dan dianggap ‘adah itu, dengan satu kali peristiwa. Kasus ini bisa dilihat dari kondisi wanita
yang mubtadi’ah mumayyizah, yaitu wanita yang sejak pertama kali haid
sudah bisa membedakan antara darah yang kuat dan darah yang lemah. Jika
demikian, fuaha memiliki pendapat sama bahwa darah yang dikeluarkan kedua itu
adalah darah al-isthiadlah (darah penyakit), sehingga dengan pertama kali ia
mengeluarkan darah haidh, ia sudah dinilai akan mengalaminya secara konstan,
sedang darah istihadlah, termasuk darah penyakit yang keluar secara stimulant
dari waktu kewaktu (luzumiyah),sehingga ketika ia sudah mengaami satu
kali, maka seterusnya akan terus terjadi sesuai dengan cirri-ciri awalnya.
Oleh sebab itu, untuk
bulan kedua ia tidak harus menunggu 15 hari untuk melaksanakan ibadahnya, akan
tetapi cukup hanya ketika ia melihat terjadinya perpindahan darah dari yang
kuat ke yang lemah, dengan memendang satu peristiwa kebiasaan pada bulan
sebelumnya bahwa dirinya sedang mengalami istihadlah.
2.
Contoh Adah harus
terjadi minimal 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali
a.
Kasus orang yang
memiliki kemampuan telapati untuk menentukan nasab seorang bayi (al-qa’if)
Dalam menanggapi kasus ini, fuqaha menyatakan bahwa pengulangan valid
informasinya tidak cukup hanya sekali, tetapi harus berulang-ulang kali,
sekalipun fuqaha berbeda pendapat dalam hal kuantitas bilangannya.
b.
Kasus tentang ukuran
darah haid dan kebiasaan suci yang sedang dialami oleh wanita mu’taddah ketika
kan menentukan status hukum darah haid dan istiadhadlahnya saat keluar darah
yang lebih dari 15 hari.
Hal ini fuqaha berbeda dalam memberikan solusinya perihal standarisasi masa
haidh dan kebiasaan suci ini dalam hal apakah cukup hanya satu kali atau dua
kali kebiasaan.
3.
‘adah yang tidak ada
hitungan bilangam secara pasti, sebab yang menjadi titik penekanan (stressing/ wajhu
al-dilalah) adalah tercapainya dugaan kuat bahwa apa yang terjadi itu,
benar-benar terjadi dan sesuai dengan apa yang telah terjadi itu, benar-benar
terjadi dan sesuai dengan apa yang telah ditentukan syari’at.
Contoh :
a.
Kasus anak yang umurnya
belum mencapai dewasa, tatapi sudah bisa melakukan transaksi tawar-menewar
ketika membeli barang,ia bisa mengajukan harga yang labih randah dari harga
yang ditawarkan penjual, ia sudah memiliki naluri untuk menawarkan barang
jualannya dengan menggunakan harga yang lebih tinggi dari harga yang telah
diajukan pembeli. Jika demikian, maka seorang wali (orang yang menguasai) sudah
dianggap boleh mempercayainya untuk melaksanakan transaksi jual-beli.
b.
Kasus suara berkokok
ayamjantan sebagai tanda terbitnya fajar, dan keluarnya burung kelelawar
sebagai tanda terbitnya matahari dan sebagainya.
c.
Kasus wanita istiadhlah,
dimana keluarnya darah berlangsung secara terputus-putus, sedang warna darahnya
hanya satu, sehingga sulit dibedakan mana darah haidh dan mana darah
istiadhlah. Hal ini orang tidak bisa mengambil kesimpulan soal standarisasi
hari-hari haidh yang bisa dijadikan pijakan, sebab dalam kasus ini tidak
ditemukan adanya ‘adah.
4.
‘Adah yang tidak bisa
diketahui dengan melihat satu pengulangan atau lebih. Hal ini terjadi pada kasu
tawaquf (tidak melakukan ibadah pada saat tidak keluar darah) bagi
wanita yang keluar darah secara terputus-putus.
Dari kenyataan seperti itu, dapat disimpulkan bahwa kasus bilangan ‘adah
itu tergantung pada kasus yang sedang dihadapi, sedang untuk bisa dikatakan
‘adah itu apakah harus mencapai bilangan satu, dua, tiga dan seterusnya,
tergantung pada obyek hukum yang sudah dihadapi.[6]
[1] DR. Ahmad
Sudirman Abbas, MA, Qawa'id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Pedoman Ilmu Jaya
denganAnglo Media Jakarta, 2004),158.
[2] Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan
Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama RI,2012).204.
[3] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah
al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010),209.
[4] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam
(Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2002).210.
[5] Jaih,
Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi),(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002).157.
[6] A, Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah
Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis),(Jakarta:Kencana,2007).86.
Comments
Post a Comment