Skip to main content

Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional di Indonesia



PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Sejalan dengan perputaran bumi, permasalahan yang dihadapi manusia semakin komplek, terkadang permasalahan-permasalahan itu belum terjamah oleh hukum, padahal dalam suatu kaidah ushul dikatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan pola tindak dan pola tingkah manusia tidak lepas dari pantauan hukum. Oleh karenannya apabila ada suatu masalah yang belum terjamak oleh hukum yang secara pasti disebutkan dalam al-qur’an dan hadis  maka diadakan kajian hukum mengenai permasalahan tersebut melalui jalan ijtihad.
Permasalahan-permasalahan yang seperti tersebut di atas dalam istilah fiqh disebut dengan masail fiqhiyyah. Salah satu permasalahan yang ingin kami bahas dalam makalah ini adalah masalah tinjauan hukum asuransi. Topik ini kami anggap penting karena disamping asuransi memang sebagai salah satu permasalahan kontemporer juga karena di indonesia sudah berdiri asuransi yang berlandasan syariah.ASURANSI

A.    Pengertian Asuransi
Asuransi pada awalnya merupakan konsep persiapan yang dibuat sekelompok orang yang menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila sesuatu kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama oleh mereka.
Menurut UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian mendefinisikan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1][1]
Sedangkan dalam pasal 246 KUHD, disebutkan bahwa “asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu[2][2] 
Dari pengertian asuransi tersebut diketahui adanya tiga unsur pokok dalam asuransi yaitu bahaya yang dipertanggungkan, premi pertanggungan dan sejumlah uang ganti rugi pertanggungan. Bahaya yang dipertanggungkan sifatnya tidak pasti terjadi. Premi pertanggungan pun tidak mesti sesuai dengan yang tertera dalam polish. Jumlah uang santunan atau ganti rugi sering atau bahkan pada umumnya jauh lebih besar daripada premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi.
B.     Operasional Asuransi
Operasional perasuransian secara umum meliputi beberapa operasional antara lain sebagai berikut : [3][3]
1.      Aqad
-          Aqad juga merupakan prinsip dalam menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Demikian halnya dengan asuransi, aqad antara perusahaan dengan peserta harus jelas. Apakah aqad-nya jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (Takaful)
-          Syarat dalam transaksi jual beli adalah penjual, pembeli terdapatnya harga, dan barang yang dijual belikan, pada asuransi biasa, penjual dan pembeli, barang yang diperoleh, yang dipersoalkan adalah berapa premi yang harus dibayar kepada perusahaan asuransi. Padahal hanya Allah SWT yang tahu kapan kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah yang akan disetorkan tidak jelas tergantung usia kita, dan hanya Allah SWT yang tahu kapan kita meninggal.
-          Dengan demikian aqad jual beli dalam asuransi bisa terjadi cacat secara syari'ah karena tidak jelas (Gharar). Yaitu berapa besar yang akan dibayarkan kepada pemegang polish (pada Product Saving) atau berapa besar yang diterima pemegang polish (pada Product Non Saving)
  1. 2.      Gharar
a.       Definisi gharar menurut mazhab Syafi'i adalah apa-apa yang yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat paling kita takuti. Apabila tidak lengkap rukun dari aqad maka terjadi gharar.  Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa aqad jual beli atau aqad pertukaran harta benda dalam hal ini adalah cacat secara hukum.
b.      Pada asuransi konvensional, terjadi karena tidak adanya kejelasan masud alaih (sesuatu yang di-aqad-kan). Yaitu meliputi beberapa sesuatu akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau kecil). Tidak diketahui berapa yang akan dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita harus membayar (karena hanya Allah SWT yang tahu kapan kita akan meningal). Karena tidak lengkapnya rukun dari aqad maka terjadi gharar oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa aqad dalam jual beli atau aqad pertukaran harta benda dalam hal ini cacat secara hukum.
c.       Dalam asuransi yang menggunakan prinsip syari'ah mengganti aqad tadi dengan niat tabarru’, yaitu suatu niat tolong-menolong pada sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup kemungkinan untuk kita atau keluarga apabila Allah SWT mentakdirkan kita lebih dahulu mendapat musibah.  
3.      Tabarru’
a.       Tabarru’ berasal dari kata tabarra, yatabarru, tabarruan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat tabarru’ merupakan alternatif uang yang sah dan diperkenankan. Tabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk bermaksud memberikan dana yang bertujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta Takaful, ketika diantara ada yang mendapat musibah.
b.      Tabarru’ disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang terkena musibah maka dana klaim yang diberikan adalah dana rekening tabarru’ yang sudah diniatkan oleh sesama Takaful untuk saling tolong-menolong.   
