Skip to main content

FIQH MU’AMALAH, HARTA DAN MILIK, AKAD, DAN JUAL BELI



A.      PENGERTIAN FIQH MU’AMALAH
1.         Pengertian Fiqih
Menurut etimologi, fiqih adalah ( الفهم) [paham]. Menurut terminologi, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
2.         Pengertian Muamalah
Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata’amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengenal.
Pengertian fiqih muamalah menurut terminologi dapat dibagi menjadi dua:
a.       Fiqih muamalah dalam arti luas
Fiqh muamalah adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang usaha-usaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci.
b.      Fiqih muamalah dalam arti sempit:
Fiqih muamalah dalam arti sempit lebih menekankan pada keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan mal (harta benda).

B.       SISTEMATIKA FIQIH MU’AMALAH
Beberapa kitab fiqih dari empat madzhab masing-masing dari mereka saling berlainan dalam mengurutkan sistematika fiqih mu’amalah.
1.      Imam Alauddin Al-Kasani, membahas beberapa bentuk perikatan, bahkan terdapat juga bab-bab tentang penyembelihan dan perburuhan, nadzar dan kafarah, wakaf dan shadaqah, peradilan dan persaksian dan sebagainya.
2.      Golongan S yafi’i, membahas jual beli, hutang-piutang, pesan memesan, gadai menggadai, perikatan-perikatan yang berhubungan dengan kebendaan yang lain, diakhiri dengan bab “barang temuan” serta sayembara.
3.      Golongan Maliki, setelah selesai pembahasan ibadah, mereka melanjutkan dengan pembahasan mengenai jihad, perkawinan, jual beli, peradilan, persaksian, pidana, wasiat dan warisan.
4.      Golongan Ahmad, membahas jual beli, pesan memesan, hutang piutang, perikatan-perikatan yang berhubungan dengan kebendaan yang lain, wasiat, warisan, kemudian memerdekakan budak dan diakhiri dengan pembahasan “ummahatil aulad”.

C.      PEMBAGIAN FIQIH MUAMALAH
Menurut al-fikri muamalah dibagi menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut:
1.      Al – Muamalah Al – Madiyah adalah muamalah yang mengkaji segi objeknya, yakni benda.
2.      Al – Muamalah Al – Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasut, iri, dendam.


HARTA DAN MILIK

A.       PENGERTIAN HARTA
Dalam Bahasa arab disebut al-mal yang berarti condong cenderung dan miring. Sedangkan menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum islam), seperti jual-beli, pinjam-meminjam, konsumsi dan hibah atau pemberian. Menurut etimologi, harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak tampak, yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian dan tempat tinggal.

B.       ASAL USUL HARTA
1.         Memeperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun. Cara seperti ini sering disebut dengan penguasaan harta bebas. Di samping itu juga harta bebas bisa diperoleh melalui berburu hewan, mengumpulkan kayu, dan rerumputan selama belum ada pihak yang menguasainya, baik individu maupun Negara.
2.         Memeperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melaluii suatu transaksi atau akad.

C.       MACAM MACAM HARTA
Harta dapat dibagi menjadi 4:
1.         Harta yang didapat dari ketaatan kepada Allah, itulah sebaik-baiknya harta
2.         Harta yang didapat dari bermaksiat kepada Allah dan dinafkahkan kepada hal yang mengandung maksiat pula, maka itulah seburuk-buruknya harta
3.         Harta yang didapat dengan menyakiti sesama muslim dan dikeluarkan juga untuk menyakiti sesama muslim, maka dia juga akan mengalami hal yang sama
4.         Harta yang didapat dari hal yang mubah tetapi dinafkahkan kepada hal yang mubah pula, maka harta itu bukan miliknya dan bukan pula yang menjadi beban baginya dan itulah asal mula harta.

