PUASA
A Pengertian Puasa
Pengertian
As-Shaum (puasa) menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan
menurut istilah agama (syara’) adalah menahan diri dari segala sesuatu yang
membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan
niat dan syarat-syarat tertentu.
Allah
SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang
bertaqwa”. (Al-Baqarah:183)
Hadits
عن أنس بن مالك قال:قال رسول الله e
:"اِفْتَرَضَ اللهُ عَلَى أُمَّتِي الصَّوْمَ ثَلاَثِيْنَ يَوْماً وافْتَرَضَ
عَلَى سَائِرِ الأُمَمِ أَقَلَّ وَأَكْثَرَ وَذلِكَ لأَنَّ آدَمَ لَمَّا أَكَلَ مِنَ
الشَّجْرَةِ بَقِيَ فِيْ جَوْفِهِ مِقْدَارَ ثَلاَثِيْنَ يَوْماً فَلَمَّا تَابَ اللهُ
عَلَيْهِ أَمَرَهُ بِصِيَامِ ثَلاَثِيْنَ يَوْماً بِلَيَالِيْهِنَّ ، وَافْتَرَضَ عليَّ
وَعَلَى أُمَّتِيْ بِالنَّهَارِ وَمَا نَأْكُلُ بِاللَّيْلِ فَفَضْلُ مِنَ اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ". (حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ )
Dari Anas bin Malik berkata :
Rosulullah Shollallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : Allah mewajibkan puasa atas
umatku selama tiga puluh hari dan meewajibkan atas umat-umat yang lain lebih
sedikit atau lebih banyak. Hal tersebut disebabkan karena ketika Adam memakan
bagian dari pohon (syajroh) di dalam perutnya selama tiga puluh hari. Maka
ketika Allah menerima taubatnya Allah memerintahkannya utk berpuasa selama tiga
puluhhari termasuk pada malam harinya. Dan diwajibkan atasku dan umatku (utk
berpuasa) pada siangnya saja dan kita makan dimalam harinya sebagai keutamaan
dari Allah Azza wa Jalla.
Derajat
Hadits : Dho’if (lemah)
-
Di
keluarkan oleh Al Khothib dalam “Tarikh Baghdad” no: 6991
-
Ibnu
Al Jauzy daam “Al Maudhu’at” no. 101
B.
Syarat-syarat Wajib Puasa
- Berakal sehat
- Baligh (sudah cukup umur)
- Mampu melaksanakannya
C. Syarat sah
puasa :
- Islam (tidak murtad)
- Mummayiz (dapat membedakan yang
baik dan yang buruk)
- Suci dari haid dan nifas
- Mengetahui waktu diterimanya
puasa
D. Rukun
puasa :
- Niat
- Meninggalkan segala hal yang
membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari
E.
Hal-hal yang dapat Membatalkan Puasa
- Makan atau minum dengan
sengaja
- Berhubungan suami istri
- Keluar mani dengan sengaja
- Muntah dengan sengaja
- Hilang akal
- Keluar haid atau nifas
Hadits
وَعَن أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : " مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ
غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلاَ مَرَضٍ لمَ ْيَقْضِ عَنْهُ صَوْمَ الدَّهْرِ كُلَّهُ وَإِنْ
صَامَهُ " (حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ )
Dari Abu hurairah Radliyallahu 'Anhu
barangsiapa yang berbuka (membatalkan puasanya) satu hari saja di bulan
Ramadhan tanpa sebab (syar’i) dan juga bukan karena sakit maka tidak dapat
digantikannya walaupun dengan puasa selama satu tahun penuh.
F.
Macam-macam Puasa
A. PUASA
WAJIB
1.Puasa Ramadhan
Allah
ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa,
sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 183).
Ibnu
Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun
Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia) di dalam agama Islam. Hukumnya adalah
wajib berdasarkan ijma’/kesepakatan kaum muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah
menunjukkan demikian.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380).
- Puasa
Nazar
Untuk
puasa nazar hukumnya wajib jika sudah niat akan puasa nazar. Jika puasa nazar
tidak dapat dilakukan maka dapat diganti dengan memerdekakan budak / hamba
sahaya atau memberi makan / pakaian pada sepuluh orang miskin. Puasa nazar
biasanya dilakukan jika ada sebabnya yang telah diniatkan sebelum sebab itu
terjadi. Nazar dilakukan jika mendapatkan suatu nikmat / keberhasilan atau
terbebas dari musibah / malapetaka. Puasa nazar dilakukan sebagai tanda syukur
kepada Allah SWT atas ni'mat dan rizki yang telah diberikan.
- Puasa Kifarat (Denda)Dalam syariat Islam puasa kifarat hukumnya wajib bila :1. Puasa kifarat karena membunuh seorang muslim tanpa disengaja. Kesalahan tersebut mewajibkan pelaksanaan salah satu dari dua denda, yaitu diyat atau kifarat.Kifarat untuk itu ada dua macam yaitu:
- Memerdekan hamba beriman yang
tidak ada cela pada dirinya yang menghambat kerja atau usaha
- Puasa 2 (dua) bulan berturut-turut.2. Puasa kifarat karena seorang melakukan hubungan suami istri selama puasa ,maka :
- Wajib membayar kifarat, ialah
memerdekakan seorang hamba atau jika ia tidak mampu,
- Berpuasa 2 bulan
berturut-turut. Jika ia tidak kuat berpuasa, maka ia terkena hokum wajib
member makanan untuk orang-orang miskin sebanyak 60 orang masing-masing 1
mud.
