A.
PENGERTIAN AKAD
Akad ( al-‘aqd, jamaknya al-‘uqud
) secara bahasa berarti al-rabth yang berarti ikatan atau mengikat.
seperti terdapat pada surat al-Nisa’ ayat 33
yang artinya : “ Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan
ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada)
orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada
mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.
Dalam terminologi hukum Islam Akad
didefinisikan sebagai berikut:
“akad adalah pertalian antara ijab dan qobul yang dibenarkan oleh
syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya”.
Yang dimaksud dengan ijab disini ialah ungkapan atau pernyataan kehendak
melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagai pihak
pertama, sedangkan qobul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan
kehendak pihak lain, biasanya dinamakan pihak kedua, menerima atau menyetujui
pernyataan ijab. Maksud yang dibenarkan oleh syara’ adalah bahwasanya setiap
akad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan syariat Islam.
B.
RUKUN-RUKUN DAN
SYARAT-SYARAT AKAD
Dalam menjelaskan rukun
dan syarat akad terjadi perbedaan pendapat ‘ulama. Perbedaan pendapat muncul
karena bedanya mereka dalam mendefinisikan rukun dan syarat akad.
1. Rukun Akad
Rukun menurut
Hanawiyah adalah :
“apa yang keberadaannya
tergantung kepada sesuatu dan ia merupakan bagian dari hakikat sesuatu”.
Dari definisi
ini, maka yang menjadi rukun akad di kalangan Hanafiyah adalah Shighat aqad,
yaitu ijab dan kabul karena hakikat dari akad adalah ikatan antara ijab dan
qabul.
Rukun menurut
jumhur fuqaha’ selain Hanawiyah adalah :
“apa yang
keberadaannya tergantung kepada sesuatu dan ia bukan bagian dari hakikat
sesuatu”
Berdasarkan
definisi ini, yang menjadi rukun akad dikalangan jumhur fuqaha ada tiga yaitu aqidain
(dua orang yang berakad), ma’qud alaih (objek akad) dan shighat aqad
(ijab dan qabul).
Unsur-Unsur
Akad
Aqidain
Ijab dan Qabul
yang merupakan esensi akad tidak akan terpenuhi kecuali ada ‘aqidain (kedua
belah pihak yang berakad).
Ma’qud Alaih
Ma’qud Alaih
adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum
yang ditimbulkannya. Tidak semua benda (barang) dapat dijadikan objek akad
sejumlah benda dipandang tidak dapat menjadi objek apkad baik menurut syara’
(ajaran agama) maupun adat, seperti narkoba atau daging babi.
Ada 4 syarat
yang harus terpenuhi:
- Objek akad harus telah ada ketika langsung berakad
- Objek akad harus mal mutaqawwim
- Dapat diserah terimakan ketika akad berlangsung
- Objek akad harus jelas dan dikenali oleh pihak aqid
- Objek akad harus suci, tidak najis dan tidak muntanajis
Sighat Aqad
Yang dimaksud
dengan sighat akad adalah dengan cara bagaimana ijab dan qabul yang merupakan
rukun-rukun akad itu dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan secara lisan,
tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya
ijab dan kabul dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan
dalam ijab dan kabul.
2. Syarat Akad
Setiap akad
mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan syarat-syarat
terjadinya akad ada dua macam yaitu:
a.
Syarat yang
bersifat umum yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai
akad.
Syarat-syarat
umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad sebagai berikut:
1.
Kedua orang
yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak
cakap bertindak.
2.
Yang dijadikan
objek akad dapat menerima hukumnya.
3.
Akad itu
diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid yang memiliki barang.
4.
Janganlah akad
itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli mulasamah (saling
merasakan).
5.
Akad dapat
memberikan faedah, sehingga tidak sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai
imbalan amanah (kepercayaan).
6.
Ijab itu masih
berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul, maka orang yang berijab
menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah ijabnya.
7.
Ijab dan qabul
mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab telah terpisah sebelum
adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
b.
Syarat-syarat
yang bersifat khusus yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian
akad. Syarat khusus ini dapat juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus
ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam
pernikahan.
C.
MACAM-MACAM
AKAD
Akad terbagi
dalam beberapa macam dari sudut pandang yang berbeda yaitu:
a.
Aqad shahih,
yaitu akad yang sempurna rukun-rukun dan syarat-syarat menurut syariat.
Akad yang
dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat berlaku kepada pihak-pihak yang
berakad. Aqad shahih menurut Hanafiyah dan Malikiyah terbagi kepada:
1.
Nafiz, yaitu akad yang dilakukan oleh orang yang mampu dan mempunyai
wewenang untuk melakukan akad tersebut.
2.
Aqad nafiz terbagi kepada aqad lazim dan aqad mauquf
i.
Aqad Lazim, yaitu aqad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah seorang yang
berakad tanpa kerelaan pihak lain atau aqad yang mengikat para pihak yang
berakad, seperti aqad jual beli dan ijarah (sewa-menyewa dan upah mengupah).
ii.
Akad Mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum,
tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanaan akad ini
seperti akad yang diangsungkan oleh anak kecil yang telah mumayyiz.
Dalam kasus seperti ini, akad itu baru sah secara sempurna dan memiliki akibat
hukum apabila jual beli itu diizinkan oleh wali anak kecil ini.
b.
Aqad yang tidak
Sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya,
sehingga seluruh akibat hukum aqad itu tidak berlaku dan tidak mengikat
pihak-pihak yang berakad. Kemudian, ulama Hanafiyah membagi akad yang tidak
sahih ini kepada dua macam, yaitu akad yang batil dan fasid.
Suatu akad
dikatakan batil apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada
larangan langsung syara’. Misalnya objek jual beli itu tidak jelas. Atau
terdapar unsur-unsur yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
Adapun akad
fasid menurut mereka merupakan suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan, akan
tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Sehingga menimbulkan perselisihan
antara penjual dan pembeli.
Jual beli
seperti ini, menurut ulama’ Hanafiyah, adalah fasid dan jual beli di dianggap
sah apabila unsur-unsur yang menyebabkan kefasidannya itu dihilangkan.
D.
BERAKHIRNYA
AKAD
Akad
berakhir dengan sebab fasakh , kematian. Berikut ini akan diuraikan satu
persatu hal-hal menyebabkan akad berakhir:
1.Berakhirnya
akad dengan fasakh. Akad fasakh karena beberapa kondisi:
a. Fasakh dengan sebab akad fasid (rusak)
b. Fasakh dengan sebab khiyar
c. Fasakh dengan Iqalah (menarik kembali)
d. Fasakh karena
tidak ada tanfiz (penyerahan barang atau harga)
e. Fasakh karena
jatuh tempo (habis waktu akad ) atau terwujudnya tujuan akad.
2. Berakhirnya
akad dengan kematian
Akad
berakhir karena kematian salah satu pihak yang berakad diantaranya ijarah.
Menurut Hanafiyah ijarah berakhir dengan sebab meninggalnya salah seorang yang
berakad karena akad ini adaah akad lazim (mengikat kedua belah pihak).
3. Berakhirnya
akad karena tidak adanya izin untuk akad mauquf.
E.
HIKMAH AKAD
Diadakannya
akad dalam muamalah antarsesama manusia tentu mempunyai hikmah, antara lain:
1. Adanya ikatan
yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki
sesuatu.
2. Tidak dapat
sembarangan dalam dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah
diatur secara syar’i.
3. Akad merupakan
“payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat
menggugat atau memilikinya.
Comments
Post a Comment