D.       KEDUDUKAN HARTA
a.         Kedudukan Harta dalam Al-Quran
1)        Harta sebagai fitnah artinya harta dan anak-anak hanyalah cobaan. Dan di sisi Allah pahala yang besar
2)        Harta sebagai perhiasan hidup artinya harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia
3)        Harta untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kesenangan artinya indah menurut pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang di inginkan yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari emas, perak, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.
b.        Kedudukan Harta dalam As-Sunnah
1)        Penghambat harta adalah orang terkutuk
لُعِنَ عَبْدُالدِّيْنَارِلُعِنَ عَبْدُالدِّرْهَمِ.
Artinya :
“Terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan terkutuk pula orang yang menjadi hamba dirham.” (H.R. Tirmidzi)

E.       FUNGSI HARTA
Dibawah ini fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan syara’ antara lain untuk:
1.      Kesempurnaan ibadah mahzhah, seperti sholat memerlukan kain untuk menutupi aurat
2.      Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran
3.      Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak menimbulkan generasi lemah
4.      Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat

F.        PEMBAGIAN HARTA
1.        Harta mitsli adalah harta yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar tidak ada perbedaan pada bagian-bagiannya atau kesatuannya yaitu perbedaan atau kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi. Harta mitsli terbagi atas empat bagian yaitu harta yang di takar seperti gandum, harta yang di timbang seperti kapas dan besi, harta yang dihitung seperti telur, dan harta yang di jual dengan meter, pakaian, papan dan lain lain.
2.        Harta qimi adalah harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara ke satuannya pada nilai seperti binatang dan pohon
3.        Harta Muttaqawwim adalah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan diperbolehkan syara’ untuk memanfaatkannya seperti macam-macam benda yang tidak bergerak, yang bergerak, dan lain-lain.
4.        Harta ghair muttaqawwim adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang syara’ untuk memanfaatkanya kecuali dalam keadaan madarat. Contoh khamar.
5.        Manqul adalah harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ke tempat lainya, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula, ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut.
6.        ‘Aqar adalah harta tetap, yang tidak mungkin di pindahkan dan di ubah dari satu tempat ke satu tempat lain menurut asalnya, seperti rumah dan hal-hal yang membumi.
7.        Harta istihlaki adalah harta yang dapat diambil manfaatnya dengan merusak zatnya. Di antara contoh harta istihlaki adalah macam-macam makanan, minuman, kayu bakar, kerta, uang dan lain-lain.
8.        Harta isti’mali adalah harta yang dapat diambil manfaatnya, sedangakan zatnya tetap (tidak berubah). Di antara contoh harta istimali adalah rumah, tempat tidur, pakaian, buku, dan lain-lain
9.        Harta mamluk: sesuatu yang berada di bawah kepemilikan, baik milik persorangan maupun milik badan hukum seperti pemerintahan dan yayasan.
10.    Harta mubah adalah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan, dan buah-buahnya.
.
    MILIK         
                                                    
A.       PENGERTIAN MILIK
"Kepemilikan" berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Milik adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si pemiliknya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.

B.       ASAL USUL MILIK
Hakekat dan sifat syariat islam yang menggambarkan hak milik:
a.         Syariat islam bersifat bebas. Dengan ini umat islam dapat membentuk dirinya sebagai suatu kepribadian yang bebas dari pengaruh umat lain.
b.        Dalam menghadapi kesulitan, syariat islam selalu bersandar pada kepentingan umum sebagai salah satu sumber pembentukan hukum islam.
c.         Ekonomi islam berdasarkan Al Qur’an dan As Sunah yang mengakui adanya hak pribadi dan hak umum. Yaitu sesuatu yang menjadi kepentingan umum dijadikan milik bersama seperti rumput, api, dan air. Sedangkan sesuatu yang tidak menjadi kepentingan umum dijadikan milik pribadi.

C.       MACAM-MACAM MILIK
1.      Hak milik pribadi
2.      Hak milik umum
3.      Hak milik Negara

D.       KEDUDUKAN MILIK
Kedudukan kepemilikan dalam fiqh muamalah menjadi sangat penting karena berkaitan dengan syarat sahnya sebuah transaksi harta benda. Transaksi dapat dilakukan jika kepemilikan terhadap harta benda menjadi kepemilikan yang sah.

E.       FUNGSI MILIK
a.       Untuk pengembangan harta yang berkaitan dengan cara dan sarana tang menghasilkan perta0bahan harta
b.      Untuk mengetahui kemanfaatan suatu barang

