Al-Qur’an
telah menggariskan beberapa ketentuan berkenaan dengan hutang pitang untuk
menjaga supaya jangan timbul perselisihan antara kedua belah pihak, yang
berhutang dan yang berpiutang.
Aturan-aturan
di dalam Al-Qur’an berkenaan dengan hutang piutang diantaranya adalah seperti
dilarangnya menreapkan praktek riba di dalam hutang piutang, karena orang yang
berhutang adalah pastilah orang yang sedang berada dalam kesulitan, maka dari
itu di dalam firmannya Allah menganjurkan untuk meminjamkan dengan kerelaan dan
keikhlasan hati. Dan bahkan Allah menganjurkan memberikan waktu penangguhan
hutangapabila pihak yang berhutang ada pada keadaan yang sulit sampai dia
lapang.Dan Allah juga menganjurkan menulis dan menghadirkan saksi di dalam
transaksi hutang piutang.Sesunguhnya Allah tidak menghendaki kerugian terjadi
pada kedua belah pihak.
1. Apa pengertian dari hutang piutang?
2.
Bagaimana cara
melakukan transaksi dan hutang piutang menurut al-Qur’an?
Dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam dikenal dengan istilah
Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang
berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut
AlQardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah
menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang
akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai
dengan kesepakatan.[1]
Hutang piutang (القرض أو الدين) adalah suatu transaksi dimana seseorang
meminjam harta benda kepada orang lain dengan janji akan dikembalikan pada
waktu yang telah ditentukan dengan jumlah yang sama.[2]
1.
Rukun
dalam hutang piutang yaitu:
a.
Orang
yang memberi hutang
b.
b. Orang
yang berhutang
c.
Ucapan
kesepakatan atau ijab qabul
d.
Barang
atau uang yang akan dihutangkan
2.
Syarat
yang harus dipenuhi dalam hutang piutang:
a.
Baligh
dan berakal
b.
Ijab
qabul harus jelas
Utang piutang secara hukum dapat didasarkan
pada adanya perintah dan anjuran agama supaya manusia hidup dengan saling
tolong menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Dalam
transaksi utang piutang terdapat nilai luhur dan cita-cita sosial yang sangat
tinggi yaitu tolong menolong dalam kebaikan.[3]Dengan
demikian, pada dasarnya pemberian utang atau pinjaman pada seseorang harus
didasari niat yang tulus sebagai usaha untuk menolong sesama dalam
kebaikan.Ayat ini berarti juga bahwa pemberian utang atau pinjaman pada
seseorang harus didasarkan pada pengambilan manfaat dari sesuatu pekerjaan yang
dianjurkan oleh agama atau jika tidak tidak ada larangan dalam melakukannya.
Selanjutnya, dalam
transaksi utang piutang Allah memberikan rambu-rambu agar berjalan sesuai
prinsip syari’ah yaitu menghindari penipuan dan perbuatan yang dilarang Allah
lainnya.Pengaturan tersebut yaitu anjuran agar setiap transaksi utang piutang
dilakukan secara tertulis. Ketentuan ini terdapat dalam surat al-Baqarah
ayat 282 sebagai berikut:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ
أمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِن كَانَ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْلاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ
فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلُهُ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ
مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى
وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَآءُ إِذَا مَادُعُوا وَلاَ تَسْئَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ
صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ وَأَقْوَمُ
لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبُهُ وَلاَ
شَهِيدُهُ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقُ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimplakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimplakkan, maka hendaklah walinya mengimplakkan dengan jujur.Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu).Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya.Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.Yang demikian itu,
lebih adil disisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu.(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jiak
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulit.Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu.Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
Arti Mufradat
تَدَايَنتُمْ : Kalian
berhutang piutang (bertransaksi)
بِدَيْنٍ : Dengan
hutang (atau dengan memesan barang)
فَاكْتُبُوهُ : Maka
catatlah ia (untuk menghindari perselisihan)
مِنْهُ : Darinya
(hutang)
شَيْئًا : Sesuatu
(sedikitpun)
سَفِيهًا : Lemah
akal (tidak mampu membelanjakan uang)
يُمِلَّ : Membacanya
(karena bisu atau bodoh)
مِن رِّجَالِكُمْ : Dari
kaum lelaki kalian (yang sudah baligh, muslim dan merdeka)
تَرْضَوْنَ : Kalian
ridhoi (karena agama dan sifat adilnya)
ذَلِكُمْ : Demikian
itu (catatan transaksi)
حَاضِرَةً : Yang
hadir (tunai)[4]
Asbabul Nuzul
Pada waktu Rasulullah SAW datang ke Madinah pertama kali, orang-orang
penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu
rasul “barang siapamenyewakan (mengutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan
atau ukuran yang tertentu dan jangka waktu yang tertentu pula”. Sesungguhnya
itu Allah SWT menurunkan ayat 282 sebagai perintah apabila mereka utang piutang
maupun muamalah dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan
mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjadinya sengketa pada waktu-waktu
yang akan datang. (HR. Bukhori dan Sofyan
Bin Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari Abdillah bin Katsir dari Minhal dari Ibnu
Abbas).[3]
Tafsiran Surat Al-Baqarah: 282
1. Hendaklah dituliskan segala hutang piutang
Kata “dain” atau utang terdapat antara dua orang yang hendak berjual beli,
karena yang seorang meminta supaya dia tidak membayardengan tunai, melainkan
dengan berutang.Muamalah seperti ini diperoleh syara’ dengan syarat
ditangguhkannya pembayaran itu sampai jatuh tempo yang telah ditentukan dan
tidak sah menangguhkan pembayaran itu dengan tidak jelas tempo pembayarannya.
