BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qiraat
merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak
orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya
kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya
adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah
manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang
dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan
ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung
dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain
itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus
diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan
al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar
dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini;
pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga
merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam
qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini.
Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
Meskipun
demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan
mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang
telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat telah mencurahkan segala
kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka
telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan
masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan
singkat ini akan memaparkan secara global tentang ilmu Qira’at al-Qur’an, dapat
dikatakan sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian qira’at ?
2.
Bagaimana latar belakang munculnya qira’at ?
3.
Bagaimana urgensinya dalam istimbath hukum ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan arti qira’at
2.
Mengetahui latar belakang munculnya qira’at
3.
Mengetahui urgensinya dalam istimbath hukum
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qiraat
Kata
qira’at (قراءات)
adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang secara etimologi
berarti “bacaan”. Kata tersebut (qira’ah) merupakan kata jadian (mashdar) dari
kata kerja “qara’ah” (membaca)[1].
Pengertian
qira’at menurut secara
terminology cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh
keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut pengertian
qira’at menurut istilah:
1.
Menurut al-Zarkasyi
Qira’at merupakan
perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara
pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain. Dari pengertian tersebut, tampaknya al-Zarkasyi
hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja.
Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan
bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.
2.
Menurut al-Zarqani.
Al-Zarqani
memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang
imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan
al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu
perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
3.
Menurut Ibn Al-Jazari
Qira’at
adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan
perbedaan-perbedaanya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya
4.
Menurut Al-Qasthalani
Qira’at
adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan
ulama yang menyangkut persoalan lughat, ladzaf, fashl, dan mashl yang
kesemuanya diperoleh secara periwayatan
5.
Menurut Ash-Shabuni
Qira’at
adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang imam
berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.
Perbedaan cara pendefinisiaan diatas sebenarnya berada
pada satu kerangka yang sama bahwa ada berapa cara melafalkan Al-Qur’an
walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Dengan demikian,
ada tiga unsur qira’at yang dapat ditangkap definisi-definisi di atas, yaitu:
a.
Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang
dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam
lainnya
b.
Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang
bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi,
bukan ijtihadi
c.
Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf,
i’rab, itsbat, fashl, dan washl.[2]
Pada intinya, bahwa Qira’at adalah mempelajari manhaj (metode, cara) masing-masing qurra’ dalam membaca Al-Qur’an.
B. Latar Belakang Munculnya Qira’at
Qira’at
sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun pada saat itu qira’at
bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada riwayat yang dapat mendukung asumsi
itu. Suatu ketika Umar bin Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin
Hakim ketika membaca ayat Al-Quran. Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam
sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut Umar bacaan Hisyam tidak benar dan
bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan
pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak
menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam
mengulangi bacaannya sewaktu shakat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi
bersabda : “Memang begitulah Al-Quran
diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka
bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”.
Adanya perbedaan pendapat tentang
waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada dua pendapat tentang hal ini; Pertama, Qira’at mulai diturunkan
di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian
besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya
qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini
menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at
mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang
masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.
Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis
yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an
dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar yang disebutkan dalam hadis tersebut terletak di dekat kota
Madinah.
Kuatnya
pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang
diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan
tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam
surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh
huruf.
Ketika
mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik
dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu
qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis
pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup
ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
Periwayatan
dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari
orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at
al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW
kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira’at dari
Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam,
beliau menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut.
Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka
mengambil qira’at dari sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga
berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
Dapat
disebutkan di sini para Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Usman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud,
Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
Menurut
catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabiin, yaitu
pada awal II H. Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam
dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga
ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan
Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.
Ahli-ahli
qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in
ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah,
Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin
Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj,
Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang
tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus,
Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah,
ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin
Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan
al-Sya'bi.
Sementara
Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim,
Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di
Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
Keadaan
ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang
mengkhususkan diri dalam qira’at-qira’at
tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing.
Perkembangan
selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah
menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah
Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab
yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi.
Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat
adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun
378 H. Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri
dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Menurut
Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang
pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin
Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk
puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
Pada
penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam
kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal
siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang
berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat
dimasukkan dalam kitabnya.
Ibn
Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan,
tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam
menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah adalah qira’at sab’ah
oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar
kemampuannya setara dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
Abu al-Abbas bin
Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya
Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang
mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah
seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik
jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak
terjadi syubhat.
Banyak
sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini.
Yang paling terkenal diantaranya adalah : al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i
yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i
karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan
Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati
al-Banna. Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang
membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.[3]
C. Urgensinya Dalam Istimbath Hukum
1.