F.        PEMBAGIAN MILIK
1.      Dalam fiqih muamalah, milik dibagi menjadi dua:
a.         Milk tam, yaitu suatu pemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya baik benda dan kegunaannya dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa diperoleh salah satunya dengan jual beli.
b.         Milik naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut, yaitu memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya yang disebut raqabah.
2.      Dari segi cara berpautan milik dengan yang dimiliki, milik terbagi menjadi 2:
a.         Milk al mutamayyiz, yaitu sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki batasan-batasan yang dapat memisahkannya dari yang lain. Contoh: antara sebuah mobil dan seekor kerbau sudah jelas batas-batasnya.
b.         Milk al syai / milk al musya, yaitu milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu, betapa besar atau betapa kecilnya kumpulan itu. Contoh : memiliki sebagian rumah, seekor sapi yang dibeli oleh 5 orang untuk disembelih dan dibagikan dagingnya.
3.      Dari segi tempat, milik dibagi menjadi 3:
a.         Milk al ‘ain/ milk al raqabah, yaitu memiliki semua benda, baik benda tetap (ghair ma nqul) dan benda-benda yang dapat dipindahkan (manqul).
Contoh :pemilikan rumah, kebun, mobil, dan sebagainya.
b.         Milk al manfaah, yaitu seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda. Contoh : benda pinjaman, wakaf, dan sebagainya.
c.         Milk al dayn, yaitu pemilikan karena adanya utang. Contoh : sejumlah uang dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti benda yang dirusakkan.

AKAD

A.      PENGERTIAN AKAD
Akad atau dalam bahasa arab ‘aqad, artinya ikatan atau janji (‘ahdun). Menurut Wahbah Al-Juhali  akad adalah ikatan antar dua perkara, baik dalam ikatan nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.
Dalam akad pada dasarnya dititik beratkan pada kesepakatan antar dua belah pihak yang ditandai dengan ijab-qabul. Ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.

B.       SYARAT-SYARAT SAH AKAD
Setiap pembentuk akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam :
a.       Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
b.      Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad, syarat khusus ini disebut sebagai idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum,.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad :
1.      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli).
2.      Yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya.
3.      Akad itu diijinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
4.      Akad bukan jenis akad yang dilarang, seperti jual beli mulasamah.
5.      Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab tersebut dicabut(dibatalkan) sebelum adanya qabul.
6.      Ijab dan qabul harus bersambung, jika seseorang melakukan ijab dan berpisah sebelum terjadinya qabul, maka ijab yang demikian dianggap tidak sah (batal).
7.      Bahasa yang digunakan harus jelas dan dipahami kedua belah pihak, baik lisan maupun tulisan.
8.      Dilakukan dengan itikad yang baik dari keduanya dan pengambilan manfaat objek akad.
9.      Kedua belah pihak berada ditempat yang sama atau tempat yang berbeda yang sebelumnya sudah disepakati dan sudah menjadi bagian dari transaksi modern, seperti akad jual beli sistem pesanan (salam), sistem elektrik, transaksi melalui internet, dan sebagainya.

C.      RUKUN-RUKUN AKAD
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha berkenaan dengan rukun akad.[1] Menurut ulama jumhur fuqaha rukun akad terdiri atas :
1.      ‘Aqidan yaitu orang yang berakad (bersepakat). Pihak yang melakukan akad ini dapat terdiri dua orang atau lebih.
2.      Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang ada dalam transaksi jual beli, dalam akad hibah, dalam aqad gadai dan bentuk-bentuk aqad lainnya.
3.      Maudhu’al-‘aqd yaitu tujuan pokok dalam melakukan aqad, tujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari pihak penjual kepihak pembeli dengan disertai gantinya (berupa uang atau barang).
4.      Sighat al-‘aqd yang terdiri dari ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari slah seoreang yang beraqad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan aqad. Sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak yang lain, yang diucapkan setelah adanya ijab.

D.      KEDUDUKAN,FUNGSI, DAN PEMBAGIAN AKAD
1.    Kedudukan dan fungsi akad
Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat yang paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah. Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai berikut:
1.      Tidak sah akad yang disertai dengan syarat. Misalnya dalam akad jual beli aqid berkata : “Aku jual barang ini seratus dengan syarat kamu menjual rumahmu padaku sekian…” atau “Aku jual rumah ini kepadamu tunai dengan harga sekian atau kredit dengan harga sekian”, atau “Aku beli barang ini sekian asalkan kamu membeli dariku samapai jangka waktu tertentu sekian”
2.      Akad yang dapat dipengaruhi harga adalah akad-akad yang mengandung unsur pertukaran seperti jual beli atau sewa.
3.      Cacat yang karenanya barang dagang bisa dikembalikan adalah cacat yang bisa mengurangi harga/nilai barang dagangan, dan turunnya harga karena perbedaan harga bukanlah termasuk cacat dalam jual beli.
4.      Akad yang tidak dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan dan sedekah tak ada sedikitpun pengaruh harga didalamnya.
5.      Akad akan rusak/batal sebab mati atau gilanya aqid kecuali dalam aqad pernikahan.
6.      Dalam hal pernikahan jika ada cacat dalam mahar maka boleh dikembalikan dan akadnya tetap sah dengan konsekuensi harus diganti.

