Skip to main content

Pengertian Puasa

PUASA
A Pengertian Puasa
Pengertian As-Shaum (puasa) menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah agama (syara’) adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan syarat-syarat tertentu.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Baqarah:183)

Hadits
عن أنس بن مالك قال:قال رسول الله e :"اِفْتَرَضَ اللهُ عَلَى أُمَّتِي الصَّوْمَ ثَلاَثِيْنَ يَوْماً وافْتَرَضَ عَلَى سَائِرِ الأُمَمِ أَقَلَّ وَأَكْثَرَ وَذلِكَ لأَنَّ آدَمَ لَمَّا أَكَلَ مِنَ الشَّجْرَةِ بَقِيَ فِيْ جَوْفِهِ مِقْدَارَ ثَلاَثِيْنَ يَوْماً فَلَمَّا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ أَمَرَهُ بِصِيَامِ ثَلاَثِيْنَ يَوْماً بِلَيَالِيْهِنَّ ، وَافْتَرَضَ عليَّ وَعَلَى أُمَّتِيْ بِالنَّهَارِ وَمَا نَأْكُلُ بِاللَّيْلِ فَفَضْلُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ". (حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ ) 

Dari Anas bin Malik berkata : Rosulullah Shollallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : Allah mewajibkan puasa atas umatku selama tiga puluh hari dan meewajibkan atas umat-umat yang lain lebih sedikit atau lebih banyak. Hal tersebut disebabkan karena ketika Adam memakan bagian dari pohon (syajroh) di dalam perutnya selama tiga puluh hari. Maka ketika Allah menerima taubatnya Allah memerintahkannya utk berpuasa selama tiga puluhhari termasuk pada malam harinya. Dan diwajibkan atasku dan umatku (utk berpuasa) pada siangnya saja dan kita makan dimalam harinya sebagai keutamaan dari Allah Azza wa Jalla.
Derajat Hadits : Dho’if (lemah)
-          Di keluarkan oleh Al Khothib dalam “Tarikh Baghdad” no: 6991
-          Ibnu Al Jauzy daam “Al Maudhu’at” no. 101

B. Syarat-syarat Wajib Puasa
  1. Berakal sehat
  2. Baligh (sudah cukup umur)
  3. Mampu melaksanakannya

C. Syarat sah puasa :

  1. Islam (tidak murtad)
  2. Mummayiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk)
  3. Suci dari haid dan nifas
  4. Mengetahui waktu diterimanya puasa

D. Rukun puasa :

  1. Niat
  2. Meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari


E. Hal-hal yang dapat Membatalkan Puasa
    1. Makan atau minum dengan sengaja
    2. Berhubungan suami istri
    3. Keluar mani dengan sengaja
    4. Muntah dengan sengaja
    5. Hilang akal
    6. Keluar haid atau nifas
Hadits
وَعَن أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : " مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلاَ مَرَضٍ لمَ ْيَقْضِ عَنْهُ صَوْمَ الدَّهْرِ كُلَّهُ وَإِنْ صَامَهُ " (حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ ) 
Dari Abu hurairah Radliyallahu 'Anhu barangsiapa yang berbuka (membatalkan puasanya) satu hari saja di bulan Ramadhan tanpa sebab (syar’i) dan juga bukan karena sakit maka tidak dapat digantikannya walaupun dengan puasa selama satu tahun penuh.
F. Macam-macam Puasa
A.   PUASA WAJIB
1.Puasa Ramadhan
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 183).
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia) di dalam agama Islam. Hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma’/kesepakatan kaum muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan demikian.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380).
  1. Puasa Nazar
Untuk puasa nazar hukumnya wajib jika sudah niat akan puasa nazar. Jika puasa nazar tidak dapat dilakukan maka dapat diganti dengan memerdekakan budak / hamba sahaya atau memberi makan / pakaian pada sepuluh orang miskin. Puasa nazar biasanya dilakukan jika ada sebabnya yang telah diniatkan sebelum sebab itu terjadi. Nazar dilakukan jika mendapatkan suatu nikmat / keberhasilan atau terbebas dari musibah / malapetaka. Puasa nazar dilakukan sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas ni'mat dan rizki yang telah diberikan.
  1. Puasa Kifarat (Denda)
    Dalam syariat Islam  puasa kifarat hukumnya wajib bila :

    1. Puasa kifarat karena membunuh seorang muslim tanpa disengaja. Kesalahan tersebut mewajibkan pelaksanaan salah satu dari dua denda, yaitu diyat atau kifarat.
    Kifarat untuk itu ada dua macam yaitu:
  1. Memerdekan hamba beriman yang tidak ada cela pada dirinya yang menghambat kerja atau usaha
  2. Puasa 2 (dua) bulan berturut-turut.

