BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam pembukuan hadis,banyak
permasalahan mengemuka yang memerlukan konfirmasi dan kejelasan mengingat
urgensi hadis sebagai salah satu sumber hukum bagi umat islam, sehingga umat
wajar jika studi hadis tetap diminati baik dari kalangan insider ataupun
outsider. Khususnya, kajian kritik matan yang merupakan bagian penting dalam
studi hadis,mengingat sebagai teks normatif setelah Al-Qur’an,hadis memuat
beberapa ajaran,doktrin,tuntunan hidupdan sebagainya yang termasuk dalam fokus
kajian kritik matan.
Metode dan langkah melakukan kritik
matan sangat beragam. Namun permasalahannya adalah bahwa secara
teoretis,pelaksanaan kritik matan tidak banyak ditemukan perbedaan pendapat.
Sedangkan secara praktis sering kali ditemukan perbedaanhasil
penilaian,terutama apabila hadis yang diteliti telah mendapatkan penilaian
shahih ditinjau dari kualitas sanadnya.
Di antara cendekiawan yang intens
mengkritisi problematika periwayatan dan kritik matan hadis adalah jamal al-Banna
yang menawarkan metode memperhadapkan hadis dengan Al-Qur’an memperbandingkan
bahasa,gaya bahasa teks matan hadis yang bersifat qawly dengan ukuran bahasa
tutur Nabi Saw.dalam berkomunikasi sehari-hari yang dikenal amat fasih.Ulama
hdis dengan spesialisasi pendalaman konsep,hadis memperbandingkannya dengan
konsep kandungan sesama hadis (sunnah) dan dengan al-Qur’an. Ulama yang menaruh
perhatian pada sektor istinbath (penyimpulan deduktif) terhadap kandungan
materi hukum,hikmah dan nilai keteladanan dalam hadis,mengarahkan penelitiannya
pada nisbah ungkapan pada narasumber hadis.penelitian serupa terarah pada uji
keutuhan,keaslian dan kebenaran komposisi teks matan hadis.
B. RUMUSAN MASALAH
1. jelaskan pengertian tadwinul hadits ?
2. jelaskan faktor-faktor terjadinya tadwinul hadits ?
3. jelaskan sejarah tadwinul hadits ?
4. siapa tokoh yang berperan dalam tadwinul hadits ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pembukuan Hadits
Kata pembukuan memiliki makna yang
sama dengan kata tadwin atau pengkodifikasian. Secara bahasa, tadwin
diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ al-shuhuf)[1]
Secara luas tadwin diartikan dengan al-jam’u (mengumpulkan).
Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai berikut:
“Mengikat yang berserak-serakan
kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari
lembaran-lembaran”[2]
Sementara yang dimaksud dengan tadwin
hadis pada periode ini adalah pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang
berdasarkan perintah kepala Negara (khalifah), dengan melibatkan
beberapa personil yang ahli dibidangnya, bukan yang dilakukan secara
perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa
Rasulullah SAW.
Usaha ini dimulai pada masa
pemerintahan islam yang dipimpin oleh Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (khalifah
kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayyah), melalui instruksinya kepada para
pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para
penghafalnya. Kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amar ibn Hazm (Gubernur
Madinah), ia mengirim instruksi, yang berbunyi:
“Perhatikan atau periksalah hadis-hadis Rasulullah SAW,
kemudian tulislah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para
ahli.(Menurut suatu riwayat disebutkan meninggalnya para ulama). Dan janganlah
kamu terima, kecuali hadis Rasulullah SAW.”[3]
Khalifah menginstruksikan kepada Abu
Bakar ibn Muhammad bin Hazm (w. 117 H) agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada
pada Amrah binti Abdurrahman Al-Anshari (murid kepercayaan Siti ‘Aisyah ) dan
Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar. Instruksi yang sama ia tujukan kepada
Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri, yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak
mengetahui hadis dari pada yang lainnya.[4]
Abu Bakar ibn Hazm berhasil
menghimpun hadis dalam jumlah, yang menurut para ulama kurang lengkap.
Sedangkan ibn Syihab Al-Zuhri berhasil menghimpunnya, yang dinilai oleh para
ulama lebih lengkap. Akan tetapi sayang sekali, kedua karya tabi’in ini lenyap,
tidak sampai pada generasi sekarang.