4.       Maisir
a.     Islam menghindari adanya ketidakjelasan informasi dalam mengadakan transaksi. Maisir pada hakikatnya tidak diketahui informasi oleh peserta tentang berbagai hal yang berhubungan dengan produk yang akan dikonsumsinya.
b.    Dalam mekanisme asuransi syari'ah keterbukaan merupakan akselerasi dari realisasi prinsip-prinsip syari'ah. Karena tidak adanya kepercayaan jika tidak adanya keterbukaan informasi. Dalam mekanisme asuransi konvensional, masisir sebagai akibat dari status kepemilikan dana dan gharar.
5.      Riba
a.       Keberadaan asuransi syari'ah yang paling substansial disebabkan adanya ketidak adilan dalam asuransi konvensional, misalnya untuk melipat gandakan keuntungan dari praktek yang dilakukan dengan cara yang tidak adil. Semua asuransi konvensional menginventasikan dananya dengan bunga.
b.      Dengan demikian asuransi konvensional selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian pula dengan perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan didepan. Sedangkan Takaful menyimpan dananya di bank berdasarkan syari'ah dengan sistem mudharabah
6.      Dana Hangus
            Dalam asuransi konvensional, adanya dana yang hangus, dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta tersebut hangus. Demikian pula asuransi non tabungan atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak menjadi klaim. Maka premi yang akan dibayarkan akan hangus sekaligus menjadi milik pihak asuransi.
C.     Hukum Per-Asuransi-an
Ada berbagai pendapat mengenai hukum dari perasuransian, setidaknya ada 2 pandangan besar mengenai hukum dari asuransi yaitu :
1.      Haram, diantara para ulama yang mengatakan bahwa asuransi adalah haram antara lain Yusuf al Qardawi, Sayyid Sabiq, Abdullah al Qadili, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Nezatullah Siddiqi, mereka mengatakan bahwa dalam sistem operasional perasuransian terdapat tiga unsur yang diharamkan dalam Islam, yaitu; gharar, maisir dan riba. [4][4] Walupun demikian sebagian dari  mereka 
2.      Boleh, para ulama yang membolehkan adanya asuransi mengatakan bahwa jika dalam asuransi tersebut tidak mengandung unsur gharar, maisir dan riba maka transaksi –asuransi- yang dilakukan tetap sah
D.    Perbedaan Asuransi Syari'ah (asuransi yang diperbolehkan) dengan Asuransi Konvensional (yang masih diragukan kebolehannya)
1.      Keberadaan dewan pengawas syariah (DPS) dalam asuransi syari'ah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan mengawasi manajemen, produk serta kebajikan investasi serta kebajikan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syari'at islam.
2.      Prinsip asuransi syari'ah adalah takafuli (tolong menolong) sedangkan prinsip asuransi konvensional tadabuli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan).
3.      Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syari'ah (premi) diinvestasikan berdasarkan syari'ah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4.      Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
5.      Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru’ seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
6.      Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi knvensional, jika tidak ada klaim, nasabah tidak mendapatkan apa-apa.[5][5]
Perbedaan asuransi syari'ah dan asuransi konvensional dapat dilihat dalam tabel berikut ini[6][6]
Keterangan
Asuransi Syari'ah
Asuransi Konvensional
Pengawasan Dewan Syari'ah (PDS) 7
Adanya Dewan Pengawas  Syari'ah. Fungsinya mengawasi produk yang dipasarkan dan investasi dana
Tidak ada
Aqad
Tolong menolong (Takafuli)
Jual beli
Investasi dana
Investasi dana berdasarkan  syari'ah dengan sistem bagi hasil (mudharabah)
Investasi dana berdasarkan bunga
Kepemilikan dana
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) merupakan milik peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelola
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan, perusahaan bebas menentukan investasinya.
Pembayaran klaim
Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan) seluruh peserta ; sejak awal telah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong menolong bila terjadi musibah.
Dari rekening dana perusahaan
Keuntungan (profit)
Dibagi antara perusahaan dengan peserta dengan prinsip bagi hasil
Seluruhnya menjadi miliknya perusahaan
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpukan bahwa hukum dari asuransi pada dasarnya terlatak pada operasional asuransi itu sendiri, jika dalam operasional Asuransi tersebut masih terdapat unsur Gharar, maisir dan riba, maka hukumnya haram menurut sebagian besar para ulama, adapun jika dalam operasionalnya telah dihilangkan ketiga unsur tersebut maka hal yang demikan diperbolehkan. Sekian.
Wallahua’lam
Daftar Pustaka
Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2004
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi. Yogyakarta: EKONSIA, Kampus Fakultas Ekonomi UII. 2003
Suwitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful di Indonesia). Jakarta: Raja Grafindo Persada 1997


