Skip to main content

TASAWUF RAJA’ ( BERHARAP )


STUDI NASKAH TASAWUF

RAJA’ 
( BERHARAP )



             BAB I
              PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Agama Islam adalah agama yang paling sempurna, Agama islam sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan hal-hal yang terpuji. Segala tingkah laku Rasullullah SAW. Patut dijadikan teladan atau Uswatun Hasanah bagi seluruh umatnya. Beliau mempunyai sifat yang terpuji, sifat itu selalu diterapan dalam tingkah laku sehari-hari baik dalam keluarga, masyarakat, bahkan dalam pemerintahannya sehingga beliau patut di beri gelar Al Amin. Sebagai umatnya, kita wajib mencontoh prilaku prilaku beliau baik dirumah, sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Sifat-sifat terpuji tersebut adalah antara lain, menempati janji, berterima kasih , tanggung jawab, ramah, rajin, dermawan, hemat, rendah hati dan lain-lain. Namun di makalah ini sifat terpuji yang akan kita bahas ialah Raja’.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dari raja’ ?
2.      Bagaimana ciri-ciri sifat raja’ ?
3.      Bagaimana cara mencapai raja’ ?
4.      Bagaiman pemikiran Al-Ghazali tentang raja’ ?
5.      Bagaimana analisis Al-Ghazali tentang raja’ ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari raja’.
2.      Mempelajari keutamaan raja’.
3.      Mempelajarai tentang raja’.
4.      Mempelajari raja’ dari pendapat tokoh.
5.      Lebih memahami tentang raja’.




              BAB II
               PEMBAHASAN
A.    Pengertian Raja’
Raja’ (berharap) adalah ketenangan hati yang menantikan sesuatu yang dicintainya atau yang disukainya. Namun sesuatu yang dinantikan itu harus mempunyai penyebab yang bisa merealisasikannya. Apabila penyebab yang dimaksud tidak jelas wujud dan kemaujudannya, dia dinamakan kahyalan, sebab dia adalah penantian tanpa sebab yang jelas.[1]
Makruf al-Kurkhi mengatakan “Harapanmu pada rahmat Dzat yang tidak kamu taati adalah kesia-siaan dan kedunguan. Karen itulah Allah berfirman :
إنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Baqarah : 218)
Raja’ dipuji karena mendorong orang beramal, maka dari itu raja’ menyebabkan orang mau menempuh jalan mujahadah dengan beramal dan istiqamah dalam menjalankan berbagai macam ketaaatan walaupun situasi kondisi senantiasa berubah. Diantara buah raja’ adalah menikmati ketaatan kepada Allah SWT dan munajat kepada-Nya, serta membuat orang tekun memburu ridha-Nya.

B.     Ciri-ciri Sifat Raja’
Adapun ciri-ciri sifat raja’ sebagai berikut :
1.      Optimis
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia optimis orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal atau persoalan. Optimis adalah sifat terpuji, dimana sifat ini seharusnya dimiliki oleh setiap umat islam. Seorang muslim atau muslimah yang optimis tentu akan berperasangka baik terhadap Allah, dan diapun akan berusaha agar kualitas hidupnya meningkat. Umat islam yang bersifat optimis hendaknya bertawakal kepada Allah SWT.
2.      Dinamis
Kata dinamis berasal dari bahasa Belanda dynamisch yang berarti giat bekerja, tidak mau tinggal diam, selalu bergerak, dan tidak akan diam berpangku tangan. Sikap pelaku dinamis seperti itu seharusnya sesuai dengan fitrah (pembawaan) manusia yang memiliki kecenderungan untuk meningkatkan kearah yang lebih baik.
3.      Berfikir Kritis
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, berfikir kritis artinya tajam dalam penganalisaan. Bersifat tidak lekas percaya, dan sifat terlalu berusaha menemukan kesalahan, kekeliruan atau kekurangan. Orang yang memberikan pertimbangan benar atau salah, tepat atau tidakl tepat itu dinamakan kritikus.
Kritik itu ada dua macam, yaitu kritik akhlak terpuji dan kritik akhlak tercela. Kritik akhlak terpuji adalah kritik yang sehat, yang didasari dengan niat ikhlas karena Allah SWT, tidak menggunakan kata-kata pedas yang menyakitkan hati, dengan maksud memberi pertolongan kepada orang lain, dan memberi petunjuk jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan. Kritik akhlak tercela adalah kritik yang merusak, yang tidak didasari nilai ikhlas karena Allah SWT, dengan menggunakan kata-kata keji yang menyakiti hati, dan tidak memberi jalan keluar untuk permasalahan orang lain.
4.      Mengenali Diri Dengan Mengharap Keridaan Allah SWT
Salah satu cara dalam mengharap keridaan Allah SWT ialah dengan berusaha mengenali diri sendiri. Seorang mukmin yang mengenali dirinya dimanapun dan kapanpun, tentu selalu mengadakan intropeksi apakah dirinya sudah betul-betul menghambakan dirinya kepada Allah. Dan kalaupun sudah hendaknya bersyukurlah kemudian meningkatkan kualitas dirinya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.[2]
Adapun manfaat dari sifat raja’ sebagai berikut :
1.      Memperoleh keridaan Allah.
2.      Terhindar dari perbuatan dosa.
3.      Mendapatkan kepuasan hidup.
4.      Mendekatkan diri kita pada Allah SWT.
5.      Sarana penyelesaian persoalan hidup.
6.      Memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