B.
Latar belakang pembukuan hadis
Ada tiga hal pokok mengapa Khalifah
Umar ibn Abd Al-Aziz mengambil kebijaksanaan mengumpulkan hadis, ketiga hal
tersebut adalah :
1. Beliau khawatir akan hilangnya hadis
–hadis, dengan meninggalnya para ulama dimedan perang.
Hal ini adalah faktor utama, sebagaimana terlihat pada
naskah surat-surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya, sebab peranan
ulama pada saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan ilmu agama, melainkan turut
kemedan perang atau bahkan, mengambil peranan penting dalam suatu pertemuan.
2.
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz
khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis
palsu.
3.
Semakin meluasnya daerah kekuasaan
islam.
Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara
kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnnya tidak sama, jelas
sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.[5]
Dengan melihat berbagai persoalan yang muncul, sebagai
akibat terjadinya pergolakan politik, yang sudah cukup lama, dan mendesaknya
kebutuhan untuk segera mengambil tindakan guna penyelamatan hadis dari
kemusnahan dan pemalsuan, maka Umar ibn Abdul Aziz sebagai seorang khalifah
yang berakhlak mulia, adil dan wira’i, terdorong untuk mengambil tindakan ini.
Bahkan menurut beberap riwayat , beliau ikut terlibat mendiskusikan hadis-hadis yang sedang
dihimpunnya.[6]
C.
Waktu Pembukuan Hadits
Perkembangan penghimpunan dan
pengodifikasian hadis terbagi menjadi lima (5) periode yaitu periode Nabi
Muhammad SAW, periode sahabat, periode tabi’in, periode tabi’ tabi’in, dan
periode setelah tabi’ tabi’in.
1. Periode Rasulullah SAW
Periode Rasul SAW merupakan periode pertama sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hadis. Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai
tahun 13 sebelun hujriyah, bertepatan dengan tahun 610 masehi sampai dengan
tahun 11 hijriyah, bertepatan dengan tahun 632 masehi.
Keadaan tersebut sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat, sebagai pewaris pertama ajaran islam, dalam
menerima kedua sumber ajaran diatas,
karena pada tangan mereka kedua-duanya harus terpelihara dan disampaikan kepada
pewaris berikutnya secara berkesinambungan.
Wahyu yang ditaurunkan Allah swt kepadanya dijelaskannya
melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan penetapan (taqrir)-nya.Sehingga
apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman
bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasul merupakan contoh satu-satunya bagi para
sahabat, karena ia memiliki sifat kesmpurnaan dan keutamaan selaku rasul Allah
swt yang berbeda dengan manusia lainnya.
a. Beberapa petunjuk Rasulullah saw
Dalam suatu majlis ilmu, Rasulullah
saw adalah guru atau pembina bagi para sahabatnya. Beliau mengajarkan segala
aspek ajaran Allah swt sesuai dengan firmannya dalam beberapa ayat, antara lain
dalam surat Al-Qalam ayat 4, An-Nisa’ ayat113, dan Al-Jum’ah ayat 2. Dalam
beberapa sabdanya beliau juga menyampaikan wasiat-wasiatnya untuk selau
menyampaikan hadis kepada orang lain.
Selain itu, Rasul juga menyampaikan ketinggian kedudukan siapa saja yang
belajar dan mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dinilai sebagai seorang
mujahid fi sabilillah (pejuang Allah).[7]
b. Cara Rasul Menyampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaan pada masa ini
yang membedakannya dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara
langsung memperoleh hadis dari Rasul saw sebagai sumber hadis. Antara Rasul saw
dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit
pertemuannya. Allah swt berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya yaitu
dalam Al-Qur’an surah An-Najm ayat 3-4 yang artinya “Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain ialah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Ada beberapa cara Rasul menyampaikan
hadis pada masa sahabat, yaitu:
1)
Melalui para jama’ah pada pusat
pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi
2)
Rasul menyampaikan hadisnya melaui
para sahabat tertentu ,yang kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain.
