Skip to main content

Qawaid Fiqhiyyah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam hukum islam dikenal istilah Fiqh, Ushul fiqh, dan Qawaid fiqhiyyah dll. Adapun fiqh adalah produk yang dihasilkan oleh ushul fiqh ataupun qawaid fiqhiyyah. Adapun penegrtian lain dari fiqih dikemukakan oleh al-Jurjani al-Hanafi: “ilmu yang menerangkan hukum-hukum syar’ yang amaliayah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan di istinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa danperenungan”. Adapaun pengertian dari qawaid fiqhiyah yaitu qawaid fiqhiyyah(kaidah-kaidah fiqh) secara etimologi adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqh. Bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannnya dalam arti bisaditerapkan kepada Juz’iyatnya (bagian-bagiannya).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian qawaid fiqhiyyah?
2.      Apa saja urgensi qawaid fiqhiyyah?
3.      Apa perbedaan antara fiqh dengan kaidah ushuliyah?

C.    Tujuan Makalah
1.         Untuk memahami penegrtian qawaid fiqhiyyah.
2.         Untuk mengetahui apa saja urgensi qawaid fiqhiyyah.
3.         Untuk memahami perbedaan antara fiqh dengan kaidah ushuliyyah.


 
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid fiqhiyah merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu kata qawaid dan fiqhiyyah, masing-masing memiliki pengertian tersendiri. Dasar-dasar (fondasi) sesuatu, baik yang bersifat konkret, materi atau inderawi seperti fondasi rumah maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non inderawi seperti ushuludin (dasar-dasar negara).[1]
Kaidah yang berarti dasar-dasar yang bersifat materi telah dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 127 dan surah an-Nahl (16) ayat 26 yang artinya  “dan ingatlah ketika ibrahim meninggalkan dasar-dasar (fondasi) Baitullah beserta Ismail” dan yang artinya “maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”. Qawaid merupakan bentuk jama’ dari lafaz kaidah yang menurut bahasa artinya dasar atau asas atau fondasi.[2]
Itulah arti qawaid secara bahasa, sedangkan arti kata fiqhiyyah yang berasal dari kata fiqh secara bahasa berarti pengetahuan, pemahaman, mengetahui kebaikan dan keburukan dalam memahaminya, dan memahami maksud pembicara dan perkataannya. Sedangkan pengertian fiqh menurut istilah para ulama ahli fiqh mutakhir memberikan arti fiqh secara eksklusif yaitu berkisar pada hukum-hukum yang amaly (praktis) yang diambil dari dalil-dalil yang tafshily (terperinci).
Secara etimologi kata fiqih lebih dekat kepada makna ilmu sebagaimana firman Allah dalam surah at-Taubah (9) ayat 122 yang artinya “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya kemedan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memberi peringatan kepada kaumnya apbila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” juga tertulis dalam hadits nabi yang artinya “siapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, akan diberikannya pemahaman dalam agama” (HR.Muslim dari Muawiyyah).
Dari penejelasan diatas dapat disimpulkan bahwa qawaid fiqhiyyah menurut etimologi (bahasa) berarti dasar-dasar atau fondasi ilmu atau pemahaman.
Secara terminologi, kaidah fiqhiyyah adalah ketentuan hukum yang bersifat umum yang mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat keumumannya dan atau totalitas nya. Adapun secara umum, fuqahâ terbagi kepada dua kelompok pendapat berdasarkan pada penggunaan kata kullî di satu sisi dan kata aghlabî atau aktsari di sisi lain. Pertama, fuqahâ yang berpendapat bahwa kaidah fiqhiyyah adalah bersifat kullî mendasarkan argumennya pada realitas bahwa kaidah yang terdapat pengecualian cakupannya berjumlah sedikit dan sesuatu yang sedikit atau langka tidak mem punyai hukum. Kedua, fuqahâ berpendapat bahwa karakteristik kaidah fiqhiyyah bersifat aghlabiyah atau aktsariyah, karena realitasnya kaidah fiqhiyyah mempunyai keterbatasan cakupannya atau mempunyai pengecualian cakupannya sehingga penyebutan kulli dari kaidah fiqhiyyah kurang tepat.[3] Adapun persamaan dan perbedaan qawâ’id fiqhiyyah dengan dhawâbith fiqhiyyah serta nazhâriyah fiqhiyyah adalah sebagai berikut:
