PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sejalan dengan perputaran bumi, permasalahan yang dihadapi manusia
semakin komplek, terkadang permasalahan-permasalahan itu belum terjamah oleh
hukum, padahal dalam suatu kaidah ushul dikatakan bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan pola tindak dan pola tingkah manusia tidak lepas dari
pantauan hukum. Oleh karenannya apabila ada suatu masalah yang belum terjamak
oleh hukum yang secara pasti disebutkan dalam al-qur’an dan hadis maka diadakan kajian hukum mengenai
permasalahan tersebut melalui jalan ijtihad.
Permasalahan-permasalahan yang seperti tersebut di atas dalam istilah
fiqh disebut dengan masail fiqhiyyah. Salah satu permasalahan yang ingin kami
bahas dalam makalah ini adalah masalah tinjauan hukum asuransi. Topik ini kami
anggap penting karena disamping asuransi memang sebagai salah satu permasalahan
kontemporer juga karena di indonesia sudah berdiri asuransi yang berlandasan
syariah.ASURANSI
Asuransi
pada awalnya merupakan konsep persiapan yang dibuat sekelompok orang yang
menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila
sesuatu kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota
perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama oleh mereka.
Menurut UU
No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian mendefinisikan asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin ada diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1][1]
Sedangkan
dalam pasal 246 KUHD, disebutkan bahwa “asuransi atau pertanggungan adalah
suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang
mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu[2][2]
Dari
pengertian asuransi tersebut diketahui adanya tiga unsur pokok dalam asuransi
yaitu bahaya yang dipertanggungkan, premi pertanggungan dan sejumlah uang ganti
rugi pertanggungan. Bahaya yang dipertanggungkan sifatnya tidak pasti terjadi.
Premi pertanggungan pun tidak mesti sesuai dengan yang tertera dalam polish.
Jumlah uang santunan atau ganti rugi sering atau bahkan pada umumnya jauh lebih
besar daripada premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi.
B. Operasional
Asuransi
Operasional
perasuransian secara umum meliputi beberapa operasional antara lain sebagai
berikut : [3][3]
1. Aqad
-
Aqad juga
merupakan prinsip dalam menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Demikian
halnya dengan asuransi, aqad antara perusahaan dengan peserta harus jelas.
Apakah aqad-nya jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (Takaful)
-
Syarat dalam
transaksi jual beli adalah penjual, pembeli terdapatnya harga, dan barang yang
dijual belikan, pada asuransi biasa, penjual dan pembeli, barang yang
diperoleh, yang dipersoalkan adalah berapa premi yang harus dibayar kepada
perusahaan asuransi. Padahal hanya Allah SWT yang tahu kapan kita meninggal.
Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian, akan tetapi
jumlah yang akan disetorkan tidak jelas tergantung usia kita, dan hanya Allah
SWT yang tahu kapan kita meninggal.
-
Dengan
demikian aqad jual beli dalam asuransi bisa terjadi cacat secara syari'ah
karena tidak jelas (Gharar). Yaitu berapa besar yang akan dibayarkan
kepada pemegang polish (pada Product Saving) atau berapa besar yang
diterima pemegang polish (pada Product Non Saving)
- 2. Gharar
a.
Definisi gharar menurut mazhab Syafi'i adalah
apa-apa yang yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat paling
kita takuti. Apabila tidak lengkap rukun dari aqad maka terjadi gharar. Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa aqad
jual beli atau aqad pertukaran harta benda dalam hal ini adalah cacat secara
hukum.
b.
Pada
asuransi konvensional, terjadi karena tidak adanya kejelasan masud alaih (sesuatu yang di-aqad-kan). Yaitu meliputi beberapa
sesuatu akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau kecil). Tidak diketahui
berapa yang akan dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita harus membayar
(karena hanya Allah SWT yang tahu kapan kita akan meningal). Karena tidak
lengkapnya rukun dari aqad maka
terjadi gharar oleh karena itu para
ulama berpendapat bahwa aqad dalam
jual beli atau aqad pertukaran harta
benda dalam hal ini cacat secara hukum.
c.