3)
Melalui ceramah atau pidato ditempat
terbuka
4)
Melalui perbuatan langsung yang
disaksikan oleh para sahabat.
c. Keadaan para sahabat dalam menerima
dan mengauasai hadis
Perbedaan kemampuan sahabat terhadap
hadis disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya perbedaan dalam soal
kesempatan bersama Rasul, perbedaan soal kesanggupan bertanya kepada sahabat
yang lain, cepat atau lambatanya masuk islam.
Ada beberapa sahabat yang tercatat
sebagai sahabat yang banyak menerima hadis , mereka adalah :
1) Al-Sabuqun Al-Awwalun
2)
Istri-istri Rasul
3)
Sahabat yanag selalau menulis hadis
4)
Sahabat yang selalu bertanya kepada
rasul
5)
Sahabat yang sungguh-sungguh
mengikuti majlis Rasul
d. Pemeliharaan Hadis dalam Hafalan dan
Tulisan
1)
Menghafal hadis
Terhadap al-qur’an beliau secara resmi menginstruksikan
kepada sahabat supaya menulis disampung menghafalnya. Sedangkan terhadap hadis
ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal
ini beliau bersabda :
“Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-qur’an.
Barang siapa telah menulis dariki selain al-qur’an hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang
diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan
sengaja hendaklah ia menempati tempat dududknya di neraka.”(HR.Muslim).
2)
Menulis hadis
Pada masa ini rasulullah melarang penulisan hadis disebabakan karena
al-qur’an masih diturunkan kepada beliau dan masih dalam bentuk yang angat
sederhana, sehingga beliau khawatir akan tercampur antara al-qur’an dan hadis.
Di balik larangan rasulullah, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki
catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis dan memiliki catatan-catatannya,
antara lain :
a)
Abdullah ibn amr al-‘ash
Beliau memiliki catatan hadis yang
menurut pengakuannya dibenarkan oleh rasul sehingga diberinya nama al-sahifah
al- shadiqah.Sabda rasulullah
“Tulislah! demi zat yang diriku berada ditangnnya , tidak ada yang
keluar dari padanya kecuali yang benar”.(HR Bukhari)[8]
b)
Jabir ibn Abdillah ibn Amr
Al-Anshari (w. 78 H)
Memiliki catatan hadis tentang
manasik haji, dan terkenal dengan sahifah jabir.
c)
Hurairah Al-Dausi (w. 59 H)
Catatan hadis beliau dikenal dengan al-sahifah
al-sahihah
d)
Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al- Anmiri)
Rasulullah bersabda “kalian tuliskan
untuk abu syah”.
2.
Hadits pada masa sahabat
Setelah Nabi wafat , para sahabat belum memikirkan
penghimpuna dan pengodifikasian hadis karena banyak problem yang dihadapi
diantaranya timbul kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga
banyak penghafal al-qur’an yang meninggal dunia.
Abu bakar pernah berkeinginan membukukan sunnah,tetapi
digagalkan, karena khawatir terjadi fitnah ditangan orang-oranag yang tidak
dapat dipercaya. Al-hakim menceritakan bahwa Aisyah ra. berkata “ayahku
menghimpun 500 hadis, semalaman beliau bolak-balik memeriksanya… ketika pagi
beliau minta hadis-hadis yang ditanganku untuk dibakar dan berkata: ’aku
khawatir jika aku mati sementara hadis-hadis itu masih ditanganmu dari
orang-orang yang terpercaya, namun tidak diriwayatkan sebagaimana mestinya.’”
Umar bin khattab juga pernah ingin mencoba menghimpunnya,
tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau
berkata:
“Sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah
menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yanag menulis buku, kemudian mereka sibuk
dengannya dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah, sesungguhya aku tidak akan
mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu yang lain selamanya.”[9]
Kekhawatiran Umar bin Khattab dalam pembukuan hadis adalah tasyabbuh/menyerupai
dengan ahli kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan
menggantikannya dengan kalam meraka dan menempatkan biografi para nabi mereka
didalam kitab tuhan mereka. Umar khawatir umat islam meninggalakan Al-Qur’an dan
hanya membaca hadis. Jadi, Abu Bakar dan Umar tidak berarti melarang
pengodifikasian hadis , tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan
untuk itu.
