Tafsir Ahkam 1 Ayat Radha’ah
A.
Naskah Ayat Al
Qua’an QS. Al Baqoroh (2): 233 dan Terjemahnya
(القرآن
الكريم) (ص: 27)
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ
تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا
وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ
أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ آتَيْتُم
بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللَّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ (البقرة 233)
Terjemahan
Dan ibu-ibu hendaknya menyusui
anak-anaknya selama dua tahun, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan
kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupanya. Janganlah seorang ibu
menderita karena anaknya dan janganlah pula seorang ayah (menderita) karena anaknya.
Ahli warispun (berkewajiban) seperti itu pula. Apa bila keduanya ingin menyapih
dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada kepada orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu dengan memberikan pembayaran dengan cara yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu
kerjakan. (Al Baqoroh 233)
B.
Kosa Kata Kunci
والوالدات
|
=
|
kata jama dari kata al walidah
yang artinya ibu sedangkan al walid berarti ayah
|
يرضعن
|
=
|
Mereka
(para ibu) menyusui
|
اولادهن
|
=
|
Anak-anak
mereka
|
حولين
|
=
|
Dua
bulan
|
كاملين
|
=
|
Yang
sempurna
|
أن يتم
|
=
|
Ia
menyempurnakan
|
الرضاعة
|
=
|
Penyusuan
|
المولودلة
|
=
|
Bapak/Ayah
|
فصالا
|
=
|
Menyapih
|
تشاور
|
=
|
Saling
Musyawarah
|
أن تسترضعوا
|
=
|
Kamu
meminta menyusui (anakn-anaknmu)
|
C.
Munasabah Ayat
Munasabah ayat ini dengan ayat
terdahulu, yaitu bahwa Allah SWT. Telah menyebutkan beberapa ayat tentang hukum
yang berhubungan dengan pernikahan, talaq, iddah, ruju’dan adhal. Ia (Allah)
telah menyebutkan dalam ayat ini hukum susuan karena talaq menimbulakn
perpisahan. Bagai mana suami yang metalaq istrinya, dan ia mempunyai anak yang
masih menyusui?, maka ayat ini menjelaskan tentang hukum menyusui.[1]
D.
Tafsir Ayat
Firman Allah
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Ayat ini mengisyaratkan bahwa
menyusui adalah kewajiban para ibu. Mekipu seorang perempuan telah bercerai
dari suaminya, ia masih berkewajiban menyusui anaknya. Seorang ibu tidak boleh
kehilangan rasa kasih sayang pada anaknya sehingga rela anaknya disusui oelh
sapi, kambing dan keledai.
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa
menyusui selama dua tahun bukanlah kewajiban. Ia adalah suatu kesempurnaan.
Kedokteran telah membuktikan bahwa makanan terbaik bagi bayi adalah ASI. Sampai
masa kini, ASI tidak tergantikan.[2]
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Yakni menurut Ibnu Katsir besarnya
nafkah kepada istri disesuaikan dengan kebiasaan yang ada disuatu negara. Dan
tidak berlebihan dan boros, serta disesuaikan dengan kemampuan dan kesanggupan
suami. Sebagaimana firman Allah dalam surat QS. At Thalaq ayat 7.[3]
يُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ
مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ
اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا(الطلاق)
Artinya: Hendaknya orang yang mampu
memberi nafkah menurutkemampuanya. Dan orang yang disempikan rizkinya hendaknya
memberinafkah yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.
Allah kelak akan memberi kelapangan sesudah kesempitan.
Firman Allah
لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ
وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ
مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن
تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُم مَّآ آتَيْتُم
بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللَّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ
Seseorang tidak
dibebani melainkan dengan kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apa bila keduanya inginmenyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan. Maka tidak ada dosa atas
keduanya. Meurut Ibnu Katsir kedua orangtua tersebut harus bermusyawarah dalam
hal menyapih sebelum umur dua tahun, bila keduanya sepakat untuk menyapih, maka tetap harus mempertimbangkan
kemaslahatan bagi anak (bayi) tersebut.[4]
Dan jika kamu ingin anaknya disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran yang patut. Bertaqwalah kamu
pada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha lihat apa yang kamu kerjakan.