    2. Puasa kifarat karena seorang melakukan hubungan suami istri selama puasa ,maka :
  1. Wajib membayar kifarat, ialah memerdekakan seorang hamba atau jika ia tidak mampu,
  2. Berpuasa 2 bulan berturut-turut. Jika ia tidak kuat berpuasa, maka ia terkena hokum wajib member makanan untuk orang-orang miskin sebanyak 60 orang masing-masing 1 mud.
B.   PUASA SUNAH
1.   Puasa 6 hari dibulan Syawal
Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup’.” [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]
i radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).
Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi shallallahu 'alaihi wasalllam bersabda:
"Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.")
Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal menyamai pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap hasanah (tebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Tsauban di muka.
Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya :
1. Puasa enam hari di buian Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.
3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: "Pahala'amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.


Dalil-dalil tentang Puasa Syawal
Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup’.” [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]Hukum Puasa Syawal

Hukumnya adalah sunnah: “Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.”


[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389]

Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.

“Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah.”

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.” [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: ‘Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]

2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan

“Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.”

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun.”

Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)

Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.
4. Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.
Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali "(An-Nahl: 92)
5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.
Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.
Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi benci.
Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar:
"Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."
Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.

2. Berpuasa Tiga Hari Setiap Bulan Syaaban dan Kelebihannya

REJAB sudah meninggalkan kita dengan seribu satu kelebihan. Berbahagialah mereka yang mengambil sepenuh kesempatan dari fadhilatnya. Jika diizinkan Allah kita akan berkesempatan  bersama Rejab pada tahun hadapan.
Kini muncul pula bulan SYAABAN. Bulan yang berada di tengah-tengah antara Rejab dan Ramadan. Bulan yang juga penuh dengan fadhilat dan keberkatannya.
Hukamak berpendapat, bulan Rejab adalah bulan kesempatan untuk kita meminta ampun dari segala dosa, bulan Syaaban pula adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dari segala macam cela manakala Ramadan pulan bulan untuk mengubat hati dan jiwa.
Syaaban bererti berpecah atau bercerai-berai. Ini kerana mengambil sempena peristiwa orang-orang Arab pada bulan tersebut berkeliaran ke merata tempat untuk mencari air. Ada pula berpendapat, Syaaban bermaksud pemisah iaitu pemisahan antara bulan Rejab dan Ramadan.
Rasulullah saw telah bersabda yang bermaksud:
“Tahukah kamu sekelian, mengapa dinamakan bulan Syaaban? Maka umatnya menjawab: Hanya Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.”
Baginda meneruskan sabdanya: “Kerana di dalam bulan itu berkembanglah kebaikan yang banyak sekali.” (Dipetik dari kitab Raudatul Ulama).
KEUTAMAAN SYAABAN:
Allah swt mengangkat darjat orang yang menghidupkan bulan ini dengan amalan ibadat. Allah juga banyak mengurniakan  rahmat kepada hambaNya. Rasullah bersabda yang bermaksud: “Allah mengangkat amalan-amalan semua hambaNya pada bulan ini.”                                                                                                             
Orang yang membesarkan bulan ini dengan beribadat, akan terpelihara dari maksiat. Taubatnya diterima juga terselamat dari mara bencana pada tahun berkenaan. Sabda Rasulullah saw lagi yang bermaksud: “Barang siapa yang membesarkan Syaaban dan bertakwa kepada Allah swt  serta taat dan juga menahan diri daripada maksiat, Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan menyelamatkannya daripada segala bencana yang berlaku pada tahun itu, juga daripada sakit-sakit.”
Kasih dan ketaatan orang yang beribadat pada tahun itu terhadap Allah akan kekal. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud: “Barangsiapa yang menghidupkan malam dua hariraya dan malam pertengahan bulan Syaaban, maka hatinya tidak mati biarpun semua hati mati ketika itu.”
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim daripada Saidatina Aisyah Radhiallahuanha, dia telah berkata yang bermaksud: “Adalah Rasulullah saw sering berpuasa hingga kami menyangka bahawa Baginda berpuasa berterusan dan Baginda sering berbuka sehingga kami menyangka bahawa Rasulullah akan berbuka seterusnya. Aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadan dan aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sunat dalam sebulan yang lebih banyak  dari puasanya di bulan Syaaban.”
Nabi saw pernah bersabda yang bermaksud: “ Keutamaan bulan Syaaban ke atas bulan-bulan yang lain adalah seperti keutamaan aku di atas semua nabi-nabi yang lain, sedangkan keutamaan bulan Ramadan ke atas semua bulan yang lain adalah seperti keutamaan Allah Taala ke atas makhlukNya.”
APAKAH AMALAN YANG WAJAR DILAKUKAN DI BULAN SYAABAN?
  1. Memperbanyakkan puasa sunat:
           i. Dalam Kitab Durratun Nasihin dinyatakan bahawa Rasulullah saw bersabda   bermaksud: “ Sesiapa yang berpuasa tiga hari pada permulaan Syaaban, tiga hari pertengahannya dan tiga  hari pada akhir Syaaban, maka Allah swt mencatat untuknya pahala seperti pahala tujuh puluh nabi dan seperti beribadat tujuh puluh tahun dan apabila dia mati pada tahun itu maka matinya seperti orang mati syahid.”
 ii. Jika berpuasa sehari dalam bulan Syaaban akan diharamkan tubuhnya dari api neraka. Dia akan menjadi taulan nabi Yusof di dalam syurga. Diberi pahala seperti pahala nabi Ayub dan Nabi Daud.
 iii  Jika berpuasa sebulan  pada bulan Syaaban, dipermudahkan Allah kepadanya Sakaratulmaut dan ditolaknya (terlepas) daripada kegelapan dalam kubur, dilepaskan daripada huru-hara Mungkar dan Nangkir, ditutup keaibannya di akhirat nanti dan diwajibkan syurga baginya.
 iv. Sesiapa yang berpuasa pada awal Khamis di bulan Syaaban dan akhir Khamis (juga dalam Syaaban) dimasukkannya dalam syurga .(Hadis Rasulullah yang dipetik dari kitab al-Barokah.)
v. Rasulullah saw turut bersabda yang bermaksud: “ Dinamakan Syaaban kerana padanya terdapat kebajikan yang amat banyak dan puasa yang lebih afdal sesudah Ramadan ialah puasa bulan Syaaban.” 
  1. Perbanyakkan doa, zikir dan berselawat kepada Rasulullah saw:
      Sabda Nabi saw yang bermaksud: “Barang siapa yang mengagungkan bulan Syaaban, bertakwa kepada Allah, taat kepadaNya serta menahan diri dari perbuatan maksiat, maka Allah swt akan mengampuni segala dosanya dan menyelamatkannya pada tahun tersebut dari segala macam bencana dan penyakit.” (Dipetik dari kitab Zubdatul Wa’izhin)  
  1. Bertaubat:
Bulan Syaaban merupakan bulan untuk kita memperbanyakkan taubat kepada Allah swt.
MALAM NISFU SYAABAN:
 Malam 15 Syaaban lebih dikenali  sebagai malam  Nisfu Syaaban.
 Pada malam ini umat Islam sangat-sangat disarankan untuk memanfaatkannya kerana  malam ini penuh dengan rahmat dan doa sangat mustajab.
 Justeru umat Islam disaran untuk menghidupkan malam ini dengan membaca surah Yassin sebanyak tiga kali selepas solat maghrib.
  1. Puasa assyura
    1. Allah berfirman : 
      (( يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون ))
      Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Hasyr: 18).