Penyampaian periwayatan disampaikan secara lisan dan hanya
jika benar-benar diperlukan saja, yaitu ketika umat islam benar-benar
memerlukan penjelasan hukum. Kedua Khalifah diatas menerima hadis dari orang
per oarng dengan syarat disertai saksi yang menguatkan. Bahkan Ali bin Abi
Thalib menerimanaya jika disertai dengan sumpah disamping saksi. Oleh karena
itu, pada masa Khulafaur Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan
periwayatan (taqlil ar-riwayah).
a)
Menjaga pesan Rasul
Pada masa menjelang akhir
kerasulannya , Rasul berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada
Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana
sabdanya “ telah akau tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat
setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku
(Al-Hadis)”. (HR Malik)[10]
b)
Berhati-hati dalam meriwayatkan dan
menerima hadis
Kehati-hatian dan usaha membatasi
periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir
terjadinya kekeliruan , yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber
tasyri’ setelah Al-Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruan sebagaimana
Al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya Khulafa Al-Rasyidi dan
sahabat lainnya, seperti al-zubair, ibn abbas dan abu ubaidah berusaha
memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.[11]
c)
Periwayatan hadis dengan lafaz dan
makna
·
Periwayatan lafzi
Periwayatan lafzi adalah periwayatan
hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan rasul saw,
ini hanya bIsa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yanag disabdakan Rasul saw.
Dalam hal ini Amar bin Khattab pernah berkata “ barang siapa yanag mendengar
hadis dari Rasul kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yanag ia dengar,
orang itu selamat”[12]
·
Periwayatan maknawi
Yang dimaksud adalah periwayatan
hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari rasul, akan
tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yanag
dimaksud oleh tasul tanpa ada perubahan sedikitpun.
3. Hadis pada masa tabi’in
Pada masa ini Al-Qur’an telah
dikumpulkan dalam mushaf, sehingga tidak lagi megkhawatirkan mereka.
Pada masa khalifah Usman bin Affan para sahabat ahli hadis steelah menyebar ke
beberapa wilayah kekuasaan islam, hadis-hadis yang diterima oleh para tabi’in
ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan
ada yang harus dihafal, disamping dalan bentuk yang sudah berpolakan dalam
ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti.
Kedua bentuk ini saling melengkapi,
sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan.[13]
Pada masa ini disebut masa pengodifikasian hadis(al-jam’u
wa at-tadwin). Khalifah Umar
bin Abdul Aziz (99-101 H), yang
merupakan Khalifah ke-8 dari Bani Umayyah yang hidup pada akhir abad 1 H menganggap
perlu adanya penghimpunan dan pembukuan
hadis, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya
para ulama, baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. Oleh keena itu beliau
instruksikan kepada gubernur di seluruh wilayah negeri islam agar para ulama
dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis. Beliau terkenal sebagai seorang
khalifah dari Bani Umayyah yang adil dan wara’ sehingga dipandang sebagai
khulafaur Rasyidi yang kelima.
Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin
Abdul Azis memerintahkan Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin
Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghafal. Khalifah mengirim
surat kepada ibn Hazm yang berbunyi:
“Perhatikanlah apa yang dapat
diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu
disebabkan meninggalnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW, dan
hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang
yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu
dirahasiakan.”
Selain kepada gubernur Madinah ,
khalifah juga menulis surat kepada gubernur lain agar mengusahakan pembukuan
hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri (15-124 H). Tidak diketahui secara
pasti siapa diantara ulama yang lebih dulu dalam melaksanakan perintah khalifah
tersebut. Sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm
sebagaimana bunyi teks diatas. Pendapat lain mengtakan Ar-Rabi’ bin Shabih,
Sa’id bin Arubah , dan Muhammad bin Muslim bin As-Syihab Az-Zuhri. Namun,
pendapat yang paling populer adalah Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab
Az-Zuhri, sedangkan Ibnu Hazm hanya menyampaikan instruksi khalifah keseluruh
negerai kekuasaan dan belum melaksanakan tugas pengodifikasian hadis. Az-Zuhri
dinilai sebagai orang pertama dalam melaksankakn tugas pengodifiksian hadis
dari khalifah Umar bin Abdul Aziz, dengan ungkapannya:
” Kami diperintahkan Khalifah Umar
bin Abdul Aziz untuk menghimpun sunnah, kami telah melaksanakannya dari buku ke
buku, kemudian dikirim ke setiap wilayah kekuasaan Khalifah satu buku.”