E.
Kandungan Hukum
1.
Dianjurkan
dengan dangat agar seorang ibu menyusui bayinya selama dua tahun.
2.
Ayah mempunyai
kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarganya.
3.
Boleh hukumnya
tidak menyusui selama dua tahun, asal diputudkan secara musyawawarah antara
kedua orangtuanya, dan tetap mempertimbangkan kemaslahaatan bayi tersebut.
A.
Naskah
Ayat Al Qur’an QS. Ath-Thalaq : 6 - 7 danTerjemahanya
Artinya : Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)muuntukmu, maka berikanlah kepada mereka
upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. ( 6 )
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang, melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberi kelapangan
sesudah kesempitan. ( 7 )
B. Kosa Kata Kunci
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ
|
Tempatkanlah mereka (para
istri) di mana kamu bertempat
tinggal
|
|
مِنْ وُجْدِكُمْ
|
menurut kemampuanmu
|
|
وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
|
dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka
|
|
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
|
kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)muuntukmu
|
|
سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
|
Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan
|
C. Asbab An-Nuzul
Ibnu Jari, Ishaq
bin Rahwaih, al-Hakim dan lainya meriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab yang berkata,
“Ketika turun ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah, yaitu yang berbicara tentang
masa iddah beberapa kelompok wanita, para sahabat berkata, ‘Masih ada beberapa golongan
wanitalagi yang belum ditetapkan masaiddahnya, yaitu yang masih kecil, yang
sudahtua (sudah menopause), dan wanita yang sedanghamil’. Allah lalu menurunkan
ayat ini”. Riwayat ini sanadnya sahih.
Muqatil
juga meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa suatu ketika khallad bin Amru bin
jamuh bertanya kepada Rasulullah tentang iddah wanita yang tidak haid, sebagai responya,
turunlah ayat ini.
D. Tafsir
QS. Ath –Thalaq ayat 6
Menurut
ayat أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ, yaitu apabila
suami telah mentalaq istrinya, maka si istri boleh tinggal di rumah bekas
suaminya selama masa iddah. Maksud ayatوَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ, yaitu suami tidak boleh
menyusahkan atau membuat dia tidak nyaman atau menyebabkan dia keluar dari
rumah dalam keadaan miskin. Maksud ayat وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ
أُخْرَى, yaitu
jika dia sedang hamil, maka suami wajib memberikan nafkah kepadanya sampai dia
melahirkan. Kemudian jika mereka menyusukan bayi tersebut. Maka bekas suaminya
wajib memberikan upahnya dan hendaklah mereka berdua melakukan musyawarah
segala sesuatu dengan baik, dan jika mereka menemui kesulitan, maka perempuan
lain boleh menyusukan bayi tersebut.
Tafsir QS. Ath –Thalaq ayat 7
Maksud
ayat, لِيُنْفِقْ ذُو
سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ , yaitu orang tua wajib memberikan nafkah kepada anaknya, atau bila
dia tidak mempunyai porang tua maka walinya wajib memberikan nafkah kepada anak
tersebut, disesuaikan dengan kemampuan orang tuanya atau walinya tersebut.
Sedangkan maksud ayatوَمَنْ
قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْمِمَّاآتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا, yaitu Nafkah orang tua yang mempunyai lebih tentu tidak sama dengan
oarang yang kurang mampu. Ayat ini sesuai juga dengan firman Allah suah
al-Baqarah ayat : 287 لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا, “ Allah tidak membedakan seseoarng kecuali sesuai kemampuannya”.
E.
Kandungan
Hukum
1.
Iddah
wanita menopause dan yang tidak menstruasi adalah selama tiga bulan .
2.
Iddah
wanita hamil adalah sampai melahirkan .
3.
Wanita
yang telah dicerai oleh suaminya, maka berlaku baginya nafkah iddah.
4.