Selanjutnya pada ayat diatas
menjelaskan bahwa orang yang berhutang sendiri hendaklah mengucapkan hutangnya
dan tempo pembayarannya dengan cara imlak maka mulailah juru tulis itu
menuliskan apa yang telah diimlakkan dengan cara yaitu tidak merusak sedikitpun
dari perjanjian dan jumlah utang yang telah dikatakannya.
Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin agar memelihara muamalah,
utang-utangnya, masalah qiradh dan salam yaitu barangnya belakangan tetapi
bayar dimuka. Penjual barang menuliskan sangkutan barang
tersebut sesuai waktu yang telah ditentukan. Juru tulis adalah orang adil yang
tidak memihak dan hendaknya yang memberi utang mengutarakan maksudnya agar
ditulis oleh juru tulis dan tidak menguragi sedikitpun hak orang lain demi
kepentingan pribadi.
2. Jika orang berhutang seorang yang dungu
Kata “سفيه” ialah orang yang dungu atau orang yang bodoh, yang otaknya
mengalami gangguan atau seseorang yang boros dan mubazir yang memboroskan
uangnya ketempat yang tidak berguna. Orang “ضعيف” ialah orang yang sudah terlalu tua atau anak-anak yang belum
baligh. Dalam keadaan itu wali mereka itulah yang bertindak mengimlakkan akad
maka apabila tidak ada yaitu dengan cara hukum.
3. Dua
orang sanksi dalam hutang piutang
وَآسْتَشْهِدُوا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ
يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَ جُلٌ وَآمْرَ أَتَانِ مَمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
آلشُّهَدَآءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَىهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَىهُمَا آلْأُخْرَى
“....jika tak
ada dua orang sanksi lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari sanksi –sanksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya.....”
Ayat ini menerangkan, bahwa orang yang hendak mengadakan
hutang piutang hendaklah mengharapkan kepada dua orang sanksi laki-laki muslim
atau dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Kesaksian dua orang perempuan
sama dengan kesaksian seorang laki-laki menurut malik dan syafi’I. Jika
diantaranya terlupa maka dapat diingatkan oleh orang lain yang disyaratkan
kepada perempuan karena perempuan itu lebih lemah dibandingkan laki-laki.
4. Saksi janganlah enggan
وَلَايَأْبَآلشُّهَدَآءُإِذَامَادُعُوا
“.....Janganlah sanksi-sanksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.....”
Sebagian ulama menerangkan, bahwa sanksi-sanksi
yang dimaksud disini ialah sanksi-sanksi yang telah menyaksikan hutang piutang
itu sejak awal. Jika seseorang diminta akan menyaksikan suatu hal maka
janganlah meraka merasa enggan untuk menjadi sanksi. maka apabila sanksi itu
diperlukan, terutama dalam permulaan mengikat janji dan membuat surat.
Janganlah merasa enggan karena hal tersebut merupakan amalan baik yaitu turut
memperlancar perjanjian antara sesama muslim.Dia boleh enggan jika menurut
pengetahuannya ada lagi orang lain yang lebih mengetahui dari pada dirinya.