      Ayat ini memperingatkan kita untuk mengevaluasi perbuatan yang telah kita lakukan pada masa lalu agar meningkat di masa datang yang pada akhirnya menjadi bekal kita pada hari kiamat kelak. 
      Rasulullah saw bersabda : "Orang yang cerdas adalah orang yang menghitung-hitung amal baik (dan selalu merasa kurang) dan beramal shaleh sebagai persiapan menghadapi kematian". 
      Dalam sebuah atsar yang cukup mashur dari Umar bin Khaththab ra beliau berkata : 
      "Hitunglah amal kalian, sebelum dihitung oleh Allah" 
      3. Mengenang Hijrah Rasulullah saw
      Sebenarnya dalam kitab Tarikh Ibnu Hisyam dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah adalah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan Rabiul Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan penetapan Bulan Muharram sebagai awal bulan dalam kalender Hijriyah adalah hasil musyawarah pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra tatkala mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada yang mengusulkan Rabiul Awal sebagai l bulan ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan Muharram, dengan pertimbangan pada bulan ini telah bulat keputusan Rasulullah saw untuk hijrah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah, dimana terjadi bai’at 75 orang Madinah yang siap membela dan melindungi Rasulullah SAW, apabila beliau datang ke Madinah. Dengan adanya bai'at ini Rasulullah pun melakukan persiapan untuk hijrah, dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski ancaman maut dari orang-orang Qurais senantiasa mengintai beliau. 
      Peristiwa hijrah ini seyogyanya kita ambil sebagai sebuah pelajaran berharga dalam kehidupan kita. Betapapun berat menegakkan agama Allah, tetapi seorang muslim tidak layak untuk mengundurkan diri untuk berperan didalamnya. Rasulullah SAW, akan keluar dari rumah sudah ditunggu orang-orang yang ingin membunuhnya. Begitu selesai melewati mereka, dan harus bersembunyi dahulu di sebuah goa,masih juga dikejar, namun mereka tidak berhasil dan beliau dapat meneruskan perjalanan. Namun pengejaran tetap dilakukan, tetapi Allah menyelamatkan beliau yang ditemani Abu Bakar hingga sampai di Madinah dengan selamat. Allah menolong hamba yang menolong agamaNya. Perjalanan dari Mekah ke Madinah yang melewati padang pasir nan tandus dan gersang beliau lakukan demi sebuah perjuangan yang menuntut sebuah pengorbanan. Namun dibalik kesulitan ada kemudahan. Begitu tiba di Madianah, dimulailah babak baru perjuangan Islam. Perjuangan demi perjuangan beliau lakukan. Menyampaikan wahyu Allah, mendidik manusia agar menjadi masyarakat yang beradab dan terkadang harus menghadapi musuh yang tidak ingin hadirnya agama baru. Tak jarang beliau turut serta ke medan perang untuk menyabung nyawa demi tegaknya agama Allah, hingga Islam tegak sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk dunia saat itu. Lalu sudahkah kita berbuat untuk agama kita? 