Dalam
asuransi yang menggunakan prinsip syari'ah mengganti aqad tadi dengan niat tabarru’,
yaitu suatu niat tolong-menolong pada sesama peserta apabila ada yang
ditakdirkan mendapat musibah. Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup
kemungkinan untuk kita atau keluarga apabila Allah SWT mentakdirkan kita lebih
dahulu mendapat musibah.
3. Tabarru’
a. Tabarru’ berasal dari kata tabarra, yatabarru, tabarruan, yang
artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat tabarru’ merupakan alternatif uang yang
sah dan diperkenankan. Tabarru’
bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk bermaksud memberikan dana
yang bertujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta Takaful, ketika diantara ada yang
mendapat musibah.
b. Tabarru’ disimpan dalam rekening khusus.
Apabila ada yang terkena musibah maka dana klaim yang diberikan adalah dana
rekening tabarru’ yang sudah
diniatkan oleh sesama Takaful untuk
saling tolong-menolong.
4. Maisir
a. Islam
menghindari adanya ketidakjelasan informasi dalam mengadakan transaksi. Maisir pada hakikatnya tidak diketahui
informasi oleh peserta tentang berbagai hal yang berhubungan dengan produk yang
akan dikonsumsinya.
b. Dalam mekanisme asuransi syari'ah
keterbukaan merupakan akselerasi dari realisasi prinsip-prinsip syari'ah.
Karena tidak adanya kepercayaan jika tidak adanya keterbukaan informasi. Dalam
mekanisme asuransi konvensional, masisir
sebagai akibat dari status kepemilikan dana dan gharar.
5. Riba
a. Keberadaan
asuransi syari'ah yang paling substansial disebabkan adanya ketidak adilan
dalam asuransi konvensional, misalnya untuk melipat gandakan keuntungan dari
praktek yang dilakukan dengan cara yang tidak adil. Semua asuransi konvensional
menginventasikan dananya dengan bunga.
b. Dengan
demikian asuransi konvensional selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian pula dengan perhitungan
kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan didepan. Sedangkan Takaful menyimpan dananya di bank
berdasarkan syari'ah dengan sistem mudharabah
6. Dana Hangus
Dalam
asuransi konvensional, adanya dana yang hangus, dimana peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing
period, maka dana peserta tersebut hangus. Demikian pula asuransi non tabungan
atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak menjadi klaim. Maka
premi yang akan dibayarkan akan hangus sekaligus menjadi milik pihak asuransi.
C. Hukum
Per-Asuransi-an
Ada berbagai
pendapat mengenai hukum dari perasuransian, setidaknya ada 2 pandangan besar
mengenai hukum dari asuransi yaitu :
1.
Haram,
diantara para ulama yang mengatakan bahwa asuransi adalah haram antara lain
Yusuf al Qardawi, Sayyid Sabiq, Abdullah al Qadili, Muhammad Yusuf Musa,
Abdurrahman Isa, Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Nezatullah Siddiqi, mereka
mengatakan bahwa dalam sistem operasional perasuransian terdapat tiga unsur
yang diharamkan dalam Islam, yaitu; gharar,
maisir dan riba. [4][4] Walupun
demikian sebagian dari mereka
2.
Boleh, para
ulama yang membolehkan adanya asuransi mengatakan bahwa jika dalam asuransi
tersebut tidak mengandung unsur gharar, maisir dan riba
maka transaksi –asuransi- yang dilakukan tetap sah
D. Perbedaan Asuransi Syari'ah
(asuransi yang diperbolehkan) dengan Asuransi Konvensional (yang masih
diragukan kebolehannya)
1.
Keberadaan
dewan pengawas syariah (DPS) dalam asuransi syari'ah merupakan suatu keharusan.
Dewan ini berperan mengawasi manajemen, produk serta kebajikan investasi serta
kebajikan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syari'at islam.
2.
Prinsip
asuransi syari'ah adalah takafuli
(tolong menolong) sedangkan prinsip asuransi konvensional tadabuli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan).
3.
Dana yang
terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syari'ah (premi) diinvestasikan
berdasarkan syari'ah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada
asuransi konvensional investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan
sistem bunga.
4.
Premi yang
terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya
sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan asuransi konvensional,
premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh
untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
5.
Untuk
kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru’ seluruh peserta yang sudah
diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong bila ada peserta yang terkena
musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil
dari rekening milik perusahaan.