C.    Cara Mencapai Raja’
Cara pertama melalui ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti firman Allah, katakanlah :
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Zumar : 53).
Cara kedua melalui kabar para Nabi. Didalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Umatku adalah umat yang dikasihi, tidak ada siksa atas mereka di akhirat. Hukuman mereka disegerakan di dunia berupa goncangan (gempa) dan bencana. Saat hari kiamat tiba, tiap orang dari umatku ditebus dengan seseorang dari kalangan ahli kitab, lalu dikatakan kepadanya : “Ini adalah tebusanmu dari neraka”.[3]
Cara ketiga melalui perenungan yakni dengan merenungkan semua bagian hikmah yang telah diberikan Allah azza wa Jalla kepada makhluk dengan menyandarkannya kepada diri mereka dan kepada semua ciptaan. Jika hamba telah mengetahui nikmat-nikmat Allah, yang amat luas bagi hamba-hambaNya di dunia dan mengetahui hikmahNya yang mengagumkan. Maka Allah menyediakan semua kebutuhan pokok manusia di dunia untuk menjaga kelangsungan wujudnya seperti hidup dan makanan.[4]
Ø  Cara mengendalikan Raja’
Sebagian ulama berpendapat: "Seyogyanya harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat." Karena apabila dia berbuat taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.
Sebagian yang lain mengatakan: "Hendaknya orang yang sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit memperbesar rasa harap." Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat. Dan orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia akan berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka kepada-Nya.
Sebagian lagi juga berpendapat bahwa hal ini berbeda-beda tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan lebih condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan lebih condong kepada harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter bagi dirinya sendiri apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang ditempuh tetap tidak akan sembuh.
D.    Pemikiran Al-Ghazali Tentang Raja’
Menurut al-Ghazali raja’ adalah sebagian dari maqamat para salikin dan ahwal orang-orang yang dalam pencarian untuk dekat dengan Tuhan. Hakikat dari mengharap (al-raja') dilengkapi pula dengan hal, ilm dan amal. ilm sebagai sebab yang dapat menimbulkan hal, dan hal memerlukan adanya amal. Sedang al-raja' adalah nama dari ketiganya.
Penjelasannya adalah apa saja yang dijumpai oleh seseorang tidak terlepas dari "dibenci" dan "dicintai". Kedua kondisi ini keberadaannya ada pada saat sekarang, masa lalu dan masa yang akan datang. Bila terdetik dalam hati seseorang tentang maujud hari ini dinamakan idrak (penge-tahuan) Bila terdetik dalam hati seseorang tentang maujud sesuatu di masa lalu dinamakan zikr (ingatan), dan bila terdetik dalam hati seseorang tentang maujud di masa mendatang disebut intizhar (penantian). Lalu bila yang dinanti adalah sesuatu yang dibenci, maka yang terjadi adalah luka dalam hati yang dinamakan khauf. Dan bila yang ditunggu adalah sesuatu yang dicintai, maka yang terjadi adalah penantian yang menambat hati dengan berbagai kesenangan dan kelapangan (al-irtiyah). Kelapangan inilah yang dinamakan al-raja'. Dengan demikian, al-raja' adalah kelapangan atau terbuka lebarnya hati dalam menantikan sesuatu yang dicintainya. Namun begitu, sesuatu yang dinanti dan dicintai itu adalah suatu "keharusan", nyata adanya dan perlu adanya berbagai upaya.
Penjelasan al-Ghazali berikutnya adalah hakikat al-raja' diketahui sebagai hal yang dihasilkan oleh ilmu yang keduanya berjalan bila didahului oleh upaya-upaya yang tidak sedikit. Hal al-raja' dapat dicapai manakala ada kesungguhan upaya yang ada. Katanya, bila benihnya baik, tanahnya subur dan airnya cukup, maka benarlah harapnya (al-raja'). Dan katanya lagi, mengharap (al-raja') itu terpuji karena membangun rasa optimis dan putus asa itu tercela karena menghalangi amal. Sedang khauf adalah pasangan dari raja'.
Dengan mengutip sejum­lah ayat dan hadits, al-Ghazali menjelaskan keutamaan al-raja'. Takut kepada Tuhan (khauf) berdampingan dengan harapan dan penantian (raja), sehingga mengandung pengertian bahwa al-khauf dan al-raja' adalah dua perkara yang tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan upaya-upaya untuk mendekati Tuhan, sebagai Zat Yang diharap-harap dalam penantian, Zat Yang diharapkan adalah sesuatu yang dicintai seorang hamba menuju kebahagiaan yang tiada akhir.[5]