2.    Pembagian atau macam-macam akad
a.        ‘Aqad Munjiz, yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat selesainya akad.
b.      ‘Aqad Mu’alaq, yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, seperti penentuan penyerahan barang-barang yng diakadkan setelah adanya pembayaran.
c.       ‘Aqad Mudhaf, yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penangguhan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan, perkataan tersebut sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.
Pembagian akad juga ditinjau dari beberapa segi:
1.      Ada tidaknya qismah pada akad, dalam segi ini akad dibagi menjadi dua bagian :
a.       Akad musammah yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah.
b.      Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2.      Disyariatkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian :
a.       Akad musyara’ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan jual beli.
b.      Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual ikan dalam kolam atau anak binatang masih dalam perut induknya.
3.      Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini terbagi menjadi :
a.       Akad shahihah yaitu suatu akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, baik syarat yang bersifat umum ataupun khusus.
b.      Akad fasidah yaitu akad-akad yang cacat karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, baik dalam syarat umum ataupun khusus.
4.      Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini benda akad dibagi menjadi :
a.       Akad ‘ainiyah yaituakad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barangnya, seperti jial beli.
b.      Akad ghair ‘ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahn barang-barang, karena tanpa disertai dengan penyerahan barangpun akad telah berhasil, seperti akad amanah.
5.      Akad ditinjau dari segi cara melakukannya, terbagi :
a.       Akad yang harus dilakukan dengan upacar tertentu seperti akad pernikahan yang harus dihindari oleh dua orang saksi, wali maupun petugas pencatat nikah.
b.      Akad ridha’iyah yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena kedua belah pihak saling meridhai, seperti yang terjadi pada akad umumnya.
6.      Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini dapat terbagi menjadi dua bagian :
a.       Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atu terlepas dari penghalang-penghalang akad.
b.      Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui oleh pemilik harta)
7.      Luzum dan dapat dibatalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi menjadi empat :
a.       Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh. Tetapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’ seperti talak dan khulu’.
b.      Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetujuan jual-beli dan akad-akad lainnya.
c.       Akad lazim yang menjadi hal salah satu pihak, seperti rahn, orang yang menggadaikan sesuatu benda punya kebebasan kapan saja dia dapat melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya.
d.      Akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh orang yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari orang yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
8.      Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga bagian :
a.       Akad mu’awadhah yaitu yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual-beli.
b.      Akad tabarru’at yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibbah.
c.       Akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya seperti qiradh dan kafalah.
9.      Temporer (faur) dan berkesinmbungan (istimrar), dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian :
a.       Akad fauriyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akd hanya sebentar saja (temporer), seperti jual-beli.
b.      Akad istimrar disebut juga akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti ‘ariyah.
10.  Ashliyah dan thabi’iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian :
a.       Akad ashliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual-beli.
b.      Akad thabi’iyah yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada utang.
c.        
E.       BERAKHIRNYA AKAD
Berakhirnya akad dapat disebabkan karena fasakh, kematian atau karena ada pihak lain dalam akad mauquf.
Ø  Berakhirnya akad karena fasakh. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad adalah sebagai berikut :
a.       Fasakh karena fasid (rusak), yaitu jika suatu akad berlangsung secara fasid, seperti akad pada ba’I al-mu’aqqat atau ba’I al-majhul.
b.      Fasakh karena khiyar. Pihak yang mempunyai wewenang khiyar berhak melakukan fasakh terhadap akad jika menghendaki, kecuali dalam kasus khiyar ‘aib setelah penyerahan barang.
c.       Fasakh berdasarkan iqalah, yaitu terjadinya fasakh akad karena adanya kesepakatan kedua belah pihak.
d.      Fasakh karena tidak ada realisasi. Fasakh ini hanya terjadi pada khiyar naqd, misalnya karena rusaknya obyek akad sebelum penyerahan.
e.       Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah teralisasi.


JUAL BELI

A.      PENGERTIAN JUAL BELI
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi sama. Sebagian ulama lain memberi pengertian:
1.      Ulama Sayyid Sabiq, jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.
2.      Ulama hanafiyah, jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain melalui Cara yang khusus.
3.      Ulama Ibn Qudamah, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.
          jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.