B.
PUASA
SUNAH
1.
Puasa
6 hari dibulan Syawal
Dari
Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang berpuasa
Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur
hidup’.” [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]
i
radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa
berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di
bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR.
Muslim).
Imam
Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi shallallahu 'alaihi
wasalllam bersabda:
"Puasa
Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa
enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka
itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)
Dari
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa
berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia
bagaikan telah berpuasa selama setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri
berkata: "Salah satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.")
Pahala
puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal menyamai
pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap hasanah (tebaikan) diganjar
sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Tsauban di
muka.
Membiasakan
puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya :
1.
Puasa enam hari di buian Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan
penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
2.
Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai
penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan
fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah.
Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di
berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki
kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang
menutupi dan menyempurnakannya.
3.
Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan,
karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya
dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan:
"Pahala'amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh
karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan
kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.
Dalil-dalil
tentang Puasa Syawal
Dari
Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang berpuasa
Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur
hidup’.” [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi
1164]Hukum Puasa Syawal
Hukumnya
adalah sunnah:
“Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal
adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya.
Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan
beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak
tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap
ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa
dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa
digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka
menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389]
Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
“Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah
ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh
menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang
lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan
sunnah.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal.
Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan
pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda
pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih
berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat
mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.” [Al-Majmu'
Syarh Al-Muhadzdzab]
Bagaimanapun
juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: ‘Itulah mereka telah menyusul
aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS
Thoha: 84]
2. Tidak
boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan
“Jika
seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih
dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia
tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia
telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.”
[Fataawa
Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]
“Barangsiapa
berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana
mengerjakan puasa satu tahun.”
Jika
seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya
kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah
mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)
Demikian
pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan
yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.
4.
Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah
atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan
pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka
membiasakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat
ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.
Oleh
karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas
pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan
berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan
maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan
kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan
maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang
membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala
berfirman:
"Dan
janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah
dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali "(An-Nahl: 92)
5.
Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan
seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak
terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.
Orang
yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari
pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas
kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya
Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.
Barangsiapa
merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa,
padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri
merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan
berat apalagi benci.
Seorang
Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada
bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh
lagi, beliau berkomentar:
"Seburuk-buruk
kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan
saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di
sepanjang tahun."
Oleh
karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai
membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan
dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa
Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya
dengan enam hari di bulan Syawal.
2. Berpuasa Tiga Hari Setiap Bulan Syaaban
dan Kelebihannya
REJAB sudah
meninggalkan kita dengan seribu satu kelebihan. Berbahagialah mereka yang
mengambil sepenuh kesempatan dari fadhilatnya. Jika diizinkan Allah kita akan
berkesempatan bersama Rejab pada tahun hadapan.
Kini muncul
pula bulan SYAABAN. Bulan yang berada di tengah-tengah antara Rejab dan
Ramadan. Bulan yang juga penuh dengan fadhilat dan keberkatannya.
Hukamak
berpendapat, bulan Rejab adalah bulan kesempatan untuk kita meminta ampun dari
segala dosa, bulan Syaaban pula adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dari
segala macam cela manakala Ramadan pulan bulan untuk mengubat hati dan jiwa.
Syaaban
bererti berpecah atau bercerai-berai. Ini kerana mengambil sempena peristiwa
orang-orang Arab pada bulan tersebut berkeliaran ke merata tempat untuk mencari
air. Ada pula berpendapat, Syaaban bermaksud pemisah iaitu pemisahan antara
bulan Rejab dan Ramadan.
Rasulullah
saw telah bersabda yang bermaksud:
“Tahukah
kamu sekelian, mengapa dinamakan bulan Syaaban? Maka umatnya menjawab: Hanya
Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.”
Baginda
meneruskan sabdanya: “Kerana di dalam bulan itu berkembanglah kebaikan yang
banyak sekali.” (Dipetik dari kitab Raudatul Ulama).
KEUTAMAAN
SYAABAN:
Allah swt
mengangkat darjat orang yang menghidupkan bulan ini dengan amalan ibadat. Allah
juga banyak mengurniakan rahmat kepada hambaNya. Rasullah bersabda yang
bermaksud: “Allah mengangkat amalan-amalan semua hambaNya pada bulan
ini.”
Orang yang
membesarkan bulan ini dengan beribadat, akan terpelihara dari maksiat.
Taubatnya diterima juga terselamat dari mara bencana pada tahun berkenaan.
Sabda Rasulullah saw lagi yang bermaksud: “Barang siapa yang membesarkan
Syaaban dan bertakwa kepada Allah swt serta taat dan juga menahan diri
daripada maksiat, Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan menyelamatkannya
daripada segala bencana yang berlaku pada tahun itu, juga daripada
sakit-sakit.”
Kasih dan
ketaatan orang yang beribadat pada tahun itu terhadap Allah akan kekal. Sabda
Rasulullah saw yang bermaksud: “Barangsiapa yang menghidupkan malam dua
hariraya dan malam pertengahan bulan Syaaban, maka hatinya tidak mati biarpun
semua hati mati ketika itu.”
Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim daripada Saidatina Aisyah Radhiallahuanha, dia
telah berkata yang bermaksud: “Adalah Rasulullah saw sering berpuasa hingga
kami menyangka bahawa Baginda berpuasa berterusan dan Baginda sering berbuka
sehingga kami menyangka bahawa Rasulullah akan berbuka seterusnya. Aku tidak pernah
melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadan dan aku
tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sunat dalam sebulan yang lebih
banyak dari puasanya di bulan Syaaban.”