Adapun jika suatu hari terjadi kekacauan sedangkan sanksi yang sudah tertulis
berhalangan hadir maka hal tersebut merupakan kesalahan dirinya sendiri.
5. Jangan bosan mencatat
Jangan bosan menuliskan disini maksudnya menuliskan
hutang piutang baik yang kecil mau pun yang besar.Ditulis pula jumlah dan tempo
pembayarannya.Itulah yang lebih adil karena jika terjadinya perselisihan maka
kesaksian yang tertulis itu yang dapat membantu menjelskan kebenaran.
Ayat ini
merupakan dalil yang menunjukan bahwa tulisan merupakan bukti yang dapat
diterima apabila sudah memenuhi syarat dan penulisan ini wajib untuk segala
urusan baik kecil maupun besar.
6. Juru
tulis janganlah merugikan
وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيْدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوْا
فَإِنَّهُ فُسُوْقُ بِكُمْ وَاتَّقُوا آاللهَ وَيُعَلِّمُكُمْ آللهُ وَآللهُ
بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيْمٌ
“...beli dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit menyulit. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu.Dan bertakwalah kepada Allah, Allah
mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Kata “ولا يضآر” dapat diartikan dengan dua makna yaitu, janganlah memberi
mudarat dan jangan menanggung mudarat.Menurut arti yang pertama, juru tulis
atau saksi janganlah berlaku curang dalam menuliskan atau menyaksikannya baik
terhadap orang yang berhutang maupun terhadap orang yang berpiutang.
Di sisi lain, Allah memberikan aturan yang tegas dalam utang piutang yang
merupakan bagian dari transaksi ekonomi (mu’amalah maliyah). Ketegasan
aturan transaksi ekonomi tersebut tercermin dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’
ayat 29 sebagai berikut :
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا لَا تَأْ كُلُوْا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّا اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
وَلَا تَقْتُلُوْا اَنْفُسَكُمْ اِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
Salah satu transaksi yang termasuk baţil adalah
pengambilan riba. Riba berdasarkan penjelasan para mufassir, baik dalam bentuk
definisi maupun gambaran praktis di masa Jahiliyyah.
بِالْبَاطِلِ : Dengan
cara batil (seperti riba dan ghasab)
تِجَارَةً :
(hasil) perniagaan
عَنْ تَرَاضٍ : Dari
dasar suka sama suka (saling ridho). [5]
Asbabun nuzul (tidak memiliki asbabun nuzul)
Penafsiran ayat:
Surah
An-Nisa’ ayat 29 melarang perolehan harta di dalam perniagaan secara batil
(riba, judi, jual beli yang mengandung penipuan), karena sesungguhnya harta
tersebut harus difungsikan untuk manfaat bersama.Kata diantara kamu berarti dua
belah pihak pada perniagaan.Hendaklah perniagaan yang berdasarkan kerelaan
di antara kamu yaitu kerelaan yang berdasarkan agama dengan ijab dan Kabul
yang merupakan bentuk-bentuk yang menunjukkan kerelaan. Dan jika mengingkari
semua itu maka sama dengan membunuh diri sendiri atau membunuh masyarakat
seluruhnya, dan sesungguhnya Allah Maha Penyayang. Jadi, dilarang melakukan
perniagaan yang termasuk di dalamnya yaitu, transaksi hutang piutang dengan
cara yang batil berupa penipuan dan atas dasar riba akan mengakibatkan
keburukan bagi kedua belah pihak.[6]
maka riba yang maksud
dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Riba itu terjadi karena transaksi pinjam meminjam atau hutang piutang
2.
Ada tambahan dari pokok
pinjaman ketika pelunasa
3.
Tambahan dimaksud,
dimaksudkan terlebih dahulu
4.
Tambahan itu diperhitungkan sesuai dengan
limit waktu peminjaman.
QS. Al-Baqarah ayat 245
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ
قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ
وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Artinya:
Barang siapa meminjami
Allah dengan jalan yang baik, maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan
banyak.Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNya lah kamu
dikembalikan.