6.
Keuntungan
investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan
selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi
knvensional, jika tidak ada klaim, nasabah tidak mendapatkan apa-apa.[5][5]
Perbedaan
asuransi syari'ah dan asuransi konvensional dapat dilihat dalam tabel berikut
ini[6][6]
Keterangan
|
Asuransi
Syari'ah
|
Asuransi
Konvensional
|
Pengawasan Dewan Syari'ah (PDS) 7
|
Adanya Dewan Pengawas Syari'ah. Fungsinya mengawasi produk yang
dipasarkan dan investasi dana
|
Tidak ada
|
Aqad
|
Tolong menolong (Takafuli)
|
Jual beli
|
Investasi dana
|
Investasi dana berdasarkan syari'ah dengan sistem bagi hasil
(mudharabah)
|
Investasi dana berdasarkan bunga
|
Kepemilikan dana
|
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) merupakan
milik peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelola
|
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi
milik perusahaan, perusahaan bebas menentukan investasinya.
|
Pembayaran klaim
|
Dari rekening tabarru’
(dana kebijakan) seluruh peserta ; sejak awal telah diikhlaskan oleh peserta
untuk keperluan tolong menolong bila terjadi musibah.
|
Dari rekening dana perusahaan
|
Keuntungan (profit)
|
Dibagi antara perusahaan dengan peserta dengan prinsip
bagi hasil
|
Seluruhnya menjadi miliknya perusahaan
|
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat disimpukan bahwa hukum dari asuransi pada dasarnya
terlatak pada operasional asuransi itu sendiri, jika dalam operasional Asuransi
tersebut masih terdapat unsur Gharar, maisir dan riba, maka hukumnya haram
menurut sebagian besar para ulama, adapun jika dalam operasionalnya telah
dihilangkan ketiga unsur tersebut maka hal yang demikan diperbolehkan. Sekian.
Wallahua’lam
Daftar Pustaka
Dewi,
Gemala. Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan
dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media
Group. 2004
Sudarsono,
Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah
Deskrifsi dan ilustrasi. Yogyakarta: EKONSIA, Kampus Fakultas Ekonomi UII.
2003
Suwitro,
Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan
Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful di Indonesia). Jakarta: Raja
Grafindo Persada 1997
Operasional Asuransi
Operasional
perasuransian secara umum meliputi beberapa operasional antara lain sebagai berikut
: [7][3]
1. Aqad
-
Aqad juga
merupakan prinsip dalam menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Demikian
halnya dengan asuransi, aqad antara perusahaan dengan peserta harus jelas.
Apakah aqad-nya jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (Takaful)
-
Syarat dalam
transaksi jual beli adalah penjual, pembeli terdapatnya harga, dan barang yang
dijual belikan, pada asuransi biasa, penjual dan pembeli, barang yang
diperoleh, yang dipersoalkan adalah berapa premi yang harus dibayar kepada
perusahaan asuransi. Padahal hanya Allah SWT yang tahu kapan kita meninggal.
Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian, akan tetapi
jumlah yang akan disetorkan tidak jelas tergantung usia kita, dan hanya Allah
SWT yang tahu kapan kita meninggal.
-
Dengan
demikian aqad jual beli dalam asuransi bisa terjadi cacat secara syari'ah
karena tidak jelas (Gharar). Yaitu berapa besar yang akan dibayarkan
kepada pemegang polish (pada Product Saving) atau berapa besar yang diterima
pemegang polish (pada Product Non Saving)
2. Gharar
a.
Definisi gharar menurut mazhab Syafi'i adalah
apa-apa yang yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat paling
kita takuti. Apabila tidak lengkap rukun dari aqad maka terjadi gharar. Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa aqad
jual beli atau aqad pertukaran harta benda dalam hal ini adalah cacat secara
hukum.
b.
Pada
asuransi konvensional, terjadi karena tidak adanya kejelasan masud alaih (sesuatu yang di-aqad-kan). Yaitu meliputi beberapa
sesuatu akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau kecil). Tidak diketahui
berapa yang akan dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita harus membayar
(karena hanya Allah SWT yang tahu kapan kita akan meningal). Karena tidak lengkapnya
rukun dari aqad maka terjadi gharar oleh karena itu para ulama
berpendapat bahwa aqad dalam jual
beli atau aqad pertukaran harta benda
dalam hal ini cacat secara hukum.
c.