Nabi saw
pernah bersabda yang bermaksud: “ Keutamaan bulan Syaaban ke atas
bulan-bulan yang lain adalah seperti keutamaan aku di atas semua nabi-nabi yang
lain, sedangkan keutamaan bulan Ramadan ke atas semua bulan yang lain
adalah seperti keutamaan Allah Taala ke atas makhlukNya.”
APAKAH
AMALAN YANG WAJAR DILAKUKAN DI BULAN SYAABAN?
- Memperbanyakkan puasa sunat:
i. Dalam Kitab Durratun Nasihin dinyatakan bahawa Rasulullah saw
bersabda bermaksud: “ Sesiapa yang berpuasa tiga hari pada
permulaan Syaaban, tiga hari pertengahannya dan tiga hari pada akhir
Syaaban, maka Allah swt mencatat untuknya pahala seperti pahala tujuh puluh
nabi dan seperti beribadat tujuh puluh tahun dan apabila dia mati pada tahun
itu maka matinya seperti orang mati syahid.”
ii.
Jika berpuasa sehari dalam bulan Syaaban akan diharamkan tubuhnya dari api
neraka. Dia akan menjadi taulan nabi Yusof di dalam syurga. Diberi pahala
seperti pahala nabi Ayub dan Nabi Daud.
iii
Jika berpuasa sebulan pada bulan Syaaban, dipermudahkan Allah kepadanya
Sakaratulmaut dan ditolaknya (terlepas) daripada kegelapan dalam kubur,
dilepaskan daripada huru-hara Mungkar dan Nangkir, ditutup keaibannya di
akhirat nanti dan diwajibkan syurga baginya.
iv.
Sesiapa yang berpuasa pada awal Khamis di bulan Syaaban dan akhir Khamis (juga
dalam Syaaban) dimasukkannya dalam syurga .(Hadis Rasulullah yang dipetik dari
kitab al-Barokah.)
v.
Rasulullah saw turut bersabda yang bermaksud: “ Dinamakan Syaaban kerana
padanya terdapat kebajikan yang amat banyak dan puasa yang lebih afdal sesudah
Ramadan ialah puasa bulan Syaaban.”
- Perbanyakkan doa, zikir dan
berselawat kepada Rasulullah saw:
Sabda Nabi saw yang bermaksud: “Barang siapa yang mengagungkan bulan
Syaaban, bertakwa kepada Allah, taat kepadaNya serta menahan diri dari
perbuatan maksiat, maka Allah swt akan mengampuni segala dosanya dan
menyelamatkannya pada tahun tersebut dari segala macam bencana dan penyakit.”
(Dipetik dari kitab Zubdatul Wa’izhin)
- Bertaubat:
Bulan
Syaaban merupakan bulan untuk kita memperbanyakkan taubat kepada Allah swt.
MALAM
NISFU SYAABAN:
Malam
15 Syaaban lebih dikenali sebagai malam Nisfu Syaaban.
Pada
malam ini umat Islam sangat-sangat disarankan untuk memanfaatkannya
kerana malam ini penuh dengan rahmat dan doa sangat mustajab.
Justeru
umat Islam disaran untuk menghidupkan malam ini dengan membaca surah Yassin
sebanyak tiga kali selepas solat maghrib.
- Puasa assyura
- Allah berfirman :(( يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون ))Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Hasyr: 18).Ayat ini memperingatkan kita untuk mengevaluasi perbuatan yang telah kita lakukan pada masa lalu agar meningkat di masa datang yang pada akhirnya menjadi bekal kita pada hari kiamat kelak.Rasulullah saw bersabda : "Orang yang cerdas adalah orang yang menghitung-hitung amal baik (dan selalu merasa kurang) dan beramal shaleh sebagai persiapan menghadapi kematian".Dalam sebuah atsar yang cukup mashur dari Umar bin Khaththab ra beliau berkata :"Hitunglah amal kalian, sebelum dihitung oleh Allah"3. Mengenang Hijrah Rasulullah sawSebenarnya dalam kitab Tarikh Ibnu Hisyam dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah adalah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan Rabiul Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan penetapan Bulan Muharram sebagai awal bulan dalam kalender Hijriyah adalah hasil musyawarah pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra tatkala mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada yang mengusulkan Rabiul Awal sebagai l bulan ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan Muharram, dengan pertimbangan pada bulan ini telah bulat keputusan Rasulullah saw untuk hijrah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah, dimana terjadi bai’at 75 orang Madinah yang siap membela dan melindungi Rasulullah SAW, apabila beliau datang ke Madinah. Dengan adanya bai'at ini Rasulullah pun melakukan persiapan untuk hijrah, dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski ancaman maut dari orang-orang Qurais senantiasa mengintai beliau.Peristiwa hijrah ini seyogyanya kita ambil sebagai sebuah pelajaran berharga dalam kehidupan kita. Betapapun berat menegakkan agama Allah, tetapi seorang muslim tidak layak untuk mengundurkan diri untuk berperan didalamnya. Rasulullah SAW, akan keluar dari rumah sudah ditunggu orang-orang yang ingin membunuhnya. Begitu selesai melewati mereka, dan harus bersembunyi dahulu di sebuah goa,masih juga dikejar, namun mereka tidak berhasil dan beliau dapat meneruskan perjalanan. Namun pengejaran tetap dilakukan, tetapi Allah menyelamatkan beliau yang ditemani Abu Bakar hingga sampai di Madinah dengan selamat. Allah menolong hamba yang menolong agamaNya. Perjalanan dari Mekah ke Madinah yang melewati padang pasir nan tandus dan gersang beliau lakukan demi sebuah perjuangan yang menuntut sebuah pengorbanan. Namun dibalik kesulitan ada kemudahan. Begitu tiba di Madianah, dimulailah babak baru perjuangan Islam. Perjuangan demi perjuangan beliau lakukan. Menyampaikan wahyu Allah, mendidik manusia agar menjadi masyarakat yang beradab dan