Arti Kata Mufradat
قَرْضًا حَسَنًا : Pinjaman yang baik (dengan kerelaan jiwa)
فَيُضَاعِف : Maka
dia akan melipatgandakan (balasannya)
يَقْبِضُ : Menyempitkan
(rezeki sebagai cobaan)
وَيَبْسُطُ : Melapangkan
(rezeki sebagai ujian)
تُرْجَعُوْنَ : Kalian
dikembalikan (untuk dibalas amalnya)[7]
Asbabun nuzul
Ibnu Hibban di dalam shahihnya dan Ibnu Madawaih
meriwayatkan dari ibnu Umar, dia berkata “ketika turun firman
Allah (perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah
seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada
seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dia kehendaki, dan Allah
Maha luas, Maha mengetahui)”. Rasulullah saw bersabda “Ya Allah, berilah
tambahan untuk umatku”. Maka turunlah surat al baqarah ayat 245.
Penafsiran ayat
Surah Al-Baqarah ayat 245 berisi tentang
anjuran berjuang dengan harta benda, yaitu salah satunya dengan cara
meminjamkan dan pinjaman (qardh) yang maknanya segala sesuatu yang dilakukan
dengan mengharap imbalan, namun Allah menginginkan pinjaman yang
baik dalam arti dengan niat yang bersih, hati yang tulus, serta harta yang
halal, maka Allah akan melipatgandakan kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak jadi jangan ragu karena Allah menyempitkan dan melapangkan
(rezeki) dan kepada Nya-lah kamu dikembalikan. Jadi
jangan khawatir dalam bertransaksi dan memberi pinjaman dengan harta benda di
jalan Allah, karena akhirnya semua akan kembali kepada-Nya.[8]
QS. Al-Baqarah ayat 275
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَوا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنْ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ
وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.
Artinya:
Orang-orang yang makan (bertransaksi dengan) riba, tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan,
sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhannya. Keadaan mereka yang
demikian itu disebabkan karena mereka berkata, “ jual beli tidak lain kecuali
sama dengan riba” , padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba, maka barang siapa yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya
(menyangkut riba), lalu berhenti (dari praktek riba), maka baginya apa yang
telah di ambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (kembali)
kepada Allah. Adapun yang kembali (bertransaksi riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
QS. Al-Baqarah ayat 275
فَانتَهَى : Lalu ia
berhenti (memakan riba)
Asbabun
Nuzul ( tidak
memiliki asbabun nuzul)
Tafsir ayat
Surah Al-Baqarah ayat 275 berisi
tentang laknat Allah bagi orang-orang yang makan dari hasil
transaksi denganriba baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil.
Mereka tidak dapat berdiri melakukan aktivitasnya, melainkan
seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan, sehingga ia tak tahu
arah disebabkan oleh sentuhan(nya),maksudnya disini adalah mereka akan
dibangkitkan dari kubur dalam keadaan yang tidak tahu arah yang harus mereka
tuju, dan di dalam kehidupan dunia mereka akan ada dalam situasi
gelisah, tidak tau arah, tidak tentram, selalu bingung dan berada dalam
ketidakpastian, disebabkan karena pikiran mereka yang dipengaruhi oleh syetan
yang akhirnya hanya tertuju kepada materi dan penambahannya. Keadaan mereka
yang tak tau arah tersebut terlihat dari ucapannya yang menyamakan riba dengan
jual beli “jual beli tidak lain kecuali sama dengan riba” padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Hukum jual
beli dan riba sudah jelas, maka tinggal manusia dapat mengindahkan
peringatan tersebut atau tidak.Jadi praktek riba sebelum datangnya peringatan
Allah itu sudah menjadi miliknya danurusannya kembali kepada Allah. Dan adapun
yang kembali bertransaksi riba atau mempersamakan riba dengan jual
beli dari segi kehalalannya setelah peringatan itu datang, maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka;mereka kekal di dalamnya[9]
QS. Al-Baqarah ayat 278
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا
بَقِيَ مِنَ الرِّبَا اِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang beriman.
Arti Mufradat
وَذَرُوا : Dan tinggalkanlah
مَا بَقِيَ : Apa yang tersisa
Asbabun Nuzul
Abu Ya’la
dalam musnadnya dan ibnu Mandah meriwayatkan dari jalur al kalbi dari Abu
Shaleh dari Ibnu Abbas, dia berkata, “ sampai kepada kami bahwa ayat ini turun
pada Bani Amr dan Auf yang berasal dara Tsaqif, dan pada Bani Mughirah”. Ketika
itu orang-orang Bani Mughirah mempunyai utang dari hasil riba kepada
orang-orang Tsaqif.Ketika Allah menaklukkan Mekkah untuk RasulNya maka Allah
membatalkan semua bentuk riba.