      4. Kalender Hijriyah adalah Kalender Ibadah kita
      Barangkali kita tidak memperhatikan bahwa ibadah yang kita lakukan seringkali berkait erat dengan penanggalan Hijriyah. Akan tetapi hari yang istimewa bagi kebanyakan dari kita bukan hari Jum’at, melainkan hari Minggu. Karena kalender yang kita pakai adalah Kalender Masehi. Dan sekedar mengingatkan, hari Minggu adalah hari ibadah orang-orang Nasrani. Sementara Rasulullah saw menyatakan bahwa hari jum’at adalah sayyidul ayyam (hari yang utama diantara hari yang lain). Demikian pula penetapan hari raya kita, baik Idul Adha maupun Idul Fitri pun mengacu pada hitungan kalender Hijriyah. Wukuf di Arafah yang merupakan satu rukun dalam ibadah haji, waktunya pun berpijak pada kalender hijriah. Begitu pula awal Puasa Ramadhan, puasa ayyamul Bidh ( tanggal 13,14,15 tiap bulan) dan sebagainya mengacu pada Penanggalan Hijriah. Untuk itu seyogyanya bagi setiap muslim untuk menambah perhatiannya pada Kalender Islam ini. 

      5. Beberapa Keutamaan dan Peristiwa di Bulan Muharram
      a. Bulan Haram
      Muharram, yang merupakan bulan pertama dalam Kalender Hijriyah, termasuk diantara bulan-bulan yang dimuliakan (al Asy- hurul Hurum). Sebagaimana firman Allah Ta’ala : 
      "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram." (Q.S. at Taubah :36).
      Dalam hadis yang dari shahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda : 
      “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaiman bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
      Pada keempat bulan ini Allah melarang kaum muslimin untuk berperang. Dalam penafsiran lain adalah larangan untuk berbuat maksiat dan dosa. Namun bukan berarti berbuat maksiat dan dosa boleh dilakukan pada bulan-bulan yang lain. 
      Sebagaimana ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita menjaga Shalat Wustha, yang banyak ahli Tafsir memahami shalat wustha adalah Shalat Ashar. Dalam hal ini, shalat Ashar mendapat perhatian khusus untuk kita jaga. 
      Firman Allah : "Peliharalah segala shalat mu, dan peliharalah shalat wustha" (Q.S. al Baqarah :238) Nama Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Maka kembali pada permasalahan yang telah dibahas sebelumnya, hal tersebut bermakna pengharaman perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah memiliki tekanan khusus untuk dihindari pada bulan ini. 

      b. Bulan Allah 
      Bulan Muharram merupakan suatu bulan yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah) sebagaimana yang disampaikan Rasulullah SAW, dalam sebuah hadis. Hal ini bermakna bulan ini memiliki keutamaan khusus karena disandingkan dengan lafdzul Jalalah (lafadz Allah). Para Ulama menyatakan bahwa penyandingan sesuatu pada yang lafdzul Jalalah memiliki makna tasyrif (pemuliaan), sebagaimana istilah baitullah, Rasulullah, Syaifullah dan sebagainya. 
      Rasulullah bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bula Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (H.R. Muslim) 
      c. Sunnah Berpuasa 
      Di bulan Muharram ini terdapat sebuah hari yang dikenal dengan istilah Yaumul 'Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan ini. Asyuro berasal dari kata Asyarah yang berarti sepuluh. 
      Pada hari Asyuro ini, terdapat sebuah sunah yang diajarkan Rasulullah saw. kepada umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro. Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah puasa tersebut, diantaranya : 