1)      Qawâ’id fiqhiyyah dengan dlawâbith fiqhiyyah  Keduanya memiliki kajian yang sama berupa kaidah yang terkait dengan fikih. Yang membedakan adalah cakupan keduanya di mana qawâ’id fiqhiyyah, selanjutnya disebut kaidah fikih, lebih luas cakupannya dari dlawâbith fiqhiyyah yang hanya mengkhususkan diri pada satu bab fikih tertentu.
2)        Qawâ’id fiqhiyyah dengan nazhâriyah fiqhiyyah  Keduanya memiliki kajian yang sama tentang pelbagai permasalahan fikih dalam pelbagai bidang atau bab. Perbedaanya adalah kalau kaidah fikih mengandung hukum fikih dan bersifat aplikatif sehingga dapat diterapkan pada cabangnya masingmasing, sedangkan nazhâriyah fiqhiyyah berupa teori umum tentang hukum Islam yang dapat diaplikasikan pada sistem, tema dan pengembangan perundang-undangan.
B.      Urgensi Kaidah Fiqhiyyah 
Adapun urgensitas kaidah fiqhiyyah terlihat dari paparan Abû Zahrah tentang batasan ijtihad:
استفراغ الجد وبذل غاية الوسع إما فى استباط الاحكام الشرعية وإما فى تطبيقها
“Pengerahan kesungguhan dan pencurahan daya upaya, baik dalam mengeluarkan hukum syara’ maupun penerapannya.” [4]
Abû Zahrah membagi ranah ijtihad pada dua bidang. Pertama, ijtihad yang terkait dengan penggalian hukum dan penjelasannya dan kedua, ijtihad yang berkaitan dengan penerapan hukum. Ijtihad model pertama versi Abû Zahrah adalah ijtihad yang sempurna dan khusus bagi kelompok ulama yang berusaha mengetahui hukum-hukum cabang yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang rinci. Menurut jumhur ulama, ijtihad seperti ini dapat terputus pada suatu zaman meskipun kalangan Hanâbilah berpendapat bahwa suatu zaman tidak mungkin kosong dari ijtihad ini. Ijtihad model kedua, ulama sepakat bahwa suatu zaman tidak mungkin kosong dari model ijtihad kedua. Mereka adalah mujtahid yang men-takhrij dan me nerapkan ‘illat-‘illat hukum yang digali dari persoalan-persoalan cabang yang telah digali oleh ulama terdahulu. Dengan metode tathbîq (aplikasi) ini, akan tampak hukum pelbagai masalah yang belum diketahui oleh mujtahid model pertama di atas. Pola ijtihad mujtahid model kedua ini lazim disebut dengan tahqîq almanâth (penetapan dan penerapan illat).
Al-Qarâfi secara garis besar berpendapat tentang urgensi kaidah fiqhiyyah ada tiga:
1.       kaidah fiqhiyyah mempunyai kedudukan istimewa dalam khazanah keilmuan Islam karena kepakaran seorang faqîh sangat terkait erat dengan penguasaan kaidah fiqhiyyah.
2.      dapat menjadi landasan berfatwa.
3.       menjadikan ilmu fikih lebih teratur sehingga mempermudah seseorang untuk mengidentifikasi fikih yang jumlahnya sangat banyak. Al-Zarkasyî berpendapat bahwa mengikat perkara yang bertebaran lagi banyak (fikih), dalam kaidah-kaidah yang menyatukan (kaidah fiqhiyyah) adalah lebih memudahkan untuk dihapal dan dipelihara.[5] Adapun Mustafâ al-Zarqâ’ berpendapat bahwa urgensi kaidah fiqhiyyah menggambarkan secara jelas mengenai prinsip-prinsip fikih yang bersifat umum, membuka cakrawala serta jalan-jalan pemikiran tentang fikih. Kaidah fiqhiyyah mengikat pelbagai hukum cabang yang bersifat praktis dengan pelbagai dhawâbit, yang menjelaskan bahwa setiap hukum cabang tersebut mempunyai satu manât (illat/alasan hukum) dan segi keterkaitan, meskipun obyek dan temanya berbeda-beda.[6]
Dari beberapa pendapat fuqahâ di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Kaidah fiqhiyyah adalah ranah ijtihad dalam menerapkan ‘illat hukum yang digali dari permasalahan-permasalahan hukum cabang berdasarkan hasil ijtihad mujtahid mutlak.
2.      Kaidah fiqhiyyah mempunyai peran penting dalam rangka mempermudah pemahaman tentang hukum Islam, di mana pelbagai hukum cabang yang banyak tersusun menjadi satu kaidah.
3.      Pengkajian kaidah fiqhiyyah dapat mem  bantu memelihara dan mengikat pelbagai masalah yang banyak dan saling bertentangan, menjadi jalan untuk meng hadirkan pelbagai hukum.
4.      Kaidah fiqhiyyah dapat mengembangkan malakah zhihiyah (daya rasa) fikih seseorang, sehingga mampu mentakhrij pelbagai hukum fikih yang tak terbatas sesuai dengan kaidah mazhab imamnya.
5.      Mengikat pelbagai hukum dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukumhukum ini mempunyai kemaslahatan yang saling berdekatan atau mempunyai kemaslahatan yang besar.