E.     Analisis Al-Ghazali Tentang Raja’
Al-Ghazali menegaskan bahwa raja’ adalah berharap, untuk mencapai harapan ini para salik harus menempuh jalan menuju Allah yaitu melalui ahwal, hal dan ilm. Raja’ disini adalah sebagai jembatan ketiganya atau nama dari ketiga maqam tersebut. Hakikat raja’ adalah suatu ilmu yang diketahui yang berjalan bila didahului deengan upaya-upaya yang tidak sedikit dan membutuhkan perjuangan. Raja’ adalah sifat yang baik, bikan sifat yang tercela. Dan putus asa adalah lawan dari sifat raja’, maka dari itu raja’ setidaknya di tanamkan kepada seluruh umat muslim.













                BAB III
                PENUTUP
A.    Kesimpulan
Raja’ adalah berharap, atau bisa dibilang sikap terpuji yang harus dimiliki oleh setiap orang. Sifat raja’ dibutuhkan untuk mencegah sifat putus asa, atau sifat tercela yang dimiliki oleh orang-orang yang gampang pesimis. Karena raja’ disini merupakan sifat optimis, jadi lawannya dari sifat pesimis.
Al-Ghazali juga mengatakan bahwa raja’ ini adalah suatu maqam yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk bisa lebih dekat dengan Allah SWT.




----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


             DAFTAR PUSTAKA
Syaikul Islam Ibnu Qadamah. Agar Orang Bisa Masuk Surga, (Lawean Surakarta: Indiva Pustaka, 2009)
http://prasetyaerick1.blogspot.co.id/2012/12/raja.html Diakses pada Rabu, 15/03/2017 pukul 09:09
Syekh Yahya Ibn Hamzah al-Yamani. Pelatihan Lengkap Tazkiyatun Nafs (Jakarta: Dar al-Hikmah al-Yanabiyyah, t.t, 2012)


[1] Syaikul Islam Ibnu Qadamah. Agar Orang Bisa Masuk Surga, (Lawean Surakarta: Indiva Pustaka, 2009) hal 371
[2]http://prasetyaerick1.blogspot.co.id/2012/12/raja.html Diakses pada Rabu, 15/03/2017 pukul 09:09
[3] Syekh Yahya Ibn Hamzah al-Yamani. Pelatihan Lengkap Tazkiyatun Nafs (Jakarta: Dar al-Hikmah al-Yanabiyyah, t.t, 2012) hal 415, 417
[4] Ibid., 419





 

Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.    Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam. B.      Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1.       Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80? 2.       Bagaimana tafsir, kajian eko