terkadang harus menghadapi musuh yang tidak ingin hadirnya agama baru. Tak jarang beliau turut serta ke medan perang untuk menyabung nyawa demi tegaknya agama Allah, hingga Islam tegak sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk dunia saat itu. Lalu sudahkah kita berbuat untuk agama kita?4. Kalender Hijriyah adalah Kalender Ibadah kitaBarangkali kita tidak memperhatikan bahwa ibadah yang kita lakukan seringkali berkait erat dengan penanggalan Hijriyah. Akan tetapi hari yang istimewa bagi kebanyakan dari kita bukan hari Jum’at, melainkan hari Minggu. Karena kalender yang kita pakai adalah Kalender Masehi. Dan sekedar mengingatkan, hari Minggu adalah hari ibadah orang-orang Nasrani. Sementara Rasulullah saw menyatakan bahwa hari jum’at adalah sayyidul ayyam (hari yang utama diantara hari yang lain). Demikian pula penetapan hari raya kita, baik Idul Adha maupun Idul Fitri pun mengacu pada hitungan kalender Hijriyah. Wukuf di Arafah yang merupakan satu rukun dalam ibadah haji, waktunya pun berpijak pada kalender hijriah. Begitu pula awal Puasa Ramadhan, puasa ayyamul Bidh ( tanggal 13,14,15 tiap bulan) dan sebagainya mengacu pada Penanggalan Hijriah. Untuk itu seyogyanya bagi setiap muslim untuk menambah perhatiannya pada Kalender Islam ini.5. Beberapa Keutamaan dan Peristiwa di Bulan Muharrama. Bulan HaramMuharram, yang merupakan bulan pertama dalam Kalender Hijriyah, termasuk diantara bulan-bulan yang dimuliakan (al Asy- hurul Hurum). Sebagaimana firman Allah Ta’ala :"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram." (Q.S. at Taubah :36).Dalam hadis yang dari shahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaiman bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)Pada keempat bulan ini Allah melarang kaum muslimin untuk berperang. Dalam penafsiran lain adalah larangan untuk berbuat maksiat dan dosa. Namun bukan berarti berbuat maksiat dan dosa boleh dilakukan pada bulan-bulan yang lain.Sebagaimana ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita menjaga Shalat Wustha, yang banyak ahli Tafsir memahami shalat wustha adalah Shalat Ashar. Dalam hal ini, shalat Ashar mendapat perhatian khusus untuk kita jaga.Firman Allah : "Peliharalah segala shalat mu, dan peliharalah shalat wustha" (Q.S. al Baqarah :238) Nama Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Maka kembali pada permasalahan yang telah dibahas sebelumnya, hal tersebut bermakna pengharaman perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah memiliki tekanan khusus untuk dihindari pada bulan ini.b. Bulan AllahBulan Muharram merupakan suatu bulan yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah) sebagaimana yang disampaikan Rasulullah SAW, dalam sebuah hadis. Hal ini bermakna bulan ini memiliki keutamaan khusus karena disandingkan dengan lafdzul Jalalah (lafadz Allah). Para Ulama menyatakan bahwa penyandingan sesuatu pada yang lafdzul Jalalah memiliki makna tasyrif (pemuliaan), sebagaimana istilah baitullah, Rasulullah, Syaifullah dan sebagainya.Rasulullah bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bula Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (H.R. Muslim)c. Sunnah BerpuasaDi bulan Muharram ini terdapat sebuah hari yang dikenal dengan istilah Yaumul 'Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan ini. Asyuro berasal dari kata Asyarah yang berarti sepuluh.Pada hari Asyuro ini, terdapat sebuah sunah yang diajarkan Rasulullah saw. kepada umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro. Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah puasa tersebut, diantaranya :1.Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra, Rasulullah saw, bersabda :“ Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)2. Ibnu Abbas ra berkata :"Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)3. Ibnu Abbas ra berkata :Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari‚ Asyura, maka Beliau bertanya : "Hari apa ini?. Mereka menjawab :“ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah pun bersabda :"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“Maka beliau nerpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. (H.R. Bukhari dan Muslim)4.Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas ra berkata :Ketika Rasulullah saw. berpuasa pada hari asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) berkata : "Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah pun bersabda :"Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“ (H.R. Bukhari dan Muslim)Imam Ahmad dalam musnadnya dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw. bersabda : "Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“Selain hadis-hadis yang menyebutkan tentang puasa di bulan ini, tidak ada ibadah khusus yang dianjurkan Rasulullah untuk dikerjakan di bulan Muharram ini.Bagaimana Berpuasa di bulan Asyuro :Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad –berdasarkan riwayat-riwayat yang ada- menjelaskan :- Urutan pertama, dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11)- Urutan kedua, puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits- Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
3.