B.       Landasan Hukum Jual Beli
1.      Berdasarkan Al-Qur’an diantaranya:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S Al- Baqarah: 275).

2.      Berdasarkan Sunnah
Hadis yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah saw bersabda:
أَلتَّا جِرُ الصّدُوقُ الأَ مِينُ مَعَ النَّبِيِّينُ وَالصِّدِّ يقِينَ وَالشُّهَدَاءِ (رواه الترمذى)
Artinya: “pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para nabi, shadiqin dan syuhada.”

3.      Bardasarkan Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau harta milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

C.      RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Menurut jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1.      Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
Syaratnya :
a.       Berakal
b.      Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
c.       Tidak mubazir (pemborosan)
d.      Baligh

2.      Ada sighat (lafal ijab qabul).
Syaratnya:
a.       Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b.      Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
c.       Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama

3.      Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
a.       Suci
b.      Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri
c.       Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya.
d.      Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
e.       Barang yang diperjualbelikan diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya
f.       Boleh diserahkan saat akad berlangsung.

4.      Ada nilai tukar (harga barang).
a.       Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b.      Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas.
c.       Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar.

D.      PRINSIP JUAL BELI
Diantara prinsip dasar fiqih muamalah adalah sebagai berikut:
a.    Prinsip Dasar
1.        Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (Diperolehkan). Ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya.
2.        Konsep fiqih muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
3.        Menetapkan harga yang kompetitif. Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen.
4.        Meninggalkan investasi yang dilarang. Rasulullah bersabda: “Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya” .
5.        Menghindari eksploitasi
6.        Memberikan kelenturan dan toleransi
7.        Jujur dan amanah

b.    Prinsip Umum
1.        Ta’awun (tolong-menolong)
2.        Niat (itikad baik)
3.        Al – muawanah (kemitraan)
4.        Adanya kepastian hukum
E.       JUAL BELI YANG DILARANG OLEH ISLAM
1.         Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
a.      Jual beli orang gila
b.      Jual beli anak kecil
c.       Jual beli orang buta
d.      Jual beli terpaksa
e.       Jual beli fudhul.
2.         Terlarang Sebab Shighat
a.         Jual beli mu’athah, jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur ulama mengatakan shahih apabila ada ijab dari salah satunya.
b.        Jual beli melalui surat atau melalui utusan, disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah seperti surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.
c.         Jual beli dengan isyarat atau tulisan, disepakati keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam hati aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak sah.
3.         Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
a.         Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada. Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b.         Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c.         Jual beli gharar. Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran.

F.       MACAM MACAM JUAL BELI
a)   Macam – macam jual beli ditinjau dari segi obyek jual beli
a.       jual beli benda yang kelihatan
b.      jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian
c.       jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat

b)   Macam – macam jual beli ditinjau dari segi pelaku akad (Subyek)
a.       Dengan lisan
b.      Dengan perantara atau urusan
c.       Jual beli dengan perbuatan

c)    Macam – macam jual beli ditinjau dari segi hukum
a.       Jual beli yang sah menurut hukum
Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1)      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
a.       Rukun jual beli
·                   Bai’ (penjual)
·                   Mustari (pembeli)
·                   Ma’qud Alaih (barang yang dijual)
·                   Shighat (Ijab dan Qabul)
b. Syarat  jual beli
·         In’iqadah (Syarat terjadinya akad)
·         Syarat sahnya akad
·         Nafadz (Syarat terlaksananya akad)
·         Syarat lujum
2)      Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan   rukunnya
a.       Jual beli yang sah tapi terlarang
Contoh: seseorang membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga awal, sedangkan ia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang tersebut.
b.      Jual beli yang terlarang dan tidak sah hukumnya
Contoh:  Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. Karena barangnya belum ada dan tidak Nampak (Gharar).

d)   Macam – macam jual beli berdasarkan pertukaran
a.         Jual beli saham (Pesanan)
b.         Jual beli muqayadhah (Barter)
c.         Jual beli mutlaq
d.        Jual beli alat penukar dengan alat penukar

e)    Macam – macam jual beli berdasarkan segi harga
a.       Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).
b.      Jual beli yang tidak menguntungkan (at-tauliyah).
c.       Jual beli yang merugikan (al-khasrah)
d.      Jual beli yang menyembunyikan harga (al-musawah)











Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.    Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam. B.      Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1.       Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80? 2.       Bagaimana tafsir, kajian eko