Skip to main content

Studi Al-Qur’an Materi QIRA’AT AL-QUR’AN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu,  di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
            Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
            Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat  telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global tentang ilmu Qira’at al-Qur’an, dapat dikatakan sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian qira’at ?
2.      Bagaimana latar belakang munculnya qira’at ?
3.      Bagaimana urgensinya dalam istimbath hukum ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan arti qira’at
2.      Mengetahui latar belakang munculnya qira’at
3.      Mengetahui urgensinya dalam istimbath hukum

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qiraat
Kata qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang secara etimologi berarti “bacaan”. Kata tersebut (qira’ah) merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja “qara’ah” (membaca)[1].
Pengertian qira’at  menurut secara terminology cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut pengertian qira’at menurut istilah:
1.      Menurut al-Zarkasyi
Qira’at merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain. Dari pengertian tersebut, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.
2.      Menurut al-Zarqani.
Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
3.      Menurut Ibn Al-Jazari
Qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaanya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya
4.      Menurut Al-Qasthalani
Qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, ladzaf, fashl, dan mashl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan
5.      Menurut Ash-Shabuni
Qira’at adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.
Perbedaan cara pendefinisiaan diatas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama bahwa ada berapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Dengan demikian, ada tiga unsur qira’at yang dapat ditangkap definisi-definisi di atas, yaitu:
a.       Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya
b.      Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi
c.       Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl.[2]
Pada intinya, bahwa Qira’at adalah mempelajari manhaj (metode, cara) masing-masing qurra’ dalam membaca Al-Qur’an.

B.     Latar Belakang Munculnya Qira’at
Qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada riwayat yang dapat mendukung asumsi itu. Suatu ketika Umar bin Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat Al-Quran. Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut Umar bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shakat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda : “Memang begitulah Al-Quran diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”.
Adanya perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada dua pendapat tentang hal ini; Pertama, Qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar  yang disebutkan dalam hadis tersebut terletak di dekat kota Madinah.
      Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
      Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
      Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira’at dari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan  orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka mengambil qira’at dari  sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda  dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
      Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab,  Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
      Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabiin, yaitu pada awal II H. Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.
      Ahli-ahli qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
      Yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
      Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
      Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at-qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing.
      Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at  adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H.  Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
      Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
      Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
      Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah  adalah qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar kemampuannya setara  dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah :  al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.  Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.[3]

C.    Urgensinya Dalam Istimbath Hukum
1.   Urgensi mempelajari qira’at
a.    Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’(4) ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam qira’at syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash member tambahan ungkapan “min umm” sehingga ayat itu menjadi:
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
Artinya:
 “Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.

Dengan demikian, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati

b.   Dapat men-tarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-Maidah (5) ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah memerdekakan budak. Namun tidak disebutkan apakah budaknya muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin.
c.    Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya haid, sebelum haidnya berakhir. Sementara qira’at yang membacanya  dengan “yuththahhirna” (didalam mushaf ‘Ustmani tertulis “yathhuma”), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d.   Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Ma’idah (5) ayat 6. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at itu tentu saja mengonsekuensikan kesimpulan yang berbeda.
e.    Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata didalam Al-Qur’an yang sulit dipahami maknanya. Misalnya, didalam surat Al-Qari’ah (101) ayat 5, yang dumaksud dengan kata “Al-ihn” adalah “Al-shuf ”
2. Pengaruhnya dalam Istimbath (Penetapan) Hukum
Perbedaan-perbedaan qira’at terkadang berpengaruh pula dalam menetapkan ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan pengaruh itu :
a.       Surat Al-Baqarah (2), 222 :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka bersuci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dang menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Berkaitan dengan ayat diatas, diantar imam qira’at tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah (qira’at ‘Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan member syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dar keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya kecuali telah bersih.
b.      Surat An-Nisa’ (4), 43:
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’i memendekkan kata lam pada kat “lamastum”, sementara imam-imam lainnya memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qira’at itu ini, terdapat tiga versi pendapat ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan sambil bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qira’at, para ulama fiqih ada yang berbendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
c.       Surat Al-Ma’idah (5), 6:
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki
Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan “arjulakum”, sementara imam-imam yang lain membacanya dengan “arjulikum”. Dengan membaca “arjulakum”, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan menyapunya. Pendapat mereka perkuat dengan berbagai hadis. Ulama-ulama Syi’ah Imamiyah berpegang pada bacaan “arjulikum” sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu. Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari Ibn ‘Abbas dan Anas bin Malik[4]

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Dari pembahasan tentang qiraat di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1.      Pengertian qira’at
Kata qira’at secara etimologi berarti “bacaan”. Pengertian qira’at secara terminology cukup beragam. Pada intinya, bahwa Qira’at adalah mempelajari manhaj (metode, cara) masing-masing qurra’ dalam membaca Al-Qur’an.
2.      Latar belakang munculnya qira’at
Qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Adanya perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qira’at. Pertama, Qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Kedua, qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabiin, yaitu pada awal II H. Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah
3.      Urgensi dalam istimbat hukum
a.       Urgensi mempelajari qira’at
·   Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.
·   Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda
·   Dapat men-tarjih hukum yang diperselisihkan para ulama
·   Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
·   Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata didalam Al-Qur’an yang sulit dipahami maknanya.
b.       Pengaruhnya dalam Istimbath (Penetapan) Hukum

B.     Saran
Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada pembaca untuk memberikan sumbangan saran serta kritikan dalam memperbaiki makalah kami untuk yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Usman. Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Penerbit Teras, 2009.
Rosihon, Anwar. Ulum Al-Quran. Bandung : Pustaka Setia, 2010.





[1] Usman, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:Penerbit Teras, 2009), hlm. 75.
[2] Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm. 140-141.
[3] Ibid., hlm. 142-145
[4] Ibid., hlm.155-159

Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.    Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam. B.      Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1.       Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80? 2.       Bagaimana tafsir, kajian eko