C.     Perbedaan fiqih dan ushliyah
Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih terletak pada kesamaan sebagai wasilah pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah dalam kajian syari’ah. Oleh karena ittu, dalam perspektif ini kaidah ushul sangatlah mirip dengan kaidah fiqih.
Namun disisi lain kita juga bisa melihat perbedaan yang signifikan dari kedua kaidah tersebut, secara ringkas perbedaan tersebut yaitu sebagai berikut:
1.         Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtah didalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syari’ah amaliah . kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan sebuah hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami bahwa kaidah ushul bukanlah sebuah hukum, ia hanyalah sebuah alat bantu atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan kaidah fiqih adalah suatu sususnan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup dibahwahnya furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah suatu hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum layaknya kaidah ushul. Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukkan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita  bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil baik al-Qur’an maupun Hadits yang bermakna perintah menunjukkan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqh “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
2.          Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih teksnya terkandng kedua hal tersebut.
3.         Kaidah ushul yakni kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ dibawahnya. Sehingga istina’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqh yang banyak terdapat istina’iyyah , karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4.         Perbedaan antara kaidah ushul  dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik iu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
5.         Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedidkit dari kaidah-kaidah fiqih.
6.         Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqih. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qat’i . adapun kaidah-kaidah fiqih ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqih bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqih.[7]



BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Qawaid fiqhiyyah/ kaidah fiqhiyyah adalah ketentuan hukum yang bersifat umum yang mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat keumumannya dan atau totalitas nya. Adapaun keutamaan dari qawaid fiqhiyyah yakni kaidah fiqhiyyah mempunyai kedudukan istimewa dalam khazanah keilmuan Islam karena kepakaran seorang faqîh sangat terkait erat dengan penguasaan kaidah fiqhiyyah. Dan dapat menjadi landasan berfatwa, serta menjadikan ilmu fikih lebih teratur sehingga mempermudah seseorang untuk mengidentifikasi fikih yang jumlahnya sangat banyak.
Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih terletak pada kesamaan sebagai wasilah pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah dalam kajian syari’ah. Oleh karena ittu, dalam perspektif ini kaidah ushul sangatlah mirip dengan kaidah fiqih. Namun keduanya tetaplah memiliki perbedaan misalnya seperti Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih teksnya terkandng kedua hal tersebut.dll






[1] Muhammad bin Abi Bakar al-Razi, mukhtar al-shahah, (Mesir Dar al-Nahdah, t.th.), hlm. 544
[2] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, (jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.2
[3] Abdul Haq, dkk, Formalisasi Nalar Fikih, (Surabaya: Khalista, 2009), hal. 8-11

[4] Abû Zahrah, Ushûl Fiqh, hal. 379
[5] Alî Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, cet. ke-5, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2000), hal. 326
[6] Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, Juz II, cet. ke-7, (Damaskus: Mathba’ah Jâmi’ah, 1983), hal. 943.
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’idu al-fiqhi al-islami: Dirasah ‘ilmiyyah Tahliliyyah Muqaranah, (‘Ain Syams: Maktab al-Risalah al-Daulliyyah, 1999), hal. 25

Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.    Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam. B.      Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1.       Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80? 2.       Bagaimana tafsir, kajian eko