      1.Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra, Rasulullah saw, bersabda : 
      “ Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
      2. Ibnu Abbas ra berkata : 
      "Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
      3. Ibnu Abbas ra berkata : 
      Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari‚ Asyura, maka Beliau bertanya : "Hari apa ini?. Mereka menjawab :“ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah pun bersabda : 
      "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“ 
      Maka beliau nerpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. (H.R. Bukhari dan Muslim) 
      4.Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas ra berkata : 
      Ketika Rasulullah saw. berpuasa pada hari asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) berkata : "Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah pun bersabda :"Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“ (H.R. Bukhari dan Muslim) 
      Imam Ahmad dalam musnadnya dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw. bersabda : "Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“
      Selain hadis-hadis yang menyebutkan tentang puasa di bulan ini, tidak ada ibadah khusus yang dianjurkan Rasulullah   untuk dikerjakan di bulan Muharram ini. 

      Bagaimana Berpuasa di bulan Asyuro :
      Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad –berdasarkan riwayat-riwayat yang ada- menjelaskan : 
      - Urutan pertama, dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11) 
      - Urutan kedua, puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits 
      - Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
3. Berpuasa Selang-seling (Seperti Puasa Daud)
4.Puasa tanggal 9 Dzulhijjah (Arofah) bagi selain orang yang melaksanakan Haji
Dari Abu Qatadah Al-Anshari r.a. katanya Rasulullah

s.a.w. ditanya orang tentang puasa hari arafah (9
Zulhijjah). Jawab baginda, "Semoga dapat
menghapus dosa tahun yang lalu dan yang akan datang".
Kemudian Nabi ditanya pula tentang puasa hari asyura
(10 Muharram). Jawab baginda, "semoga dapat
menghapus dosa tahun yang lalu". (Sahih Muslim)

5.Berpuasa pada hari senin dan kamis
Amal perbuatan seorang hamba akan diaudit (diperiksa) setiap hari Senin dan Kamis.

Karena itu, alangkah mulianya seorang hamba jika ketika datang hari audit keadaannya tengah berpuasa. (HR. Tirmidzi)
Popularitas puasa senin kamis nyaris tak perlu dipertanyakan lagi.Inilah sunnah nabi yg memungkinkan umatnya mendapat manfaat puasa setiap minggu.Amalan ini mmg sangat baik.Beberapa hadist nabi menjelaskan keutamannya.Abu Hurairah ra dg riwayat Ahmad menyebut bahwa nabi SAW paling sering berpuasa senin kamis.Ketika hal itu ditanyakan sahabat beliau menjawab,''Seluruh amal dibentangkan pada hari senin dan kamis.Ketika itulah Alloh mengampunisetiap muslim atau mukmin kecuali yg melakukan dosa secara terang2an.Alloh berkata ,''tundalah untuknya''.Dengan radaksi yang mirip.sebuah hadist daari AISYAH ra. dan USAMAH menyebutkan bahwa kesungguhan Nabi melaksanakan puasa senin-kamis dikatakan beliau kaarena pada dua hari itulaah amal manusia dilaporkan kepada ALLOH ROBBUL 'ALAMIN.''Dan aku suka pada saat amalku dilaporkan aku sdg dalam keadaan berpuasa.''Ggaransi spiritual puasa senin kamis jg dpt dikaitkan dg garannnsi yg diberikan kepada amalan lain.Sebagaimana Masyur diketahui ,,lewat hadist shohih,pada hari kiamat kelak ,orang yang berpuasa akan masuk syurga melalui pintu kusus yakni Rayyan.puasa jg menjadi benteng yang tangguh untuk melindungi seseorang dari panasnya nerakayg membara,demikian hadist riwayat Bukhari dan Muslim.Tak hanya  itu,puasa jg dapat menyucikan jiwa seseorang yang menjalankannya.Hadist riwayat Ibnu Majah menyebut,''Segala sesuatu ada zakat pencucinya,sedangkan zakat jiwa itu adalah dengan berpuasa.dan puasa itu separuh kesabaran.