Operasional Asuransi
Operasional perasuransian secara umum meliputi beberapa operasional antara lain sebagai berikut : [7][3]
1.      Aqad
-          Aqad juga merupakan prinsip dalam menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Demikian halnya dengan asuransi, aqad antara perusahaan dengan peserta harus jelas. Apakah aqad-nya jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (Takaful)
-          Syarat dalam transaksi jual beli adalah penjual, pembeli terdapatnya harga, dan barang yang dijual belikan, pada asuransi biasa, penjual dan pembeli, barang yang diperoleh, yang dipersoalkan adalah berapa premi yang harus dibayar kepada perusahaan asuransi. Padahal hanya Allah SWT yang tahu kapan kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah yang akan disetorkan tidak jelas tergantung usia kita, dan hanya Allah SWT yang tahu kapan kita meninggal.
-          Dengan demikian aqad jual beli dalam asuransi bisa terjadi cacat secara syari'ah karena tidak jelas (Gharar). Yaitu berapa besar yang akan dibayarkan kepada pemegang polish (pada Product Saving) atau berapa besar yang diterima pemegang polish (pada Product Non Saving)
2.      Gharar
a.       Definisi gharar menurut mazhab Syafi'i adalah apa-apa yang yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat paling kita takuti. Apabila tidak lengkap rukun dari aqad maka terjadi gharar.  Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa aqad jual beli atau aqad pertukaran harta benda dalam hal ini adalah cacat secara hukum.
b.      Pada asuransi konvensional, terjadi karena tidak adanya kejelasan masud alaih (sesuatu yang di-aqad-kan). Yaitu meliputi beberapa sesuatu akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau kecil). Tidak diketahui berapa yang akan dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita harus membayar (karena hanya Allah SWT yang tahu kapan kita akan meningal). Karena tidak lengkapnya rukun dari aqad maka terjadi gharar oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa aqad dalam jual beli atau aqad pertukaran harta benda dalam hal ini cacat secara hukum.
c.       Dalam asuransi yang menggunakan prinsip syari'ah mengganti aqad tadi dengan niat tabarru’, yaitu suatu niat tolong-menolong pada sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup kemungkinan untuk kita atau keluarga apabila Allah SWT mentakdirkan kita lebih dahulu mendapat musibah.  
3.      Tabarru’
a.       Tabarru’ berasal dari kata tabarra, yatabarru, tabarruan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat tabarru’ merupakan alternatif uang yang sah dan diperkenankan. Tabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk bermaksud memberikan dana yang bertujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta Takaful, ketika diantara ada yang mendapat musibah.
b.      Tabarru’ disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang terkena musibah maka dana klaim yang diberikan adalah dana rekening tabarru’ yang sudah diniatkan oleh sesama Takaful untuk saling tolong-menolong.   
4.       Maisir
a.     Islam menghindari adanya ketidakjelasan informasi dalam mengadakan transaksi. Maisir pada hakikatnya tidak diketahui informasi oleh peserta tentang berbagai hal yang berhubungan dengan produk yang akan dikonsumsinya.
b.    Dalam mekanisme asuransi syari'ah keterbukaan merupakan akselerasi dari realisasi prinsip-prinsip syari'ah. Karena tidak adanya kepercayaan jika tidak adanya keterbukaan informasi. Dalam mekanisme asuransi konvensional, masisir sebagai akibat dari status kepemilikan dana dan gharar.
5.      Riba
a.       Keberadaan asuransi syari'ah yang paling substansial disebabkan adanya ketidak adilan dalam asuransi konvensional, misalnya untuk melipat gandakan keuntungan dari praktek yang dilakukan dengan cara yang tidak adil. Semua asuransi konvensional menginventasikan dananya dengan bunga.
b.      Dengan demikian asuransi konvensional selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian pula dengan perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan didepan. Sedangkan Takaful menyimpan dananya di bank berdasarkan syari'ah dengan sistem mudharabah
6.      Dana Hangus
            Dalam asuransi konvensional, adanya dana yang hangus, dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta tersebut hangus. Demikian pula asuransi non tabungan atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak menjadi klaim. Maka premi yang akan dibayarkan akan hangus sekaligus menjadi milik pihak asurans
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi, ( Yogyakarta: EKONSIA. kampus Fakultas ekonomi UII, 2003), hal. 74

[8][1] Gemala Dewi, SH., LL.M., Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal. 181
[9][2] Bisa anda lihat di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), BAB IX Pasal 246 Tentang perasuransian
[10][3] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi, ( Yogyakarta: EKONSIA. kampus Fakultas ekonomi UII, 2003), hal. 74
[11][4]  Gharar artinya transaksi yang dilakukan masih belum jelas, sedangkan Maisir adalah transaksi yang dijalankan mengandung unsur judi, Lihat : Heri Sudarsono, Ibid, hal. 99
[12][5]  Warkum Suwitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful di Indonesia), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 106
[13][6] Gemala Dewi, SH., LL.M., Op.cit, hal. 138


[1][1] Gemala Dewi, SH., LL.M., Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal. 181
[2][2] Bisa anda lihat di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), BAB IX Pasal 246 Tentang perasuransian
[3][3] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi, ( Yogyakarta: EKONSIA. kampus Fakultas ekonomi UII, 2003), hal. 74
[4][4]  Gharar artinya transaksi yang dilakukan masih belum jelas, sedangkan Maisir adalah transaksi yang dijalankan mengandung unsur judi, Lihat : Heri Sudarsono, Ibid, hal. 99
[5][5]  Warkum Suwitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful di Indonesia), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 106
[6][6] Gemala Dewi, SH., LL.M., Op.cit, hal. 138







Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.    Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam. B.      Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1.       Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80? 2.       Bagaimana tafsir, kajian eko