Berdasarkan inilah para ahli sejarah
dan ulama berkesimpulan bahwa Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri adalah orang pertama
ynag mengodifikasikan hadis pada awal tahun 100 H dibawah khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Maksudnya disini orang yang paling awal menghimpun hadis dalam
bentuk formal atau instruksi dari seorang khalifah dan ditulis secara
menyeluruh, karena tentunya penghimpunan hadis telah di mulai sejak massa
rasulullah di kalangan sahabat dan tabi’in namun belum menyeluruh , dan bukan
berdasarkan intruksi seorang khalifah.
Kemudian aktifitas penghimpunan
hadis tersebar keseluruh negeri islam pada abad ke-2 H, diantaranya Abdullah
bin Abdul Aziz, Ibnu Ishak, Abdurrahman Abu Ameral-Auza’i, Sufyan Al-Tsauri,dan
lain-lain.
Penghimpunan hadis pada masa ini
masih bercampur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan
pada abad sebelumya yang masih berbentuk lembaran-lembaran atau sahifah-sahifah
yang dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tartib.[14]Sedangkan
pada masa ini sudah di himpun bab per bab, materi hadisnya di himpun dari suhuf
yang di tulis oleh para sahabat sebelumnya dan di peroleh melalui periwayatan
secara lisan ,baik dari sahabat maupun tabiin.
Di antara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah :
1. Muwatha’ (Imam Malik)
2. Al-mushanaf (Abdul Razakbin Hammam
Ash-Sanani)
3. As-sunah (Abd bin Mansyur)
4. Al-Musannaf (Abu Bakar bin Saybah)
5. Musnad As-Syafi’i
Kitab-kitab hadis pada masa ini tidak sampai kepada kita,
kecuali di antaranya Al-Muwattha’ yang di tulis oleh Imam Malik dan Musnad
As-Syafi’i di tulis oleh Imam As-Syafii
4. Periode tabi’ tabi’in
Periode tabi’ tabiin artinaya
pengikut tabiin , yaitu bada abad ke-3 H yang di sebut ulama dahulu
/salaf/mutakaddimin . Sedangkan ualama pada abad berikutnya, abad ke-4 H dan
setelahnya disebut ulama belakangnan / khalaf / muta’akhirin. Pada periode abad
ke-3 ini disebut Masa Kejayaan Sunnah (min ‘ushur al-azdiha) atau
disebut nmasa keemasan sunnah (min al-‘ushur adz-dzabiah), karena pada
masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya mencapai
puncak keberhasilan yang luar biasa. Seolah-olah pada periode ini seluruh hadis
telah terhimpun semuanya dan pada abad berikutnya tidak mengalami perkembangan
yang signifikan.
Maka lahirlah buku induk hadis enam (ummahat
kutub as-sittah) yaitu buku hadis Sunan Al-Jami’ Ash-Sahih yang dipedomani
oleh umat islam dan buku-buku hadis musnad. Maksud buku induk hadis enam ialah
buku-buku hadis yang dijadikan pedoman dan referensi para ulama hadis
berikutnya.
Perode ini masa yang paling sukses dalam
pembykuan hadis, sebab pada masa ulama hadis telah berhasil memisahkan hadis
Nabi dari yang bukan hadis atau dari hadis Nabi dari perkataan sahabat dan
fatwanya dan telah berhasil pula
mnegadakan filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan
Nabi, sehingga telah dapat dipisahka mana hadis yang sahih dan hadis yang bukan
sahih. Seolah-olah pada abad ini hampir seluruh hadis telah terhimpun kedalam
buku, hanya sebagian kecil saja dari hadis yang belum terhimpun, dan yang
pertama kali membukukan hadis sahih adalah
ImamAl-Bukhari, kemudian disusul oleh Imam Muslim. Oleh karena itu pada
periode disebut juga masa kodifikasi dan filterisasi (ashr al-jami’ wa
attashih).
5. Periode setelah tabi’ tabi’in
Pada abad ini disebut penghimpunan,
ulama yang hidup pada abad ke-4 H dan berikutnya disebut ulama Mutaakhirin atau
khalaf atau modern, sedangkan ulama ynag hidup sebelum abad ke-4 H disebut
mutaqaddimin/salaf (klasik).