G. Waktu haram puasa

Waktu haram puasa adalah waktu di mana umat Islam dilarang berpuasa. Hikmahnya adalah ketika semua orang bergembira, seseorang itu perlu turut bersama merayakannya.
  • Berpuasa pada Hari Raya Idul Fitri ( 1 Syawal )
  • Berpuasa pada Hari Raya Idul Adha ( 10 Zulhijjah )
  • Berpuasa pada hari-hari Tasyrik ( 11, 12, dan 13 Zulhijjah )

Puasa Hari Tasyrik

عَنْ أَبِي مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَلَى أَبِيهِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، فَقَرَّبَ إِلَيْهِمَا طَعَامًا ، فَقَالَ : كُلْ . قَالَ : إِنِّي صَائِمٌ . قَالَ عَمْرٌو : كُلْ ، فَهَذِهِ الأَيَّامُ الَّتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِفِطْرِهَا ، وَيَنْهَى عَنْ صِيَامِهَا . قَالَ مَالِكٌ : وَهِيَ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . صححه الألباني في صحيح أبي داود .
Dari Abi Murrah Maula (bekas budak) Umi Hani, Bahwa ia bersama Abdullah bin Amr datang kepada ayahnya Amru bin Ash, Maka disuguhkanlah kepada mereka berdua makanan. Ia (Amr bin Ash), “Makanlah”. Ia (Abdullah bin Amr) menjawab, “Aku sedang puasa”. Maka Amr bin Ash berkata, “Makanlah, karena hari ini adalah hari dimana Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk berbuka (makan) dan melarang dari berpuasa pada hari ini”. Malik berkata, “(yang dimaksud) Itulah hari-hari tasyriq”
(Dishohihkan Oleh Syeikh al-Albany dalam Shohih Sunnan Abi Daud)
اليوم الحادي عشر من ذي الحجة والثاني عشر والثالث عشر ، تسمى أيام التشريق
Hari 11, 12 dan 13 Dzulhijjah adalah Hari Tasyrik
Selain hari-hari tersebut, ada pula waktu dimana umat Islam dianjurkan untuk tidak berpuasa, yaitu ketika ada kerabat atau teman yang sedang mengadakan pesta syukuran atau pernikahan. Hukum berpuasa pada hari ini bukan haram, melainkan makruh, karena Allah tidak menyukai jika seseorang hanya memikirkan kehidupan akhirat saja sementara kehidupan sosialnya (menjaga hubungan dengan kerabat atau masyarakat) ditinggalkan.

H. Perbuatan-perbuatan yang Disunnatkan dalam Berpuasa
1.   Makan sahur sesudah tengah malam
2.   Mengakhiri waktu makan sahur
3.   Menyegerakan berbuka pada waktunya
4.   Memberbanyak ibadah
5.   Berbuka dengan kurma atau sesuatu yang manis
6.   Mengakhiri makan sahur sampai beberapa menit sebelum imsak
7.   Memberi makan untuk orang-orang yang akan berbuka puasa
I. Hikmah-hikmah Puasa :
    1. Sarana yang disediakan oleh Allah SWT untuk mencapai “Taqwa”.
    2. Puasa merupakan sarana pendidikan dan latihan
    3. Menumbuhkan jiwa social atau kesadaran bermasyarakat
    4. Menyehatkan tubuh
    5. Puasa  membuat awet muda atau menunda proses penunaan.
    6. Puasa adalah cara terbaik untuk menjaga keselarasan dan keindahan fisik.

J. Permasalahan Qodho’ Puasa Ramadhan


Yang dimaksud dengan qodho’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya. Untuk kasus orang sakit misalnya. Di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho’.
Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho’ Puasa
Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho’ puasanya setelah lepas dari udzur, yaitu:
Pertama, orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa.
Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan.
Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas.


Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah, beliau mengatakan,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”[3]
Catatan: Adapun untuk wanita hamil dan menyusui apakah mesti ada qodho’ puasa, maka ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini. Ada ulama yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui mesti mengqodho’ puasanya ditambah dengan mengeluarkan fidyah. Ada pula yang mengatakan cukup mengqodho’ puasa saja tanpa fidyah. Yang lain lagi mengatakan cukup mengeluarkan fidyah saja. Intinya, pembahasan mengenai puasa bagi wanita hamil dan menyusui butuh penjabaran tersendiri. Sedangkan yang penulis pilih –wal ‘ilmu ‘indallah- adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq dan ulama belakangan seperti Syaikh Al Albani yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang khawatir pada diri atau anaknya ketika berpuasa, cukup baginya mengeluarkan fidyah tanpa harus mengqodho’. Alasannya, pendapat ini adalah perkataan Ibnu ‘Abbas ketika menjelaskan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Sehingga perkataan ini dinilai marfu’ (sabda Nabi) sebagaimana telah dikenal dalam ilmu ushul. Namun, kami tetap menghargai pendapat ulama lainnya dalam permasalahan ini dan mudah-mudahan kita bisa lapang dada dengan perselisihan yang ada.
K. Dosa Besar Karena Sengaja Tidak Berpuasa Ramadhan
Di bulan Ramadhan, di antara kaum muslimin malah ada yang enak-enakan tidak berpuasa. Bukan karena alasan sakit atau bersafar, namun mereka tidak berpuasa karena malas-malasan. Mereka tidak berpuasa tanpa ada udzur (alasan) sama sekali.
Perlu diketahui bersama bahwa meninggalkan puasa Ramadhan semacam ini termasuk dosa besar dan akan mendapatkan siksa sebagaimana diceritakan dalam riwayat berikut.
Abu Umamah Al Bahili menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita, “Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, “Naiklah.” Lalu kukatakan, “Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata, “Kami akan menolongmu.” Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung dan tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu  aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”
Kemudian aku dibawa berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, “Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”[4]
Perlu diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadhan termasuk dosa yang amat berbahaya karena puasa Ramadhan adalah puasa wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Para ulama pun mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun Islam lebih besar dari dosa besar lainnya[5]. Adz Dzahabi sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan, bukan karena sakit (atau udzur lainnya), maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, lebih jelek dari dosa menegak minuman keras, bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang-orang munafik dan sempalan.”
Mayoritas ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho’ puasa.[7]
Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin  Sholih Al Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya”.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas:
أن العبادة المؤقتة بوقت إذا أخرجها الإنسان عن وقتها بلا عذر فإنها لا تنفع ولا تجزيء
“Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”
Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh:

Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku  wajib mengqodho’ (mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak wajib mengganti (mengqodho’) shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima.
Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen),  lalu dia bertanya pada kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami pun akan menjawab, “Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[8]
Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada manfaat sama sekali.”
Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas dengan mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’, artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.”
Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan, “Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika dia ingat.”
Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya tidak diterima.”[9]
Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya? Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”[10]
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “Pendapat yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”[11]
Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash (bukan riya’), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Semoga Allah memberi taufik.
Catatan:

Adapun perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dan dikatakan sebagai hadits marfu’ (sabda Nabi),
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ ، وَإِنْ صَامَهُ
“Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur (alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang mampu melakukannya.”
Juga ada perkataan yang serupa dari Ibnu Mas’ud, maka hadits-hadits tersebut adalah hadits yang dho’if sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) menurut mayoritas ulama. Walaupun hadits tersebut dho’if,  namun kita dapat melihat permasalahan orang yang tidak puasa tanpa udzur pada kaedah ushul. Kaedah tersebut adalah: Sesungguhnya seseorang jika ibadahnya itu batal, maka dia memiliki keharusan untuk mengqodho’nya. Sebagaimana seseorang yang shalat kemudian shalatnya tersebut batal karena sebab hadats, tertawa, makan, dan minum; maka dia juga memiliki keharusan untuk mengqodho’ shalatnya. Begitu pula dengan puasa, jika puasanya tersebut batal, maka dia memiliki kewajiban untuk mengqodho’ puasanya.
Hal ini berbeda dengan seseorang yang tidak puasa atau tidak shalat sama sekali. Menurut mayoritas ulama, mereka mengatakan, “Orang yang tidak shalat atau tidak puasa diharuskan mengqodho’ puasa atau shalat yang sengaja ia tinggalkan.” Namun yang lebih tepat, orang yang meninggalkan shalat atau puasa dengan sengaja tidak ada qodho’ baginya. Dia tidak perlu dikasihani dan tidak mendapat keringanan. Puasa yang ingin dia lakukan setelah keluar waktunya tidaklah bermanfaat. Hal itu tidak akan melepaskan dia dari beban kewajiban. Dia tidak diharuskan melakukan sesuatu karena itu tidak bermanfaat baginya.”[12]
Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda
Qodho’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qodho’ puasanya  sampai bulan Sya’ban.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[13]
Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”[14]
Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Qs. Al Mu’minun: 61)
Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya
Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ketika Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya kewajiban qodho’ setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya’ban, dia sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum kunjung dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho’ puasa saja ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’ puasanya.”[15]
Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho’ puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban: [1] Bertaubat kepada Allah, [2] mengqodho’ puasa, dan [3] wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin sebesar setengah sho’ (1,5 kg), bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit), sehingga dia menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja. Hanya Allah yang memberi taufik.
Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa
Apabila kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama beberapa hari, maka untuk menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal kita punya qodho’ puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan qodho’ dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah,
 “Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak berurutan.”[16]
Barangsiapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa
Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama berselisih sampai tiga pendapat.
Pendapat pertama: Tidak dipuasakan oleh ahli warisnya, baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Inilah pendapat Abu Hanifah dan murid-muridnya, pendapat Imam Malik, dan  pendapat yang nampak pada madzhab Syafi’i. Di antara dalil mereka adalah firman Allah,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Qs. An Najm: 39). Jadi amalan puasa orang lain tidak bermanfaat bagi orang yang sudah mati.
Dalil yang lainnya adalah hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[17]
Pendapat kedua: Dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat para pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.”[18] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris [19].
Juga hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّصلى الله عليه وسلمفَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْقَالَفَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »
“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.”[20]
Hadits ‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar.
Pendapat ketiga: Dipuasakan khusus untuk puasa nadzar saja, tidak untuk qodho’ puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad, Ishaq, Abu ‘Ubaid dan Al Laits.
Pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua yaitu bagi orang yang meninggal dunia dan masih memiliki utang puasa (baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan), maka ahli warisnya nanti yang akan membayar qodho’ puasanya.
Alasan pendapat kedua lebih kuat adalah:
1. Surat An Najm ayat 39 memiliki pengecualian yaitu ada beberapa amalan yang dilakukan oleh orang lain dan bemanfaat untuk orang yang sudah mati di antaranya adalah amalan puasa.
2. Untuk hadits Abu Hurairah bahwa amalan manusia itu terputus kecuali dari tiga perkara, maksud hadits ini adalah terputusnya amalan mayit dan bukan yang dimaksudkan adalah terputusnya amalan orang lain untuk si mayit.
3. Puasa yang boleh diqodho’ oleh ahli waris si mayit bukanlah hanya puasa nadzar saja, namun berlaku pula untuk puasa Ramadhan. Alasannya, hadits ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas tidaklah saling bertentangan. Hadits ‘Aisyah memang bersifat umum yaitu membicarakan puasa secara umum. Sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadits ‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Abbas karena di dalamnya tidak ada pertentangan. Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh, takhsis (pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan antara dalil yang ada. Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil.
Ibnu Hajar mengatakan,
فَحَدِيث اِبْن عَبَّاس صُورَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ سَأَلَ عَنْهَا مَنْ وَقَعَتْ لَهُ ، وَأَمَّا حَدِيث عَائِشَة فَهُوَ تَقْرِيرُ قَاعِدَةٍ عَامَّةٍ
“Hadits Ibnu ‘Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan hadits ‘Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa nadzar. Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.”[21]
Kesimpulan: Bagi orang yang mati dalam keadaan masih memiliki utang puasa, dia tidak terlepas dari tiga kemungkinan:
1. Orang yang mati tersebut masih memiliki udzur hingga dia meninggal dunia dan dia tidak mampu membayar qodho’ puasa, untuk orang semacam ini tidak perlu dibayar qodho’ puasanya.
2. Orang yang mati tersebut ketika dia hidup sebenarnya masih memiliki kesempatan untuk membayar qodho’ puasa, namun dia tidak menunaikannya sampai dia mati, maka untuk orang semacam ini hendaknya dipuasakan oleh ahli warisnya.
3. Orang yang mati tersebut memiliki utang nadzar namun belum ditunaikan, maka untuk orang semacam ini hendaknya dipuasakan oleh ahli warisnya.
Boleh juga beberapa hari utang puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi.[22]
Demikian pembahasan kami mengenai qodho’ Ramadhan. Semoga Allah selalu memberikan kita kepahaman dalam mempelajari agama ini. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu wa sallamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in
FIDIYAH