Dalam
asuransi yang menggunakan prinsip syari'ah mengganti aqad tadi dengan niat tabarru’,
yaitu suatu niat tolong-menolong pada sesama peserta apabila ada yang
ditakdirkan mendapat musibah. Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup
kemungkinan untuk kita atau keluarga apabila Allah SWT mentakdirkan kita lebih
dahulu mendapat musibah.
3. Tabarru’
a. Tabarru’ berasal dari kata tabarra, yatabarru, tabarruan, yang
artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat tabarru’ merupakan alternatif uang yang
sah dan diperkenankan. Tabarru’
bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk bermaksud memberikan
dana yang bertujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta Takaful, ketika diantara ada yang
mendapat musibah.
b. Tabarru’ disimpan dalam rekening khusus.
Apabila ada yang terkena musibah maka dana klaim yang diberikan adalah dana
rekening tabarru’ yang sudah
diniatkan oleh sesama Takaful untuk
saling tolong-menolong.
4. Maisir
a. Islam
menghindari adanya ketidakjelasan informasi dalam mengadakan transaksi. Maisir pada hakikatnya tidak diketahui
informasi oleh peserta tentang berbagai hal yang berhubungan dengan produk yang
akan dikonsumsinya.
b. Dalam mekanisme asuransi syari'ah
keterbukaan merupakan akselerasi dari realisasi prinsip-prinsip syari'ah.
Karena tidak adanya kepercayaan jika tidak adanya keterbukaan informasi. Dalam
mekanisme asuransi konvensional, masisir
sebagai akibat dari status kepemilikan dana dan gharar.
5. Riba
a. Keberadaan
asuransi syari'ah yang paling substansial disebabkan adanya ketidak adilan
dalam asuransi konvensional, misalnya untuk melipat gandakan keuntungan dari
praktek yang dilakukan dengan cara yang tidak adil. Semua asuransi konvensional
menginventasikan dananya dengan bunga.
b. Dengan demikian
asuransi konvensional selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian pula dengan perhitungan kepada peserta, dilakukan
dengan menghitung keuntungan didepan. Sedangkan Takaful menyimpan dananya di bank berdasarkan syari'ah dengan
sistem mudharabah
6. Dana Hangus
Dalam
asuransi konvensional, adanya dana yang hangus, dimana peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing
period, maka dana peserta tersebut hangus. Demikian pula asuransi non tabungan
atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak menjadi klaim. Maka
premi yang akan dibayarkan akan hangus sekaligus menjadi milik pihak asurans
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi, (
Yogyakarta: EKONSIA. kampus Fakultas ekonomi UII, 2003), hal. 74
[8][1] Gemala Dewi, SH., LL.M., Aspek-Aspek
Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, (Jakarta :
Prenada Media, 2004), hal. 181
[9][2] Bisa anda lihat di Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), BAB IX Pasal 246 Tentang perasuransian
[10][3] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskrifsi
dan ilustrasi, ( Yogyakarta: EKONSIA. kampus Fakultas ekonomi UII, 2003), hal. 74
[11][4]
Gharar artinya transaksi yang dilakukan masih belum jelas,
sedangkan Maisir adalah transaksi yang dijalankan mengandung unsur judi,
Lihat : Heri Sudarsono, Ibid, hal. 99
[12][5]
Warkum Suwitro. Asas-asas
Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful di Indonesia),
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 106
[1][1] Gemala
Dewi, SH., LL.M., Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syari’ah di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal. 181
[2][2] Bisa
anda lihat di Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), BAB IX Pasal 246 Tentang
perasuransian
[3][3] Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan
Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi, ( Yogyakarta: EKONSIA. kampus Fakultas
ekonomi UII, 2003), hal. 74
[4][4] Gharar artinya transaksi yang
dilakukan masih belum jelas, sedangkan Maisir adalah transaksi yang
dijalankan mengandung unsur judi, Lihat : Heri Sudarsono, Ibid, hal. 99
[5][5] Warkum Suwitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan
Takaful di Indonesia), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 106
Comments
Post a Comment