Kemudian orang-orang Bani Amr dan
Bani Mughirah berselisih dalam masalah pembayaran utang karena hasil riba
mereka. Lalu mereka mendatangi Attab bin Usaid yang ketika itu menjadi gubernur
Mekah. Orang-orang Bani Mughirah berkata : “kami menjadi orang yang paling
sengsara karena riba. Sedangkan, Rasulullah telah membatalkan riba dari orang
selain kami”.
Bani Amr pun menyahut “ kami telah
berdamai dengannya (Muhammad) dan telah sepakat bahwa riba kami dari
orang-orang (selain orang-orang muslim) adalah hak kami”. Lalu Attab
mengabarkan tentang hal itu kepada Nabi saw, maka turunlah surat Al-Baqarah ayat
278 dan ayat setelahnya.[2]
Penafsiran ayat
Di dalam surah Al-Baqarah ayat 278 orang-orang yang
beriman dianjurkan bertakwa dan menghindari sanksi dan siksa Allah yang berat
dengan menghindari praktek riba, bahkan meninggalkan sisa-sisanya. Dan penutup
ayat “jika kamu beriman” mengisyaratkan bahwa riba tidak menyatu
dengan iman dalam diri seseorang, maka jika seseorang melakukan praktek riba di
dalam transaksinya, itu bermakna ia tidak beriman dan tidak percaya pada
janji-janji Allah.[17]
QS. Al-Hadid ayat 11
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ
لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Artinya:
Siapakah yang mau meminjamkan
kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan)
pinjaman untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.
Arti Mufradat
حَسَنًا : Yang baik (di jalan Allah)
Asbabun Nuzul ( Tidak memiliki asbabun nuzul)
Penafsiran ayat
Dalam surah Al-Hadid ayat 11
diterangkan lagi dorongan untuk berinfak dari harta yang ada dalam genggaman
tangan, karena Allah sudah menjanjikan balasan yang berlipat ganda dan pahala
yang mulia berupa pengampunan dosa-dosa. Seharusnya dari ayat ini kita
sadar bahwa pemilik harta yang ada di dunia ini adalah Allah yang di anugrahkan
kepada manusia dan kerelaan dan keikhlasan berinfak dinamakan dengan infak
manusia di jalan Allah yang justru bukan untuk kepentingan-Nya semata bahkan
dinilai sebagai pinjaman untuk-Nya, lalu itupun disertai dengan pengembalian
yang berlipat ganda dan pengampunan. Jadi, jangan ragu untuk membantu orang
yang sedang mengalami kesulitan dengan memberi pinjaman ataupun menyedekahkannya
untuk upaya mengurangi perbedaan status sosial sehingga
jiwa persaudaraan dan persamaan bisa ditegakkan dalam masyarakat Islam.[11]
Munasabah ayat
. a. Hubungan Qs. Al Baqarah
ayat 275 dengan Qs. Al Baqarah ayat 278.
Dalam
surat Al Baqarah ayat 275 menjelaskan tentang riba yaitu “maka
barang siapa yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut
riba), lalu berhenti (dari praktek riba), maka baginya apa yang telah di
ambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (kembali) kepada Allah.
Adapun yang kembali (bertransaksi riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”, dan pada Qs. Al Baqarah
ayat 278 juga menjelaskan “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang beriman.”
b.Hubungan Qs. An Nisa’ ayat 29 dengan Qs. Al Baqarah ayat 282.
Dalam surat An Nisa’ ayat 29 dijelaskan bahwa kita tidak
diperbolehkan memakan harta orang lain apalagi dengan cara yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan dan didasari suka sama suka. Hal ini berkaitan dengan
ayat 282 yang menjelaskan bahwa apabila kita melakukan transaksi dan hutang
piutang hendaklah ditulis agar tidak ada yang saling dirugikan, kecuali apabila
perniagaan itu perniagaan secara kontan.
[1]Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk.Ensiklopedi Fiqih Muamalah (Yogyakarta:
Maktabah al-Hanif), 2009, 153.
[5]Ibid., 84.
[6]M.Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 2, 392-393.
[9]M.Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 1, 588-594.
[10]Taufik Damas, dkk, Al-Qur’an
Tafsir Per Kata Al-Ahkam, 50.
[11]M.Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah Volume 14, 22-23.
Comments
Post a Comment