Berpuasa Selang-seling (Seperti Puasa Daud)
4.Puasa
tanggal 9 Dzulhijjah (Arofah) bagi selain orang yang melaksanakan Haji
Dari Abu
Qatadah Al-Anshari r.a. katanya Rasulullah
s.a.w. ditanya orang tentang puasa hari arafah (9
Zulhijjah). Jawab baginda, "Semoga dapat
menghapus dosa tahun yang lalu dan yang akan datang".
Kemudian Nabi ditanya pula tentang puasa hari asyura
(10 Muharram). Jawab baginda, "semoga dapat
menghapus dosa tahun yang lalu". (Sahih Muslim)
5.Berpuasa
pada hari senin dan kamis
Amal
perbuatan seorang hamba akan diaudit (diperiksa) setiap hari Senin dan Kamis.
Karena itu, alangkah mulianya seorang hamba jika ketika datang hari audit
keadaannya tengah berpuasa. (HR. Tirmidzi)
Popularitas puasa senin kamis nyaris tak perlu dipertanyakan lagi.Inilah sunnah
nabi yg memungkinkan umatnya mendapat manfaat puasa setiap minggu.Amalan ini
mmg sangat baik.Beberapa hadist nabi menjelaskan keutamannya.Abu Hurairah ra dg
riwayat Ahmad menyebut bahwa nabi SAW paling sering berpuasa senin kamis.Ketika
hal itu ditanyakan sahabat beliau menjawab,''Seluruh amal dibentangkan pada
hari senin dan kamis.Ketika itulah Alloh mengampunisetiap muslim atau mukmin
kecuali yg melakukan dosa secara terang2an.Alloh berkata ,''tundalah
untuknya''.Dengan radaksi yang mirip.sebuah hadist daari AISYAH ra. dan USAMAH
menyebutkan bahwa kesungguhan Nabi melaksanakan puasa senin-kamis dikatakan
beliau kaarena pada dua hari itulaah amal manusia dilaporkan kepada ALLOH
ROBBUL 'ALAMIN.''Dan aku suka pada saat amalku dilaporkan aku sdg dalam keadaan
berpuasa.''Ggaransi spiritual puasa senin kamis jg dpt dikaitkan dg garannnsi
yg diberikan kepada amalan lain.Sebagaimana Masyur diketahui ,,lewat hadist
shohih,pada hari kiamat kelak ,orang yang berpuasa akan masuk syurga melalui
pintu kusus yakni Rayyan.puasa jg menjadi benteng yang tangguh untuk melindungi
seseorang dari panasnya nerakayg membara,demikian hadist riwayat Bukhari dan
Muslim.Tak hanya itu,puasa jg dapat menyucikan jiwa seseorang yang
menjalankannya.Hadist riwayat Ibnu Majah menyebut,''Segala sesuatu ada zakat
pencucinya,sedangkan zakat jiwa itu adalah dengan berpuasa.dan puasa itu
separuh kesabaran.
G. Waktu haram puasa
Waktu
haram puasa
adalah waktu di mana umat Islam dilarang berpuasa.
Hikmahnya adalah ketika semua orang bergembira, seseorang itu perlu turut
bersama merayakannya.
- Berpuasa pada Hari Raya Idul Fitri ( 1 Syawal )
- Berpuasa pada Hari Raya Idul Adha ( 10 Zulhijjah )
- Berpuasa pada hari-hari Tasyrik ( 11, 12, dan 13 Zulhijjah )
Puasa Hari Tasyrik
عَنْ أَبِي مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَلَى أَبِيهِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، فَقَرَّبَ إِلَيْهِمَا طَعَامًا ، فَقَالَ : كُلْ . قَالَ : إِنِّي صَائِمٌ . قَالَ عَمْرٌو : كُلْ ، فَهَذِهِ الأَيَّامُ الَّتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِفِطْرِهَا ، وَيَنْهَى عَنْ صِيَامِهَا . قَالَ مَالِكٌ : وَهِيَ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . صححه الألباني في صحيح أبي داود .
Dari Abi Murrah Maula (bekas budak)
Umi Hani, Bahwa ia bersama Abdullah bin Amr datang kepada ayahnya Amru bin Ash,
Maka disuguhkanlah kepada mereka berdua makanan. Ia (Amr bin Ash), “Makanlah”.
Ia (Abdullah bin Amr) menjawab, “Aku sedang puasa”. Maka Amr bin Ash berkata,
“Makanlah, karena hari ini adalah hari dimana Rasulullah shallallohu ‘alaihi
wasallam memerintahkan kita untuk berbuka (makan) dan melarang dari berpuasa
pada hari ini”. Malik berkata, “(yang dimaksud) Itulah hari-hari tasyriq”
(Dishohihkan Oleh Syeikh al-Albany
dalam Shohih Sunnan Abi Daud)
اليوم الحادي عشر من ذي الحجة والثاني عشر والثالث عشر ، تسمى أيام التشريق
Hari 11, 12 dan 13 Dzulhijjah adalah
Hari Tasyrik
Selain
hari-hari tersebut, ada pula waktu dimana umat Islam dianjurkan
untuk tidak berpuasa, yaitu ketika ada kerabat atau teman yang sedang
mengadakan pesta syukuran atau pernikahan. Hukum berpuasa pada hari ini bukan
haram, melainkan makruh, karena Allah tidak menyukai jika seseorang hanya
memikirkan kehidupan akhirat saja sementara kehidupan sosialnya (menjaga
hubungan dengan kerabat atau masyarakat) ditinggalkan.
H.
Perbuatan-perbuatan yang Disunnatkan dalam Berpuasa
1. Makan sahur sesudah tengah malam
2.