Wanita  yang berada dalam kondisi hamil dan menyusui memang boleh untuk tidak berpuasa. Hanya saja apakah gantinya cukup membayar fidyah atau menggantinya di hari yang lain? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di antara para ulama dengan melihat kepada kondisi wanita hamil tersebut. 


1. Apabila wanita hamil tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi dirinya menurut sebagian besar ulama fiqih, puasanya wajib diqadha pada hari yang lain. Kondisinya disamakan dengan orang yang sedang sakit. Allah befirman, “Siapa yang sakit atau sedang melakukan perjalanan jauh, ia dapat menunaikan pada hari-hari lain.” (al-Baqarah: 185). 

2. Apabila ia tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi janinnya, maka menurut Ibn Abbâs dan yang lain, ia hanya wajib membayar fidyah, tanpa harus membayar puasanya di hari lain. Sebuah hadis yang berasal dari Ibn Abbâs menegaskan bahwa wanita yang sedang hamil atau menyusui tercakup dalam makna firman Allah, 

Orang-orang yang berat menunaikan puasa, maka ia wajib membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin.” (al-Baqarah: 184). 

3. Apabila ia tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi dirinya dan anaknya, maka menurut Imam Ahmad dan al-Syafi’I, ia wajib membayarnya di hari lain, tanpa perlu memberikan fidyah. 

Hanya saja, menurut Syeikh Yusuf al-Qardawi, wanita yang amat subur yang seringkali hamil dan menyusui nyaris tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha puasa yang ditinggalkan dan hal itu amat memberatkan. Karenanya, menurutnya cukup bagi wanita tersebut untuk memberikan fidyah saja.




Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.    Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam. B.      Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1.       Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80? 2.       Bagaimana tafsir, kajian eko