Wanita
yang menyusui anak dari mantan suaminya, maka berlaku diberikan upah oleh
mantan suaminya.
5.
Suami
walupun sudah bercerai dengan istrinya, makan dia wajib memberikan nafkah
kepada anaknya sesuai dengan kemampuannya.[5]
A.
Surat
An- Nisaa ayat 23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ
اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الاَّتِي فِي حُجُورِكُم
مِّن نِّسَآئِكُمُ الاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم
بِهِنَّ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلآَئِلُ أَبْنَآئِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَاقَدْ سَلَفَ إِنَّ
اللهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Terjemahan
Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa ayat 23)
B.
Kosa kata kunci
Mufradat surat An- Nisa ayat 23
a
C.
Sabab
Asbabun Nuzul
Ayat
ini diturunkan sehubungan dengan kasus Hushin bin Abi Qais, Aswad bin Khallaf,
Shafwan bin Umayyah dan Manshur bin Ma’zam. Mereka menikahi istri ayah mereka
sendiri, Asy’at bin Sawar berkata, “ Setelah Abu Qais meninggal, dia termasuk
orang shaleh dari kalangan orang-orang Anshar, maka anaknya (Qais) melamar
istrinya itu. Perempuan tersebut berkata, saya sudah menganggap kamu sebagai
anak, tetapi saya akan datang minta izin pada Rosulullah. Kemudian wanita itu
pergi menemui Rosulullah menceritakan lamaran Qais.
D.
Munasabah
Ayat
Pernikahan
adalah sesuatu yang sangat sakral, bukan hanya sekedar membahas tentang jasmani
akan tetapi juga rohani. Walaupun manusia diciptakan berpasang-pasangan kita
tidak boleh sembarangan dalam memilih pasangan didalam pernikahan. Ada
wanita-wanita yang dilarang untuk kita nikahi.
E.
Tafsir
ayat
Firman Allah
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ
Diharamkan bagi kamu (menikahi)
ibumu, anakmu, saudara perempuanmu, saudara perempuan ayahmu, saudara perempuan
ibumu, anak perempuan saudara laki-lakimu, anak perempuan saudara perempuanmu.
Ayat
ini menjelaskan, terdapat tujuh golongan wanita yang haram dinikahi karena
adanya hubungan darah atau keturunan (nasab). Pertama, ibu kandung,
termasuk dalam kategori : ibu; nenek; ibu nenek, dan seterusnya, baik dari
pihak ibu ataupun dari pihak ayah. Kedua,
anak kandung, termasuk dalam kategori anak kandung itu, cucu, anak cucu, dan
seterusnya. Ketiga, saudara, baik
seibu sebapak maupun sebapak atau seibu. Keempat,
anak saudara laki-laki, termasuk dalam kategori ini anak dari anak saudara
laki-laki (cucu saudara laki-laki), dan seterusnya. Kelima, anak saudara perempuan, cucu saudara perempuan, dan
seterusnya. Keenam, saudara ayah
(bibi), termasuk dalam kategori ini saudara kakek dan seterusnya. Ketujuh,
saudara ibu (tante), termasuk dalam kategori ini saudara nenek dan seterusnya.
Firman Allah
وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَة
Ibu yang menyusukan kamu dan
saudara yang sesusuan dengan kamu.
Ayat ini memperbincangkan
wanita-wanita yang haram dinikahi karena ada hubungan sesusuan (radha’ah).