Mengakhiri
waktu makan sahur
3.
Menyegerakan
berbuka pada waktunya
4.
Memberbanyak
ibadah
5.
Berbuka
dengan kurma atau sesuatu yang manis
6.
Mengakhiri
makan sahur sampai beberapa menit sebelum imsak
7.
Memberi
makan untuk orang-orang yang akan berbuka puasa
I.
Hikmah-hikmah Puasa :
- Sarana yang disediakan oleh
Allah SWT untuk mencapai “Taqwa”.
- Puasa merupakan sarana
pendidikan dan latihan
- Menumbuhkan jiwa social atau
kesadaran bermasyarakat
- Menyehatkan tubuh
- Puasa membuat awet muda atau menunda proses
penunaan.
- Puasa adalah cara terbaik
untuk menjaga keselarasan dan keindahan fisik.
J.
Permasalahan Qodho’
Puasa Ramadhan
Yang
dimaksud dengan qodho’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan
waktu di luar waktunya. Untuk kasus orang sakit misalnya. Di bulan Ramadhan
seseorang mengalami sakit berat sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan
Ramadhan dia mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho’.
Orang
yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho’ Puasa
Ada
beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan untuk tidak berpuasa
di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho’ puasanya setelah lepas dari udzur,
yaitu:
Pertama,
orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa.
Kedua,
seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau sulit melakukan
amalan kebajikan.
Ketiga,
wanita yang mendapati haidh dan nifas.
Dalil
golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain.” (Qs. Al
Baqarah: 185)
Dalil
wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah, beliau mengatakan,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kami
dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak
diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”[3]
Catatan: Adapun untuk wanita hamil dan
menyusui apakah mesti ada qodho’ puasa, maka ada beberapa pendapat ulama dalam
masalah ini. Ada ulama yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui mesti
mengqodho’ puasanya ditambah dengan mengeluarkan fidyah. Ada pula yang
mengatakan cukup mengqodho’ puasa saja tanpa fidyah. Yang lain lagi mengatakan
cukup mengeluarkan fidyah saja. Intinya, pembahasan mengenai puasa bagi wanita
hamil dan menyusui butuh penjabaran tersendiri. Sedangkan yang penulis pilih –wal ‘ilmu ‘indallah-
adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq dan ulama belakangan seperti
Syaikh Al Albani yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang khawatir
pada diri atau anaknya ketika berpuasa, cukup baginya mengeluarkan fidyah tanpa
harus mengqodho’. Alasannya, pendapat ini adalah perkataan Ibnu ‘Abbas ketika
menjelaskan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Sehingga
perkataan ini dinilai marfu’ (sabda Nabi) sebagaimana telah dikenal dalam ilmu
ushul. Namun, kami tetap menghargai pendapat ulama lainnya dalam permasalahan
ini dan mudah-mudahan kita bisa lapang dada dengan perselisihan yang ada.
K. Dosa Besar Karena Sengaja Tidak
Berpuasa Ramadhan
Di
bulan Ramadhan, di antara kaum muslimin malah ada yang enak-enakan tidak
berpuasa. Bukan karena alasan sakit atau bersafar, namun mereka tidak berpuasa
karena malas-malasan. Mereka tidak berpuasa tanpa ada udzur (alasan) sama
sekali.
Perlu
diketahui bersama bahwa meninggalkan puasa Ramadhan semacam ini termasuk dosa
besar dan akan mendapatkan siksa sebagaimana diceritakan dalam riwayat berikut.
Abu
Umamah Al Bahili menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bercerita, “Ketika aku
tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku
dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, “Naiklah.” Lalu
kukatakan, “Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata, “Kami
akan menolongmu.” Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di
kegelapan gunung dan tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku
bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu adalah suara jeritan para
penghuni neraka.”
Kemudian
aku dibawa berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan
pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu
mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, “Siapakah mereka itu?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah orang-orang
yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”[4]
Perlu
diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadhan termasuk dosa yang amat
berbahaya karena puasa Ramadhan adalah puasa wajib dan merupakan salah satu
rukun Islam. Para ulama pun mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun
Islam lebih besar dari dosa besar lainnya[5]. Adz Dzahabi sampai-sampai
mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan, bukan karena
sakit (atau udzur lainnya), maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa
berzina, lebih jelek dari dosa menegak minuman keras, bahkan orang seperti ini
diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang-orang munafik dan sempalan.”
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak
berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk
mengqodho’ puasa.[7]
Namun
ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan ulama belakangan
seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berpendapat bahwa bagi
orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya
untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini:
“Ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang
meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya
untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya”.
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas:
أن العبادة المؤقتة بوقت إذا أخرجها الإنسان عن وقتها بلا عذر فإنها لا تنفع ولا تجزيء
“Sesungguhnya
ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir), apabila seseorang
mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur (alasan), maka
ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”
Syaikh
rahimahullah
kemudian membawakan contoh:
Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga
keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku wajib mengqodho’
(mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak wajib mengganti (mengqodho’)
shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan
tersebut akan tidak diterima.
Begitu
pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan (dengan
sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya pada kami, “Apakah aku
wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami pun akan menjawab, “Tidak wajib
bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar
waktu karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut
tertolak.”[8]
Seseorang
apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan
mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan
yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan
tidak ada manfaat sama sekali.”