Urgensi mempelajari qira’at
a. Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah
disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’(4) ayat 12, para
ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan
dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.
Dalam qira’at syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash member tambahan ungkapan “min umm” sehingga
ayat itu menjadi:
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ
يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا السُّدُسُ
Artinya:
“Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta.”
Dengan demikian, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqash dapat memperkuat dan
mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati
b. Dapat men-tarjih hukum yang diperselisihkan para
ulama. Misalnya, dalam surat Al-Maidah (5) ayat 89, disebutkan bahwa kifarat
sumpah adalah memerdekakan budak. Namun tidak disebutkan apakah budaknya muslim
atau nonmuslim. Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha.
Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin.
c. Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda.
Misalnya, dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami
dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya haid, sebelum haidnya
berakhir. Sementara qira’at yang membacanya
dengan “yuththahhirna”
(didalam mushaf ‘Ustmani tertulis “yathhuma”),
dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual
sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d. Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda
dalam kondisi berbeda pula. Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Ma’idah (5)
ayat 6. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at itu tentu
saja mengonsekuensikan kesimpulan yang berbeda.
e.
Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata didalam Al-Qur’an yang
sulit dipahami maknanya. Misalnya, didalam surat Al-Qari’ah (101) ayat 5, yang
dumaksud dengan kata “Al-ihn” adalah “Al-shuf ”
2. Pengaruhnya dalam Istimbath (Penetapan) Hukum
Perbedaan-perbedaan qira’at terkadang berpengaruh pula dalam menetapkan
ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan pengaruh itu :
a. Surat Al-Baqarah (2), 222 :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah,
‘Haid itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita pada waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
bersuci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
tobat dang menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Berkaitan
dengan ayat diatas, diantar imam qira’at tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah
(qira’at ‘Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan member syiddah pada
huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”.
Berdasarkan perbedaan qira’at ini para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai
dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan
berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti
dar keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh
melakukan hubungan seksual dengan istrinya kecuali telah bersih.
b. Surat An-Nisa’ (4), 43:
“Dan
jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Berkaitan
dengan ayat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’i memendekkan kata lam pada kat “lamastum”, sementara imam-imam lainnya memanjangkannya. Bertolak
dari perbedaan qira’at itu ini, terdapat tiga versi pendapat ulama mengenai
maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan sambil bersetubuh.
Berdasarkan perbedaan qira’at, para ulama fiqih ada yang berbendapat bahwa
persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang
berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau
berhubungan badan.
c. Surat Al-Ma’idah (5), 6:
Artinya :
“ Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki ”
Berkaitan dengan
ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan “arjulakum”, sementara imam-imam yang
lain membacanya dengan “arjulikum”.
Dengan membaca “arjulakum”, mayoritas
ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan
menyapunya. Pendapat mereka perkuat dengan berbagai hadis. Ulama-ulama Syi’ah
Imamiyah berpegang pada bacaan “arjulikum”
sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu. Pendapat yang sama
diriwayatkan juga dari Ibn ‘Abbas dan Anas bin Malik[4]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan tentang qiraat di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai
berikut :
1.
Pengertian qira’at
Kata qira’at secara etimologi berarti “bacaan”. Pengertian
qira’at secara terminology cukup
beragam. Pada intinya, bahwa Qira’at adalah mempelajari manhaj (metode, cara) masing-masing qurra’ dalam membaca Al-Qur’an.
2.
Latar belakang munculnya qira’at
Qira’at sebenarnya telah
muncul semenjak Nabi masih ada walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan
sebuah disiplin ilmu. Adanya
perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qira’at. Pertama, Qira’at mulai diturunkan
di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Kedua, qira’at mulai
diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk
Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at
dimulai pada masa tabiin, yaitu pada awal II H. Pada penghujung Abad ke III Hijriyah,
Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah
3.
Urgensi dalam istimbat hukum
a. Urgensi mempelajari qira’at
·
Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para
ulama.
·
Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda
·
Dapat men-tarjih hukum yang diperselisihkan para ulama
·
Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda
pula.
·
Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata didalam Al-Qur’an yang
sulit dipahami maknanya.
b. Pengaruhnya
dalam Istimbath (Penetapan) Hukum
B.
Saran
Dengan sangat
menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami
menyarankan kepada pembaca untuk memberikan sumbangan saran serta kritikan
dalam memperbaiki makalah kami untuk yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Usman. Ilmu
Tafsir. Yogyakarta : Penerbit Teras, 2009.
Rosihon, Anwar. Ulum
Al-Quran. Bandung : Pustaka Setia, 2010.
Comments
Post a Comment