Perbedaan mereka dalam periwayatan
dan pengodifikasan hadis , ulama mutaqaddimin menghimpun hadis Nabi dengan cara
langsung mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri,
baik matan dan sanadnya. Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan
perjalanan jauh untuk mengecek kebenaran hadis yang mereka dengar dari orang
lain. Sedang ulama khalaf , cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan
mengutip dari kitab-kitab mutaaqddiamin.
Perkembangan tekhnik pembukuan hadis
pada abad ini yaitu pada abad 4-6 H sebagai berikut:
a.
Mu’jam, artinya penghimpunan hadis yang diperoleh
berdasarkan nama sahabat secara abjad (alphabet) seperti Al-Mu’jam Al-Kabir
Sulaiman bin Muhammad Ath-Thabrani (w. 360 H)
b.
Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode
pembukuan hadis sahih (Bukhari dan Muslim) yang hanya mengumpulakn hadis sahih,
seperti Sahih ibnu Hibban Al-Bas’ti (w. 354 H).
c.
Al-mustadrak, artinya menambah beberapa hadis sahih yang
belum disebutkan dalam kitab Bukhari dan Muslim serta menurutnya telah memenuhi
persyaratan keduanya, seperti Al-Mustadrak ‘Ala Al-Shahihayn
karya Abi Abdullah Al-Hakim An-Naisabur (w. 405)
d.
Sunan, yaitu cakupan hadis-hadisnya tantang hukum seperti
fiqh dan kualitasnya, seperti Muntaqa ibnu Al-Jarud (w. 307 )
e.
Syarah, yaitu penjelasan hadis, baik yang berkaitan dengan
sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadis atau pemecahannya jika
terjadi kontradikisi dengan ayat atau hadis lain, seperti Syarah Musykil
Al-Atsar karya Ath-Thahawi (w. 321)
f.
Mustakhraj ialah seorang penghimpun hadis mengeluarkan
beberapa buah hadis dari sebuah buku hadis seperti yang diterima dari gurunya
sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, seperti Mustakhraj Abi Bakr
Al-Asma’ili Ala Sahih Al-Bukhari (w. 371 H)
g.
Al-jam’u, gabungan dua atau beberapa buku hadis menjadi satu
buku, Al-Jam’u Bayn Ash-Shahihayn karya Isma’il bin Ahmad.
Pada masa berikutnya abad 7-8 H dan
berikutnya disebut masa penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematik (Al-Jam’u
Wa At-Tanzhim). Karena danya penaklukan wilayah oleh bangsa Turki,
ulama hadis tidak bebas menyampaikan dan menerima hadis. Maka dilakukan secara Murasalat
(korespondensi), ijazah, yaitu metode seorang guru memberika izin kepada
muridnya untuk meriwayatkan hadis yang ditulis oleh gurunya, dan terakhir imla’
yaitu seorang guru hadis duduk dimasjid , kemudian ia menguraikan hadis
itu,sedangkan yang hadir mencatat, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin
Al-Iraqi (w. 806 H) dan Ibn Hajar Al-Asqalani (w. 852 H).
Demikian perkembangan penulisan dan
pengodifikasian hadis sampai abad 12 H. mulai abad terakhir ini sampai sekarang
dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang
hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah
hadis-hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
D.
Tokoh yang Berperan dalam Pembukuan Hadits
Ada
beberapa tokoh yang berperan dalam proses pembukuan hadis yaitu:
1. Dari kalangan tabi’in
a. Umar bin Abdul Aziz
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H),yang merupakan khalifah ke-8 dari bani
umayyah yang hidup pada akhir abad 1 H
menganggap perlu adanya penghimpunan dan
pembukuan hadis, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran nabi setelah
wafatnya para ulama, baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. Oleh kerena itu
beliau instruksikan kepada gubernur di seluruh wilayah negeri islam agar para
ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis.
