Skip to main content

JUAL BELI



A.       Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa adalah suatu bentuk akad penyerahan sesuatu dengan sesuatu lain. Sedangkan menurut istilah jual beli adalah transaksi antara penjual dan pembeli untuk melakukan tukar-menukar barang atas dasar suka sama suka yang disertai dengan akad. Akad jual beli dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan bentuk perkataan  dan perbuatan.
Bentuk perkataan terdiri dari ijab dan qobul, ijab adalah kata yang keluar dari penjual seperti ucapan “saya jual” dan qobul adalah kata yang keluar dari pembeli seperti ucapan “saya beli”.
Bentuk perbuatan yaitu muathoh (saling memberi)yang terdiri dari perbuatan mengambil dan member seperti penjual memberikan barang kepada pembeli dan pembeli memberikan harga yang wajar (telah ditentukan)
B.       Dasar Hukum Jual Beli
1)       Al-Qur’an
Firman Allah dalam Al-Qur’an 
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا 
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”(QS. Al-Baqarah : 275).


2)       Sunnah
Nabi, yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

3)      Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

C.       Rukun Jual Beli
Menurut jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1.      Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
Syaratnya :
a)      Berakal
b)      Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
c)      Tidak mubazir (pemborosan)
d)     Baligh

2.      Ada sighat (lafal ijab qabul).
Syaratnya:
a)      Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b)      Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
c)      Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama

3.      Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
a)      Suci
b)      Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri
c)      Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya.
d)     Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
e)      Barang yang diperjualbelikan diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya
f)       Boleh diserahkan saat akad berlangsung.

4.      Ada nilai tukar (harga barang).
a)      Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b)      Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas.
c)      Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar.

D.       Prinsip Jual Beli
Diantara prinsip dasar fiqih muamalah adalah sebagai berikut :
a.    Prinsip Dasar
1)        Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (Diperolehkan). Ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya.
2)        Konsep fiqih muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
3)        Menetapkan harga yang kompetitif. Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen.
4)        Meninggalkan investasi yang dilarang. Rasulullah bersabda: “Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya” .
5)        Menghindari eksploitasi
6)        Memberikan kelenturan dan toleransi
7)        Jujur dan amanah

b.   Prinsip Umum
a.       Ta’awun (tolong-menolong)
b.      Niat (itikad baik)
c.       Al – muawanah (kemitraan)
d.      Adanya kepastian hukum
E.       Jual Beli Yang Dilarang Oleh Islam
a.         Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
a.      Jual beli orang gila
b.      Jual beli anak kecil
c.       Jual beli orang buta
d.      Jual beli terpaksa
e.       Jual beli fudhul.
b.        Terlarang Sebab Shighat
1.        Jual beli mu’athah, jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur ulama mengatakan shahih apabila ada ijab dari salah satunya.
2.        Jual beli melalui surat atau melalui utusan, disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah seperti surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.
3.        Jual beli dengan isyarat atau tulisan, disepakati keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam hati aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak sah.

c.         Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
1.        Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada. Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
2.         Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
3.        Jual beli gharar. Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran.

F.       Macam-macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
a.      Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
1)      Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
2)      Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
3)      Jual beli benda yang tidak ada.  Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
b.      Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1)      Dengan lisan,  akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
2)      Dengan perantara. Contoh: dengan tulisan atau surat menyurat.
3)      Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul. Contoh: seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya.

c.       Dinjau dari segi hukumnya:
Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1)      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2)      Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1)      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2)      Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
a)      Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ). Contoh: jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
b)      Jual beli barang yang zatnya haram dan najis. Contoh: babi, bangkai dan khamar.
c)      Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
d)     Jual beli yang menimbulkan kemudharatan. Contoh: jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno.
e)      Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram. Contoh: menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.
3)      Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
a)      Jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya akad.
b)      Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
c)      Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
d)     Jual beli barang rampasan atau curian.
e)      Menawar barang yang sedang ditawar orang lain

G.        Manfaat Jual Beli
1.       Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
2.       Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
3.       Masing-masing pihak merasa puas.
4.       Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah swt

Comments

Popular posts from this blog

Cabang Kaidah Masyaqqah Tajlibu Al-taisir

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Syariat Islam tidak mentaklifkan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh mereka dan sesuatu yang boleh menjatuhkan mereka ke dalam kesusahan atau dengan sesuatu yang tidak bertepatan dan serasi dengan naluri serta tabiat mereka. Masyaqqah atau kesukaran yang akan menjadi sebab kepada keringanan dan dipermudahkan berdasarkan kaedah ini ( masyaqqah tajlibu al-taisir ) ialah masyaqqah yang melampaui hal biasa dan tidak mampu ditanggung oleh manusia pada kebiasaannya, bahkan bisa memudaratkan diri seseorang dan menghalanginya dari melakukan   amal yang berguna. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalahan yang terjadi.  Sebelum adanya makalah ini, terdapat penjelasan tentang qaidah pokok dari masyaqqah tajlibu al-taisir, dan ini adalah tahap yang selanjutnya yaitu membaha

Tahapan – tahapan Dalam Tasawuf Untuk Mencapai Ma’rifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sedekat-dekatnya sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup, taubat, zuhud, wara’, ikhlas, sabar, syukur, qona’ah, tawakal, ridlo, mahabbah,  barulah tercapai ma’rifat. Dengan kata lain ma’rifat  merupakan maqomat tertinggi dimana puncak seorang hamba bersatu dengan sang Khaliq.    Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Ma’rifah dan Tahapan-tahapan untuk mencapai ma’rifat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat

TAFSIR AYAT TENTANG KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai saat ini masih bisa kita pegang dan jumpai. Tak hanya mampu menjadi sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Quran juga mengandung beragam pengetahuan yang mampu mengikuti perkembangan zaman, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Begitu banyak ayat al-Quran yang menerangkan mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Terdapat beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Di antara ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mu’min ayat 80, al-Baqarah ayat 216, dan an-Nisa’ ayat 27 yang perlu dikaji lebih dalam demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan yang sesuai prinsip Islam. B.      Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1.       Bagaimana tafsir, kajian ekonomi, serta cotoh nyata dalam surat al-Mu’min ayat 80? 2.       Bagaimana tafsir, kajian eko