Mungkin
ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas dengan
mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang memiliki udzur seperti
ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak memiliki udzur seharusnya
lebih pantas ada qodho’, artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau
puasanya.”
Syaikh
Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai
udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah
sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah
ketika dia ingat.”
Adapun
orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya lalu dia tunaikan
setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh
karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya tidak diterima.”[9]
Lalu
jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur di atas tidak
perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya? Kewajiban dirinya adalah
bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan
melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.
Syaikh
Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti puasa, shalat, zakat dan
selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada udzur), ibadah-ibadah
tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti akan menghapuskan
kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya
dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi
amalan-amalan tersebut.”[10]
Syaikh
Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “Pendapat yang kuat, wajib baginya
untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan dia tidak memiliki
kewajiban kafaroh.”[11]
Itulah
yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa
ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash (bukan riya’), menyesali
dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa
kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan
taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit
dari sebelah barat. Semoga Allah memberi taufik.
Catatan:
Adapun perkataan Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu yang disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad)
dan dikatakan sebagai hadits marfu’ (sabda Nabi),
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ ، وَإِنْ صَامَهُ
“Barangsiapa
berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur (alasan) dan bukan pula
karena sakit, maka perbuatan semacam ini tidak bisa digantikan dengan puasa
setahun penuh jika dia memang mampu melakukannya.”
Juga
ada perkataan yang serupa dari Ibnu Mas’ud, maka hadits-hadits tersebut adalah
hadits yang dho’if sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama.
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Hadits ini adalah hadits dho’if
(lemah) menurut mayoritas ulama. Walaupun hadits tersebut dho’if, namun
kita dapat melihat permasalahan orang yang tidak puasa tanpa udzur pada kaedah
ushul. Kaedah tersebut adalah: Sesungguhnya seseorang jika ibadahnya itu batal,
maka dia memiliki keharusan untuk mengqodho’nya. Sebagaimana seseorang yang shalat
kemudian shalatnya tersebut batal karena sebab hadats, tertawa, makan, dan
minum; maka dia juga memiliki keharusan untuk mengqodho’ shalatnya. Begitu pula
dengan puasa, jika puasanya tersebut batal, maka dia memiliki kewajiban untuk
mengqodho’ puasanya.
Hal
ini berbeda dengan seseorang yang tidak puasa atau tidak shalat sama sekali.
Menurut mayoritas ulama, mereka mengatakan, “Orang yang tidak shalat atau tidak
puasa diharuskan mengqodho’ puasa atau shalat yang sengaja ia tinggalkan.”
Namun yang lebih tepat, orang yang meninggalkan shalat atau puasa dengan
sengaja tidak ada qodho’ baginya. Dia tidak perlu dikasihani dan tidak mendapat
keringanan. Puasa yang ingin dia lakukan setelah keluar waktunya tidaklah
bermanfaat. Hal itu tidak akan melepaskan dia dari beban kewajiban. Dia tidak
diharuskan melakukan sesuatu karena itu tidak bermanfaat baginya.”[12]
Qodho’
Ramadhan Boleh Ditunda
Qodho’
Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadhan
yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan
Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini
adalah ‘Aisyah pernah menunda qodho’ puasanya sampai bulan Sya’ban.
Dari
Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku
masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali
di bulan Sya’ban.”
Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah
karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.[13]
Ibnu
Hajar mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan
qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”[14]
Akan
tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan dilakukan dengan segera (tanpa
ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk
bersegera dalam melakukan kebaikan,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka
itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang
segera memperolehnya.”
(Qs. Al Mu’minun: 61)
Mengakhirkan
Qodho’ Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya
Hal
ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ketika Ramadhan
misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya kewajiban qodho’ setelah
Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya’ban, dia sebenarnya mampu untuk
membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum kunjung dilunasi sampai
Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi permasalahan kita, apakah dia
memiliki kewajiban qodho’ puasa saja ataukah memiliki tambahan kewajiban
lainnya.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan
hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai
dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Namun,
Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’
puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki
kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’.
Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat
seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma.
Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad
Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, “Apa hukum seseorang yang
meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia
tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya
bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”
Syaikh
Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan
dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan
disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah
setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras
atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan.
Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh
beberapa sahabat radhiyallahu
‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma. Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur
seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan
sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’
puasanya.”[15]
Kesimpulan:
Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho’ puasa Ramadhan hingga
Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban: [1] Bertaubat kepada Allah,
[2] mengqodho’ puasa, dan [3] wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin
sebesar setengah sho’ (1,5 kg), bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’.
Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit), sehingga dia
menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tidak memiliki
kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja. Hanya Allah yang memberi taufik.
Tidak
Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa
Apabila
kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama beberapa hari, maka untuk
menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal kita punya qodho’
puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan qodho’ dua hari
pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan
Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah,
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas
mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak berurutan.”[16]
Barangsiapa
Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa
Bagi
orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya
diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah ini para
ulama berselisih sampai tiga pendapat.
Pendapat
pertama: Tidak dipuasakan oleh ahli warisnya, baik puasa nadzar maupun puasa
Ramadhan. Inilah pendapat Abu Hanifah dan murid-muridnya, pendapat Imam Malik,
dan pendapat yang nampak pada madzhab Syafi’i. Di antara dalil mereka
adalah firman Allah,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.”
(Qs. An Najm: 39). Jadi amalan puasa orang lain tidak bermanfaat bagi orang
yang sudah mati.
Dalil
yang lainnya adalah hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika
manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1]
sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang
mendo’akan orang tuanya.”[17]
Pendapat
kedua: Dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan.
Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat
yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat para pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil
dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa
yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang
nanti akan mempuasakannya.”[18]
Yang dimaksud “waliyyuhu”
adalah ahli waris [19].
Juga
hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ – قَالَ – فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »
“Ada
seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia
memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa
tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih pantas
engkau tunaikan.”[20]
Hadits
‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum sedangkan hadits Ibnu
‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar.
Pendapat
ketiga: Dipuasakan khusus untuk puasa nadzar saja, tidak untuk qodho’ puasa
Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad, Ishaq, Abu ‘Ubaid dan Al Laits.
Pendapat
yang terkuat
adalah pendapat kedua yaitu bagi orang yang meninggal dunia dan masih memiliki
utang puasa (baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan), maka ahli warisnya nanti yang
akan membayar qodho’ puasanya.
Alasan
pendapat kedua lebih kuat adalah:
1.
Surat An Najm ayat 39 memiliki pengecualian yaitu ada beberapa amalan yang
dilakukan oleh orang lain dan bemanfaat untuk orang yang sudah mati di
antaranya adalah amalan puasa.
2.
Untuk hadits Abu Hurairah bahwa amalan manusia itu terputus kecuali dari tiga
perkara, maksud hadits ini adalah terputusnya amalan mayit dan bukan yang
dimaksudkan adalah terputusnya amalan orang lain untuk si mayit.
3.
Puasa yang boleh diqodho’ oleh ahli waris si mayit bukanlah hanya puasa nadzar
saja, namun berlaku pula untuk puasa Ramadhan. Alasannya, hadits ‘Aisyah dan
Ibnu ‘Abbas tidaklah saling bertentangan. Hadits ‘Aisyah memang bersifat umum
yaitu membicarakan puasa secara umum. Sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan
puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadits ‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadits
Ibnu ‘Abbas karena di dalamnya tidak ada pertentangan. Sebagaimana dalam ilmu
ushul fiqh, takhsis (pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan
antara dalil yang ada. Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil.
Ibnu
Hajar mengatakan,
فَحَدِيث اِبْن عَبَّاس صُورَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ سَأَلَ عَنْهَا مَنْ وَقَعَتْ لَهُ ، وَأَمَّا حَدِيث عَائِشَة فَهُوَ تَقْرِيرُ قَاعِدَةٍ عَامَّةٍ
“Hadits
Ibnu ‘Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan hadits
‘Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa nadzar.
Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.”[21]
Kesimpulan:
Bagi orang yang mati dalam keadaan masih memiliki utang puasa, dia tidak
terlepas dari tiga kemungkinan:
1.
Orang yang mati tersebut masih memiliki udzur hingga dia meninggal dunia dan
dia tidak mampu membayar qodho’ puasa, untuk orang semacam ini tidak perlu
dibayar qodho’ puasanya.
2.
Orang yang mati tersebut ketika dia hidup sebenarnya masih memiliki kesempatan
untuk membayar qodho’ puasa, namun dia tidak menunaikannya sampai dia mati,
maka untuk orang semacam ini hendaknya dipuasakan oleh ahli warisnya.
3.
Orang yang mati tersebut memiliki utang nadzar namun belum ditunaikan, maka
untuk orang semacam ini hendaknya dipuasakan oleh ahli warisnya.
Boleh
juga beberapa hari utang puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian
mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan satu atau beberapa hari
puasa. Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan
serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang
dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi.[22]
Demikian
pembahasan kami mengenai qodho’ Ramadhan. Semoga Allah selalu memberikan kita
kepahaman dalam mempelajari agama ini. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu wa sallamu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in
FIDIYAH
Wanita
yang berada dalam kondisi hamil dan menyusui memang
boleh untuk tidak berpuasa. Hanya saja apakah gantinya cukup membayar
fidyah atau menggantinya di hari yang lain? Dalam hal ini ada perbedaan
pendapat di antara para ulama dengan melihat kepada kondisi wanita hamil
tersebut.
1. Apabila wanita hamil tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi
dirinya menurut sebagian besar ulama fiqih, puasanya wajib diqadha pada hari
yang lain. Kondisinya disamakan dengan orang yang sedang sakit. Allah befirman,
“Siapa yang sakit atau sedang melakukan perjalanan jauh, ia dapat menunaikan
pada hari-hari lain.” (al-Baqarah: 185).
2. Apabila ia tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi janinnya, maka
menurut Ibn Abbâs dan yang lain, ia hanya wajib membayar fidyah, tanpa harus
membayar puasanya di hari lain. Sebuah hadis yang berasal dari Ibn Abbâs
menegaskan bahwa wanita yang sedang hamil atau menyusui tercakup dalam makna
firman Allah,
“Orang-orang yang berat menunaikan puasa, maka ia wajib membayar fidyah
dengan memberi makan seorang miskin.” (al-Baqarah: 184).
3. Apabila ia tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi dirinya dan
anaknya, maka menurut Imam Ahmad dan al-Syafi’I, ia wajib membayarnya di hari
lain, tanpa perlu memberikan fidyah.
Hanya saja, menurut Syeikh Yusuf al-Qardawi, wanita yang amat subur yang
seringkali hamil dan menyusui nyaris tidak memiliki kesempatan untuk
mengqadha puasa yang ditinggalkan dan hal itu amat memberatkan. Karenanya,
menurutnya cukup bagi wanita tersebut untuk memberikan fidyah saja.
Comments
Post a Comment