Beliau terkenal sebagai seorang
khalifah dari Bani Umayyah yang adil dan wara’ sehingga dipandang sebagai
khulafaur Rasyidin yang kelima.
b. Abu bakar Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah)
c. Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri
Az-Zuhri dinilai sebagai orang
pertama dalam melaksankakan tugas pengodifiksian hadis dari khalifah Umar bin
Abdul Aziz, dengan ungkapannya:
” Kami diperintahkan Khalifah Umar
bin Abdul Aziz untuk menghimpun sunnah, kami telah melaksanakannya dari buku ke
buku, kemudian dikirim ke setiap wilayah kekuasaan Khalifah satu buku.”
d.Imam Malik,pengarang kitab Al-Muwaththa’
e. Imam Syafi’i, pengarang kitab Musnad Asy-Syafi’i
2. Kalangan Tabi’
Tabi’in
a. Al-Bukhari
b.
Muslim
c. An-Nasa’i
d.
Abu Dawud
e.
At-Tirmidzi
f.
Ibnu Majah
3. Kalangan setelah
Tabi’Tabi’in
a.
Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (w. 36)
Karya beliau yaitu
Al- Mu’jam Al-Kabir,Al-Mu’jam Al-Awsath, Al-Mu’jam Al-Ashgar. Mu’jam Al-Kabir
membahas tentang hadis-hadis yang diperoleh berdasarkan nama sahabat
berdasarkan alfhabet.
b. Abi Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi (w. 405)
Karya beliau yaitu Al-Mustadrak yang artinya menambah
beberapa hadis sahih yang belum disebutkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim,
yang persyaratan sahihnya telah memenuhi syarat yang ditetepkan oleh keduanya.
c.
Al-Baihaqi, karya beliau yaitu kitab Sunan Al-Baihaqi
d.
Ath-Thahawi (w.321 H), karya beliau adalah Syarah Musykil Al-Atsar.[15]
E.
Perbedaan
Kitabah dan Tandwin
1. Pengertian
Kodifikasi (al-Tadwin)
Dalam bahasa Indonesia,
kodifikasi memiliki arti “Klasifikasi hukum dan undang-undang berdasarkan
asas-asas tertentu dalam buku undang-undang yang baku”. Sedangkan Kodifikasi
dalam bahasa Inggris berasal dari
codification yaitu suatu kata benda (noun) yang berarti “ kodifikasi,
penyusunan (undang-undang dan sebagainya) menurut suatu sistem.”
Kemudian kodifikasi
dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tadwin, yang berasal dari kata
dawwana, yudawwinu, tadwina, artinya membuktikan, mendaftarkan atau menulis dan
mencatat. Secara bahasa tadwin diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’
al-shuhuf). Secara luas tadwin diartikan dengan al-Jam’u (mengumpulkan).
Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagaimana yang dikutip oleh Munzeir
Saputra dalam bukunya “Ilmu Hadits”. Sebagai berikut:
تقييد المتفرق المشتت وجمعه فى ديوان او كتاب تجمع فيه الصحوف
“Mengikat yang berserak-serakan kemudian
mengumpulkannya menjadi satu diwan tau kitab yang terdiri dari
lemberan-lembaran”.
Sedangkan secara
istilah, tadwin digunakan untuk makna penyusunan dan pembukuan (التصنيف و التألف). Manna al-Khattan mengatakan bahwa tadwin
adalah mengumpulkan shahifah (lembaran-lembaran) yang sudah tertulis dan yang
dihafal dalam dada, lalu menyusunnya menjadi sebuah buku. Adapula yang
mengartikan kodifikasi hadits dengan proses pembukuan hadits secara resmi yang
dilakukan atas instruksi khalifah (Umar
bin Abdul Aziz)
Dengan demikian tadwin
adalah mengumpulkan hadits dari lembaran-lemabaran sesuai dengan cara tertentu
sehingga menjadi sebuah buku agar terpelihara dari hal-hal yang akan merusak
keaslian hadits atau bisa juga diartikan dengan proses pembukuan hadits secara
resmi yang dikodifikasikan oleh pemerintah (dalam hal ini Khilafah) dan bukan
semata-mata kegiatan penulisan hadits saja karena kegiatan penulisan hadits
sudah ada secara berkesinambungan sejak zaman Rasulullah saw. Adapun tokoh yang
dalam tadwin hadist, yaitu :
a.
Muhammad ibn
Ishaq(w 151 H)
b.
Ibn Abi Zi’bin (80-158H)di
Madinah
c.
Ibn
Juraij(80-150H)di Makkah;
d.