Yaitu seseorang tidak boleh menikahi wanita yang pernah menyusukannya di waktu
kecil dan orang-orang yang pernah menyusu kepada wanita tersebut. Juga termasuk
haram dinikahinya orang-orang yang ada hubungan nasab dengan wanita atau anak
wanita tersebut. Nabi menjelaskan dengan sabdanya:
عَنْ عَمْرَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَإِنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ
رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا
رَسُولَ للَّهِ هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِكَ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرَاهُ فُلَانًا لِعَمِّ
حَفْصَةَ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ ا يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ
فُلَانٌ حَيًّا لِعَمِّهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ دَخَلَ عَلَيَّ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنَّالرَّضَاعَةَتُحَرِّمُمَاتُحَرِّمُالْوِلَادَة
“Dari ‘Amrah
bahwasannya Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa waktu itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berada di sampingnya, sedangkan dia (‘Aisyah)
mendengar suara seorang laki-laki sedang minta izin untuk bertemu Rasulullah di
rumahnya Hafshah, ‘Aisyah berkata; Maka saya berkata; “Wahai Rasulullah, ada
seorang laki-laki yang minta izin (bertemu denganmu) di rumahnya Hafshah”. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya kira fulan itu adalah
pamannya Hafshah dari saudara sesusuan.” Aisyah bertanya; “Wahai Rasulullah,
sekiranya fulan tersebut masih hidup -yaitu pamannya dari saudara sesusuan-
apakah dia boleh masuk pula ke rumahku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjawab: “Ya, sebab hubungan karena susuan itu menyebabkan Mahram
sebagaimana hubungan karena kelahiran.” (H.R.Muslim) (Shohih
Muslim:7, 328)
Makna
hadis di atas; semua wanita yang diharamkan karena hubungan kekerabatan nasab
seperti ibu, putri, saudari, dan sebagainya maka hukum yang sama berlaku pada
wanita yang memiliki hubungan kekerabatan karena persusuan. Aisyah termasuk
mahram bagi saudara Abu al-Qu’ais karena istri Abu Al-Qu’ais pernah menyusui
Aisyah, sehingga hubungan kekerabatan antara Aisyah dengan saudara Abu
al-Qu’ais adalah Aisyah sebagai putri saudara Abu ‘Al-Qu’ais karena persusuan.
Firman Allah
وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الاَّتِي
فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ الاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Ibu
istrimu, anak tiri dalam jagaanmu dari istrimu yang telah kamu pergauli. Akan
tetapi, jika kamu belum pernah menggauli istri kamu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka kamu tidak berdosa mengawininya.
Termasuk juga perempuan yang haram dinikahi adalah ibu
(mertua) dan anak tiri. Secara zhahir, terdapat dua syarat bagi haramnya
menikahi anak tiri. Pertama, ibunya
sudah digauli, jika belum digauli maka anak tiri tersebut boleh dinikahi. Dan
syarat kedua adalah anak tiri itu
berada dalam didikan, penjagaan, atau tanggung jawabnya. Akan tetapi, jika dia
tidak berada dalam tanggung jawab ayah tirinya itu, maka dia boleh dinikahi
oleh ayah tiri tersebut. Syarat pertama disepakati oleh para ulama. Sedangkan
syarat yang terakhir tidak mereka sepakati.
Firman Allah
وَحَلآَئِلُ أَبْنَآئِكُمُ الَّذِينَ
مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَاقَدْ سَلَفَ
إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيم
Termasuk
juga perempuan yang haram dinikahi adalah ibu (mertua) dan anak tiri. Secara
zhahir (Dan haram juga bagimu) istri anak kandungmu, dan memadu dua perempuan
bersaudara, kecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyanyang.
Penggalan ayat ini menegaskan dua hal yang haram
dikerjakan oleh seorang muslim, yaitu menikahi istri anak atau menantu dan
memadu dua orang perempuan yang bersaudara. Larangan dalam ayat diatas adalah
secara mutlak. Ia tidak menjelaskan syarat apa-apa, baik menantu itu telah
digauli sebelum diceraikan oleh anaknya maupun belum digauli. Oleh karena itu,
ayat tersebut harus juga dipahami secara mutlak. Maka sang ayah tidak boleh
menikahi janda anaknya.
Berdasarkan ayat diatas, maka secara umum ada empat
kategori wanita yang haram dinikahi, yaitu karena ada hubungan nasab
(keturunan), persemendaan (mushaharah), sesusuan (radha’ah) dan wanita yang
sudah menikah. Wanita yang haram dinikahi karena ada hubungan darah adalah:
1.
Ibu, nenek dan seterusnya.
2.