Al-Rabi’ ibn
Sabih(w 160H) dan Hammad Ibn Salamah(w 176H) di Basrah
e.
Sufyan Al-
tsauri(&-161H) di Kuffah
f.
Al-Auza’i(88-157H)
di Syam
g.
Ma’mar ibn
Rasyid(93-153H) di Yaman
h.
Ibn Al-Mubarok(118-181H)
di Khurasan
i.
Abdullah ibn
Wahab(125-197H) di Mesir
j.
Jarir ibn Abdul
Al-Hamid(110-188H) di Rei
2. Pengertian
Penulisan (al-Kitabah)
Mahmud Yunus dalam
kamusnya mendefinisikan al-Kitabah dengan “menulis kitab” yang berasal dari
kata: kataba, yaktubu, katban, kitaban, kitabatan. Maka penulisan merupakan
suatu peruses pembuatan, penulisan atau menuliskan sesuatu. Al-Kitabah juga
diartikan dengan perbuatan seseorang dalam menulis sesuatu pada sebuah atau
banyak lembaran/shahifah.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa penulisan (al-kitabah) adalah kegiatan mencatat
atau menulis setiap hadits yang disampaikan oleh Rasulullah saw yang sifatnya
perorangan.
3. Perbedaan
kodifikasi dengan penulisan
Berdasarkan penjelasan
diatas dalam pengertian tadwin dan kitabah, maka dapat dilihat perbedaan
mendasar antara tadwin dan kitabah jika dilihat pada beberapa segi antara lain:
a.
Kitabah sudah
muncul pada masa Rasulullah saw, sedang tadwin baru terjadi pada masa khalifah
Umar bin Abdul Aziz yaitu pada awal abad II H.
b.
Kitabah bersifat
rahasia dan atas kemauan sendiri, sedangakan tadwin lebih bersifat resmi dan
atas perintah Khalifah.
c.
Kitabah
tujuannya hanya untuk koleksi pribadi, sedangkan tujuan dari tadwin adalah
untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia.
d.
Kitabah hanya
melahirkan shahifah (lembaran-lembaran), sedangkan tadwin melahirkan buku (kitab
hadits) sebagai dokumentasi resmi hadits Rasulullah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sementara yang dimaksud dengan tadwin
hadits pada periode ini adalah pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang
berdasarkan perintah kepala Negara (khalifah), dengan melibatkan
beberapa personil yang ahli dibidangnya, bukan yang dilakukan secara
perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa
Rasulullah SAW.
1. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz
khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadits-hadits
palsu.
2. Semakin meluasnya daerah kekuasaan
islam
Rilah
berarti perjalanan untuk mendapatkan hadis. Periode pembukuan hadis terbagi 5
yaitu, masa rasulullah, sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, setelah
tabi’tabi’in.tokoh yang berperan terdiri dari kalangan tabi’in, tabi’tabi’in
dan ulama setelah tabi’ tabi’in
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sahrani Sohari, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia
Indonesia, 2010)
2.
Solahudin m. agus, Suyadi Agus, Ulumul Hadis,
(Bandung, Pustaka Setia, 2011)
3.
Majid Khon Abdul, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah,
2013)
[2]. Dr. Muhammad ibn Mathar Al-Zahrani, Tadwin
Al-Sunnah Al-Nabawiyah, Nasy’atihi wa Tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila
Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’Al-Hijri, (Thaif: Maktabah Al-Shadiq, 1412 H), Cet. I,
hlm. 73.
[9]. Abdul
Barr (w.463 H), Jmi’ Bayan …, juz 1, hlm 64 dan al-khatib al-baghdadi (w.463
H), taqyid al-ilmi, hlm.50
[10]. Lihatkitab al-jami’ (hadis nomor1395)dalam
imam malik , al-muwhattha’. Urut-urutan sanadnya, diterima dari zaid ibn ali
unaisah, dari abd al-hamid ibn Abdurrahman , dari zaid ibn al-khaththab dari
muslim ibn yasar al-juhany
[12]. Al-Ramahurmuzi, Al- Muhaddits Al-Fashil baina
al-rawi wa al-wa’I, (Beirut: Dar al-fikr, 1984), hlm.127.
Comments
Post a Comment