Anak perempuan, cucu dan seterusnya.
3.
Saudara perempuan.
4.
Anak saudara perempuan, cucu dan seterusnya.
5.
Anak saudara laki-laki, cucu dan seterusnya.
6.
Saudara perempuan ayah, saudara perempuan kakek dan
seterusnya.
7.
Saudara perempuan ibu, saudara perempuan nenek dan
seterusnya.
Adapun yang
haram dinikahi karena sesusuan adalah setiap orang yang ada hubungan nasab
dengan anak ibu yang menyusukan itu. Wanita yang haram dinikahi disebabkan oleh
hubungan persemendaan (mushaharah) adalah:
1.
Ibu tiri.
2.
Anak tiri.
3.
Janda anak kandung.
4.
Ibu istri atau mertua.
Selain dari
hubungan nasab, mushaharah dan sesusuan diharamkan juga menikahi wanita yang
bersuami, kecuali wanita itu seorang budak yang tertawan dalam peperangan dan
suaminya tidak ikut dalam tertawan bersamanya. Majikan yang memiliki budak
tersebut boleh menikahi budak itu. Demikian pula budak yang dibeli, majikan
boleh mempergauli budak itu.[6]
F.
Kandungan Hukum
Perempuan-perempuan
yang haram dinikahi oleh yaitu:
1.
Wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu
2.
Ibu-ibumu
3.
Anak-anakmu yang perempuan
4.
Saudara-saudara yang perempuan
5.
Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
6.
Saudara-saudara ibumu
yang perempuan
7.
Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki
8.
Anak-anak perempuan dari saudara perempuan
9.
Ibu-ibu yang menyusui kamu
10. Saudara-saudara
perempuan sepersusuan
11. Ibu-ibu
istrimu (mertua)
12. Anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri
13. Istri-istri
anak kandungmu
14. Dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara.
15. Wanita yang
bersuami.[7]
Kesimpulan
Bahwa
pemeliharaan anak adalah wajib hukumnya bagi kedua orang tua dan sekiranya
terjadi perceraian, maka anak tidak boleh menjadi korban perceraian tadi. Dan
juga seorang laki-laki bertanggung jawab memenuhi keperluan-keperluan mendasar
kelaurga serta wanita tidak memiliki tanggung jawab mengenai pemenuhan biaya
hidup.
Dengan
panggalan ayat at Talaq 7-8 ini jelaslah bahwa seorang suami wajib memberi
nafkah atau perbelanjaan untuk isterinya, menurut kemampuannya. Jika ia orang
yang mampu berikanlah menurut kemampuan. Dan orang yang terbatas rezekinya,
yaitu orang yang terhitung tidak mampu. Mereka yang berkemampuan terbatas itu
pun juga wajib memebrikan nafkah menurut keterbatasannya.
Dan dari ayat 23 surah An-Nisa kita di larang menikahi
seorang wanita yang ada hubungan nasab dan persusuan dengan kita. Berarti
hukumnya haram apabia kita menikah , akibat hubungan yang di timbulkan oleh
nasab.
Daftar
Pustaka
- Ali As-shabuni Muhammad, Rawa’I al-bayan fi tafsiri ayat al-ahkam min al-qur’an, jilid I
- M. Yusuf Kadar, Tafsir Ayat Ahkam,(Jakarta: Bumi aksara, 2011)
- Al-Qathan, Tafsir al-Qathan, (E-Book; Al-maktabah al-syamilah, Tth), Jilid 1
[1]
Muhammad Ali As-shabuni, Rawa’I al-bayan fi tafsiri ayat al-ahkam min
al-qur’an, jilid I, Loc. Cit, hlm.350
[2]
Imtihan As-Syafi’I, Loc. Cit, hlm. 17
[3]
Ibnu Katsir, Jilid I, Loc. Cit, hlm. 634
[4]
Ibid
[7]
Al-Qathan, Tafsir al-Qathan,
(E-Book; Al-maktabah al-syamilah, Tth), Jilid 1, hlm, 280
Comments
Post a Comment